[ neunundzwanzig ]

10 3 19
                                    

][][ 29 ][][

"Benua?"

"Ya."

"Kamu akhirnya keluarin dia untuk mengancam nyawa anak aku, Arga?" tanya Geraldine. Nada kemarahan jelas terdengar di telinga suaminya itu. "Aku perlu balik ke Indonesia."

"Jangan repot-repot," tolak Arga, tidak menyetujui ide Geraldine. "Biarin mereka bersaing, Benua dan Samudra sama-sama udah dewasa."

"Bersaing untuk apa? Yang dimau anak aku sama Benua itu beda. Kamu punya kekuasaan yang bisa dikasih ke Benua, tapi Samudra sama sekali gak butuh itu semua, Arga. Tolong jangan libatkan anak aku."

"Anak kita," tekan Arga. "Samudra selama hidupnya bangga dipanggil Atha, loh. Dia harus tanggung jawab atas nama itu, Geraldine. Samudra senang jadi seorang Athalarik, ya kan?"

"Anak aku, Arga. Benua itu anak kamu dan Mia, tapi Samudra anak aku. Gak peduli walaupun kamu yang kasih dia nama Samudra ataupun dia dipanggil Atha, dia tetap anak aku karena kamu udah buang dia ke Jakarta."

"Buang?"

"Salah satu anak kamu pergi sendiri, satunya kamu sembunyiin dan ajak kompromi diam-diam, tapi Samudra kamu asingkan," jawab Geraldine. "Kamu mengakui nama dia secara bangga tapi kamu minta dia untuk pergi? Apa mau kamu sebenernya?"

"Kasar sekali, Geraldine. Aku gak pernah buang anak kita, aku cuma mau latih dia untuk hidup mandiri," cerca Arga. "Ariasta juga selama ini sembunyi disana. Kalau bukan karena ide itu, Samudra gak akan pernah ketemu jodoh yang setara sama dia."

"Oh, just shut up, man. It's her, right? Ever since you met her you're always obsessed with wars!" seru Geraldine, mulai kesulitan untuk mengontrol emosinya. Ia belum sepenuhnya paham permainan apa yang sebenarnya ingin dimainkan Arga hingga anaknya harus dikorbankan juga, tapi setidaknya Ia tahu kalau dendam besarnya terhadap Ariasta masih belum padam. "Is it really okay for you to watch your son die and all just for a dead woman?"

"Watch your mouth, Geraldine."

"She's dead. Dead dead!"

"Geraldine,"

"Dia gak akan bangun lagi kalaupun kamu cari ribut sama Ahren atau anak mereka," ucap Geraldine lirih. Wanita itu susah payah menahan untuk tidak menangis, tapi matanya jelas basah. "Anak kita, Arga! Anak kita gak perlu lakuin ini semua cuma untuk cinta kamu yang gak terbalaskan."

"Aku sama sekali gak merencanakan ini semua." Arga mendekat untuk menyelipkan rambut Geraldine ke belakang telinga wanita itu. Sekuat-kuatnya Geraldine, istrinya itu bisa lemah dihadapannya, dan Arga juga tidak pernah terlalu tega untuk menjadi sejahat dulu. Karena mau bagaimanapun juga, Geraldine adalah istrinya sekarang. Ibu dari anak yang paling dinantikannya, yang bisa Ia akui dengan bangga di hadapan seluruh dunia.

"Quatsch."

"Ge, serius. To be honest, aku juga pernah mau anak kita bebas dari masa lalu orangtuanya. Itu adalah alasan aku buat Benua jadi orang jahat karena aku mau Samudra bisa hidup tenang di Indonesia," jelas Arga. "I was never treating my sons fair, but I was trying to protect ours. Takdir sendiri yang buat Samudra ketemu sama anaknya Ahren dan Vega. Bukan aku."

Akhirnya, air mata yang ditahan Geraldine berhasil lepas dan mengalir di pipinya. Ia belum bisa berkata-kata, apalagi ketika Arga menangkup kedua pipinya dan menciumnya di kening. Ini adalah hal yang terjadi hanya sekitar setahun sekali, biasanya hanya di depan Zelig, ayahnya. Kesurupan apa Arga sebenarnya?

"Ich liebe dich."

"Blödsinn."

"Do you think I'm that deceitful, Wife?" Pertanyaan Arga hanya direspon oleh bahu yang diangkat, hingga Ia harus mengulangi kalimatnya tadi untuk Geraldine agar istrinya itu tau kalau dirinya tidak sedang berbohong. "Ich liebe dich. Serius."

SamudraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang