11

260 42 1
                                    


Alma tidak mencari tahu apapun tentang Abie. Hidupnya sudah sangat sempurna dengan kehadiran Mina, ia tak pernah penasaran dengan kehidupan orang lain termasuk sahabatnya.

Berbeda dengan Tama, tanpa Alma bertanya pun laki-laki itu akan memberitahu segala hal tentang dirinya, karena itu Alma mengenal baik sosok Tama.

Hari ini, dari Ingrid wanita itu tahu bahwa sang sahabat belum dikaruniai keturunan. Padahal sudah lima tahun lebih, Alma turut prihatin.

"Untung Abienya cinta berat, Om gue malah cari masalah pas tahu bininya mandul." tak lama Inggrid melanjutkan, "Etapi, belum tentu Fia yang mandul kan, mana tahu Abie."

Alma mengangguk. "Kita doain aja Tuhan segera memberikan keturunan untuk mereka."

Inggrid mengaminkan. Ia juga akan bahagia bila rekan-rekannya berbahagia.

"Kita kapan nikahnya ya, punya anak nanti bisa main bareng. Apalagi cewek, seru kalau ngumpul."

Alma mengulum bibir, sudah sejauh ini takdirnya bagaimana kalau teman-teman tahu tentang Mina? Contohnya Abie, entah dari mana pria itu mengetahuinya. Alma merasa bersalah, perlukah dia memberitahu Inggrid?

"Serius deh Al, kayanya Tama nggak main-main, yang bikin lo ragu apa sih."

Alma pernah memikirkan masa depannya dengan seorang lelaki yang bertanggungjawab, tapi semenjak Mina hadir ia tak membutuhkan pria lagi merasa cukup dengan sang putri, karena telah memberi warna dalam hidupnya.

"Nggak ada." iya, Alma sama sekali tidak ragu dengan keseriusan laki-laki itu untuk membina hubungan dengannya.

"Terus?"

"Aku yang belum siap."

"Lo punya gebetan?"

Alma tertawa. "Sejak kapan?" ia yakin semua teman-temannya tahu kalau dirinya tidak pernah menjalin hubungan dengan laki-laki manapun.

"Jadi apanya yang belum siap, dari segi manapun baik lo maupun Tama udah matang. Lo juga sayang sama anaknya, keluarganya juga baik."

Iya, tak ada satupun kekurangan dari laki-laki itu. Ketidaksiapan datang dari Alma, wanita itu merasa cukup dengan kehidupannya sekarang.

"Menikah itu bukan sekadar menjalin hubungan, ada akad sakral di mana setelah jabat tangan semuanya berubah. Tidak bisa sesuai kehendak kita lagi, berhadapan dengan orang yang berbeda pikiran juga prinsip. Itu nggak mudah menurutku."

"Tapi kalau sama-sama saling sayang nggak akan sulit."

"Aku terlanjur menganggapnya sebagai teman, selamanya teman nggak akan bisa menjadi pendamping hidup."

Bukan hanya Inggrid, rekan yang lain juga tahu fakta tentang prinsip Alma. Ia tak akan jatuh cinta pada lelaki yang sudah dianggap sahabat, bagi Alma sahabat adalah bagian hidup layaknya saudara jadi mustahil dia jatuh cinta.

Abie, contohnya. Sebesar apapun gempuran teman-teman yang menjodohkannya dengan laki-laki yang saat itu menjadi sahabatnya tak membuat Alma goyah apalagi baper. Alma terlalu logis menurut orang terdekatnya.

"Kalau begitu kasihan Tama."

"Aku tidak pernah memberikan harapan, sebaliknya aku selalu menyuruh Tama untuk bahagia."

"Bahagianya ada di kamu, gimana dong?"

Respons Alma hanya seulas senyum tipis. Ada andai untuk sosok Tama beberapa tahun lalu. Ibu satu anak tersebut bisa saja mempertimbangkan pria itu andai tak mengejarnya lebih dulu, tapi Tama terlalu agresif dan Alma tidak suka dengan sikap itu. Makanya hubungan mereka berakhir dengan pertemanan walaupun Tama masih berharap untuk kelanjutan hubungan mereka.

"Sulit kalau nggak cinta. Jomblo sejati kayanya kita."

"Asal bahagia, kenapa tidak?"

"Gue nggak, serius gue pengen nikah. Punya anak banyak, biar rumah gue rame!"

"Amiin, semoga yang kamu mau terkabulkan."

Inggrid memperhatikan temannya. "Hidup lo belum sempurna karena belum ada pasangan juga keluarga kecil, tapi kenapa gue lihat lo kaya bahagia banget."

"Karena aku menikmati, nggak ngeluh apalagi sampai kebawa pikiran."

Tapi Inggrid tidak bisa. Selain dia yang sangat ingin menikah, keluarga juga sudah mendesaknya. Mau tidak mau hal tersebut menjadi beban pikiran. Semua laki-laki yang datang mendekat tidak ada satupun yang memiliki niat serius, mereka hanya ingin singgah menikmati keindahannya saja.

******

Siang terik itu Alma baru pulang dari supermarket, ia dikejutkan dengan suara Tama. Untungnya Alma belum masuk, ia baru keluar dari taksi.

"Kamu tinggal di sini?"

Alma menggeleng, ia terpaksa berbohong. Lalu balik bertanya, "Kamu ngapain di sini?"

"Aku ngikutin kamu pas naik taksi." Tama memperhatikan gedung di hadapannya. "Kalau bukan, apa yang kamu lakukan di sini?"

Alma mengangkat dua plastik di tangannya. Ia tidak mungkin mengatakan tinggal di sini mengingat keberadaan Mina. "Anterin ini, kebetulan kenalanku tinggal di sini." lalu ia meminta Tama menunggu sebentar sementara dia menyerahkan barang belanjaannya.

Tama tidak curiga, ia percaya begitu saja dan menunggu Alma di mobil. Sebuah ketidaksengajaan bertemu dengan Alma, karena ingin tahu tempat tinggal wanita itu sejak balik dari luar negri dia mengikutinya.

Setelah Alma kembali Tama mengutarakan keingintahuannya. "Jadi kamu tinggal di mana?"

"Kosan, lumayan jauh kalau dari sini." sepertinya Alma harus mencari cara agar keberadaan Mina tak diketahui orang, cukup Abie.

"Kapan aku boleh main ke sana?"

"Kapan-kapan ya, soalnya aku lebih nyaman ketemu di luar."

Tama mengerti dan memaklumi, ia juga senang mendengarnya karena Alma pandai menjaga diri dengan tidak membawa lawan jenis ke tempat tinggalnya.

Awalnya setelah belanja di siang terik Alma ingin istirahat, tapi karena kehadiran Tama sekarang dia berakhir di sebuah kafe.

Karena lantai bawah penuh Tama mengajak wanita itu ke atas, tak sengaja pria tersebut memegang tangan Alma dan menaiki tangga bersama. Mereka tak sadar ada sepasang mata yang menatap dengan dingin, lalu terbit senyum masam dengan raut datar.

"Mereka menjaga jaga jarak di depan rekan yang lain, tapi lihat sekarang."

Abie, melipir ke kafe dari penatnya kerjaan yang tak bisa membuatnya fokus. Konsentrasinya tak sebagus dulu, banyak hal yang mengganggu pikirannya. Sekarang bertambah lagi setelah melihat kemesraan Alma dan Tama.

Sampai kapan mereka akan menutupi hubungan itu, perlukah ia memberitahu rekan-rekannya yang lain?

******

Grup alumni sedang dihebohkan dengan chat yang masuk dari Abie. Ia menyuruh rekannya berkumpul di sebuah kafe karena ada kejutan yang ingin dibagikan.

Jam delapan malam baru semuanya berkumpul, Abie yang belum kelihatan batang hidung.

Kebanyakan statemen dari rekan-rekan tentang kejutan yang ingin dibagikan Abie adalah kehamilan Fia, tak ada satupun yang menyangka apa yang akan dikatakan laki-laki itu.

Alma tidak ingin berprasangka buruk meski was-was dengan chat Abie di grup alumni, sama seperti yang lain ia berharap laki-laki itu membawa kejutan menggembirakan untuk mereka.

"Aku terlambat, maaf."

Semua yang sudah berkumpul melihat ke asal suara. Abie yang datang melambaikan tangan pada semua rekannya dengan senyum lebar.

"Lo mabok Bie?" itu suara Bagas, tapi bukan dia orang pertama yang menyadari keadaan Abie.

"Kalian sudah menunggu lama ya," kata Abie lalu tertawa. "Oke, dengarkan. Kejutan yang ingin kukatakan adalah...." mata Abie tertuju pada Tama lalu ke arah Alma dan bertahan cukup lama di sana.

"Mereka sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan!"





Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jejak DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang