7

451 74 2
                                    

"Kembalikan pekerjaannya di rumah sakit pusat. Mana mungkin aku mau pergi ke pelosok demi hanya melakukan hal sia-sia. Yang kami sendiri tahu jawabannya."

Aku memandang Lucas dengan keengganannya.

Sheri tampak berseri wajahnya. Apalagi saat dia memandang arahku, mata seolah menyatakan betapa besar rasa terima kasihnya. Dia pergi dengan Glen yang membawanya.

Beberapa saat dalam keheningan kemudian, aku pikir Lucas hanya akan duduk di sana membiarkan aku canggung sendirian. Atau mungkin meninggalkan aku begitu saja tanpa memberikan pandangan yang berarti. Tapi yang dilakukan pria itu malah berlutut di depanku yang sedang duduk di sofa.

Dia meraih kakiku dan membuat aku merasakan panasnya di pergelangan kakiku yang disentuhnya.

"Apa yang kau lakukan?" aku coba menarik kakiku. Tapi sekuat apa pun aku melakukannya, tangannya tetap diam di sana tidak mengizinkan aku lepas darinya.

Dia sedang memeriksa kakiku, memperhatikan seksama bahkan membawa kakiku ke pangkuannya yang membuat aku tidak nyaman. Lebih tidak nyaman karena pakaian yang aku kenakan. Aku memakai hanya kemejanya tanpa dalaman sama sekali. Bukankah pantas bagiku merasa tidak nyaman?

Meski matanya tidak melirik ke arah lain dan hanya fokus pada kakiku. Tapi pikiranku yang sepertinya tidak bisa dialihkan ke tempat yang tidak seharusnya.

"Apa kau yakin bisa berjalan normal? Sepertinya kakimu tadi agak terlalu melenceng saat berjalan."

"Baik-baik saja. Tidak ada yang salah. Kau lihat tadi aku berdiri dan mondar-mandir."

"Aku akan mengantarmu ke kamar."

"Tunjukkan saja jalannya, aku bisa melakukannya sendiri."

Dia mengangkat pandangan dan membuat aku menelan ludah susah payah. Dia sepertinya tahu sangat mudah baginya membuat orang lain merasa terintimidasi dengan mata indah itu. Itulah yang sering mungkin dia gunakan untuk membuat orang lain menurut padanya. karena sekarang aku benar-benar tidak memiliki alasan lain untuk menolak apa yang menjadi keinginannya.

"Baiklah, jangan menatap aku dengan tatapan itu. Antar saja aku."

Dia berdiri dengan lebih baik dalam gesturnya. Mengulurkan tangan padaku kemudian.

"Apa itu harus?"

Dia tetap mengulurkan tangan tanpa mengatakan hal lain.

Aku memutar bola mata dan akhirnya meraih uluran tangannya. Dia membawa aku berjalan bersamanya, dia melangkah mengikuti langkahku. Itu membuat aku mulai mempertanyakan, apa ada sesuatu pada diri Lucas yang aku sendiri tidak tahu? Sesuatu yang membuat dia terhubung denganku.

Kenapa pria ini tiba-tiba muncul dan seolah ingin menguasai seluruh sudut kehidupanku? Aku tidak tahu kenapa dia bahkan mengatakan harus aku perempuannya? Apa dia melihat aku begitu kuat dalam melawan mereka yang tidak menyukaiku? Ataukah aku memang dilihat begitu hebat dalam menempuh derita. Sampai dia sendiri mau memakaiku sebagai senjata melawan ibu dan mantan tunanngannya yang aku sendiri pernah mendengar rumor tidak menyenangkan tentang mereka.

Mereka seolah menjadi dua iblis betina yang akan membuat siapa pun tidak akan nyaman berada di sekitar mereka. Hanya dua tipe orang yang ada di sisi mereka. Satu takut pada mereka. Dua menjilat mereka. Itu membuat aku yakin kalau Lucas membutuhkan perempuan yang bisa menguasai keadaan di mana kewarasannya tetap jalan meski segala bentuk penghinaan dan luka diberikan padanya.

Aku? Jelas tidak masuk dalam hitungan itu.

Melawan ibu mertuaku yang setengah iblis saja aku sudah mundur dengan luka berdarah-darah. Apalagi harus melawan ibunya dan wanita yang tidak punya belas kasih seperti mantan tunangannya itu. Dia sepertinya hanya membutuhkan batu pijakan yang tidak berguna.

"Bagaimana kamarnya?"

Aku mengangkat pandangan, menatap ke arah Lucas. "Iya?"

"Apa yang sedang kau pikirkan sejak tadi?" Lucas mengusap dahiku. "Kerutan di dahimu hampir membuat kau tampak tua berkali lipat."

Aku menepis tangannya kesal. Segera masuk ke kamar yang tampak begitu cocok denganku. Luasnya bahkan lebih luas dari kamarku dan Tony di rumahnya. Mengedarkan pandangan, aku menatap ke arah jendela. Bergerak ke sana dan membuka tirainya. Menemukan ada besi penghalang di sana yang membuat aku berbalik menatap Lucas.

"Katakan padaku, kau memasangnya sudah lama atau kau memasangnya baru-baru ini?"

Lucas tersenyum penuh arti. "Kau berikan aku jawaban," timpalnya dengan pantat yang sudah dia hempaskan ke ranjang.

"Oh, tiba-tiba aku tidak ingin tahu jawabannya." Aku melangkah ke arah pintu, yang kupikir adalah kamar mandi. Ternyata saat aku membukanya, hanya ada beberapa rak kosong dan beberapa lemari dengan pintu kaca. Aku menengok ke arah Lucas yang seperti dugaanku tidak melepaskan pandangan dariku.

"Besok akan diisi dengan pakaianmu. Tenang saja, kau hanya perlu menahan malam itu memakai pakaianku."

"Baiklah." Lalu aku keluar. Mengedarkan pandanganku ke arah Lucas yang masih diam menunggu aku bertanya mungkin. Meski jelas dia tahu apa yang sedang aku cari. Dia pandai membuat aku sendiri yang harus mengatakannya. "Kamar mandinya, di luar?"

Lucas berdiri langsung dengan penuh semangat. Kemudian dia mendekati kepala ranjang dan mendorongnya hanya untuk memperlihatkan kamar mandi ada di sana. Cukup unik jadi aku melangkah melewatinya.

Kamar mandi itu berbentuk pesegi panjang. Ada wastafel di sisi kanan dan kaca besar di sisi kiri. Kemudian bak mandi dan shower yang berdekatan. Aroma cat barunya masih terasa. Seperti baru saja dibangun. Mungkin baru beberapa hari. Jika aku bisa menduga, dia menyiapkan semua ini untukku. Jadi sudah berapa lama dia merencanakan ini semua?

Yang menjadi pertanyaan utamanya, kapan dia tahu aku mengandung anaknya dan merencanakan memakai aku untuk melawan ibu dan mantan tunangannya?

Menggeleng dengan keras, aku tidak mau memikirkannya. Lebih baik tidak memasukkannya ke dalam pikiran. Karena semakin dalam aku memikirkannya, semakin pusing aku dibuatnya. Setelah memastikan semuanya ada dan tidak perlu mengganggu Lucas dengan pertanyaan lagi, aku keluar dari kamar mandi itu. Lucas masih menunggu di ambang pintu dan aku tidak mengatakan apa pun atau melihat ke arahnya.

Aku langsung ke ranjang dan masuk ke selimut. "Aku mau tidur."

Dia diam sebentar. Sepertinya memikirkan apa yang hendak dia lakukan.

"Kau harus keluar, Lucas. Aku sungguh mau tidur."

Lucas mengangguk akhirnya dan meninggalkan aku tanpa mengatakan hal lain. Tadinya kupikir dia akan keras kepala meminta tinggal. Tapi sepertinya dia memang menyadari betapa lelahnya aku hari ini yang membuat dia tidak mau menggangguku.

"Lucas," aku memanggilnya saat dia hampir sudah akan menutup pintu.

Lucas menatap aku dengan kerutan kecil. "Hm?"

"Katakan, kenapa harus aku?"

Diam.

"Apa karena aku mengandung anakmu?"

Dia diam lagi, aku sudah akan memberikan praduga lain saat dia bicara. "Kau bisa mengatakannya demikian. Terima kasih karena sudah mau mempertahankannya."

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Benih Sang Presiden (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang