Chapter 5

169 18 2
                                        

Selamat Membaca
.
.
.
.
.
.
>⁠.⁠<

Malam itu, Hinata duduk di tepi ranjangnya, termenung menatap langit-langit kamar yang diterangi oleh sinar bulan yang masuk melalui jendela. Pikiran dan perasaannya bercampur aduk. Kata-kata Tenten terus terngiang di kepalanya, membuatnya merenungkan kembali sikap dan keputusannya selama ini. 

"Tenten benar," pikir Hinata. "Aku tidak bisa terus menghindarinya, Aku harus berani," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Meski hatinya masih terasa berat, ada tekad yang perlahan mulai tumbuh dalam dirinya. Dia tahu bahwa selama ini dia selalu menghindar, memilih untuk melarikan diri daripada menghadapi situasi yang sulit. Tapi, sampai kapan dia bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketakutannya?

Saat Hinata masih tenggelam dalam pikirannya, pintu kamarnya terbuka perlahan, menampakkan sosok Hanabi, adik perempuannya yang masih mengenakan piyama. Wajahnya tampak penuh kekhawatiran saat dia mendekat, duduk di samping kakaknya di tepi ranjang.

"Onee-chan, apa kau baik-baik saja?" tanya Hanabi dengan nada lembut, matanya yang besar memandang Hinata dengan cemas.

Hinata tersenyum tipis, mencoba mengusir rasa khawatir yang jelas terlihat di wajah adiknya. "Aku baik-baik saja, Hanabi. Hanya sedikit lelah."

Hanabi menatap kakaknya dengan tatapan ragu. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu Hinata, tetapi dia tidak ingin memaksanya untuk bercerita. Sebagai gantinya, dia berkata, "Jika ada sesuatu yang mengganggumu, kau tahu aku selalu ada untukmu, bukan?"

Hinata merasakan kehangatan di hatinya mendengar kata-kata Hanabi. Dia meraih tangan adiknya dan menggenggamnya dengan lembut. "Terima kasih, Hanabi. Kau benar-benar adik yang baik."

Hanabi tersenyum kecil, meskipun rasa khawatirnya belum sepenuhnya hilang. Setelah beberapa saat, Hinata tiba-tiba teringat sesuatu. "Ngomong-ngomong, ayah di mana?" tanyanya, mengalihkan percakapan.

"Ayah sedang pergi keluar kota untuk urusan klan. Dia baru akan kembali besok," jawab Hanabi dengan tenang.

Hinata mengangguk pelan, rasa lega mengalir dalam dirinya. Setidaknya, dia punya waktu untuk berpikir dan merenung tanpa harus berhadapan langsung dengan ayahnya.

"Terima kasih, Hanabi," ucap Hinata lembut. "Sekarang, kau sebaiknya tidur. Sudah malam, dan besok kau harus bangun pagi."

Hanabi mengangguk, meski masih ada sedikit rasa enggan untuk meninggalkan kakaknya. "Baiklah, onee-chan. Tapi ingat, jika kau butuh sesuatu, panggil saja aku." Setelah memberikan pelukan singkat, Hanabi meninggalkan kamar Hinata, menutup pintu dengan lembut di belakangnya.

.

.

.

Keesokan paginya, Hinata bangun dengan perasaan yang sedikit lebih baik. Setibanya di sekolah, dia berjalan menuju kelasnya dengan langkah yang sedikit lebih ringan. Ketika dia masuk ke kelas, Sakura, Tenten, dan Ino yang sudah berada di sana langsung menghampirinya.

"Hinata, apa kau sudah merasa lebih baik?" tanya Sakura dengan nada perhatian, matanya menatap Hinata dengan cermat, mencari tanda-tanda kelelahan atau kecemasan.

Hinata tersenyum kecil, meskipun sedikit canggung. "Ya, terima kasih sudah khawatir. Aku sudah lebih baik. Maaf telah membuat kalian cemas."

Sakura, Tenten, dan Ino tersenyum lega mendengar kabar itu.

Ketika bel istirahat berbunyi, keempat sahabat itu berjalan bersama menuju kantin. Seperti biasa, mereka memilih meja di pojok ruangan—tempat favorit mereka untuk makan dan berbincang dengan lebih leluasa. Hinata duduk di antara Sakura dan Tenten, sementara Ino duduk di seberang mereka. Namun, Ino terlihat sibuk dengan ponselnya, jarinya mengetik cepat dan bibirnya sesekali melengkung menjadi senyum kecil. Hal ini membuat Sakura tak bisa menahan rasa penasarannya.

"Ino, apa sih yang bikin kamu senyum-senyum sendiri begitu?" tanya Sakura sambil menatap sahabatnya dengan pandangan penuh selidik.

Ino tersentak, wajahnya sedikit memerah saat dia buru-buru meletakkan ponselnya di meja. "Ah, nggak ada apa-apa kok," jawabnya cepat, berusaha menghindari tatapan teman-temannya.

Namun, Sakura tidak semudah itu percaya. Dia menatap Ino dengan mata menyipit, mencoba membaca ekspresi sahabatnya. "Ayolah, Ino. Kamu pasti sedang menyembunyikan sesuatu dari kami," katanya dengan nada menggoda.

Tenten, yang sejak tadi hanya mendengarkan, ikut tertawa kecil. "Iya, Ino. Kamu lagi dekat dengan seseorang ya?"

Ino menggigit bibirnya, terlihat sedikit gugup. Wajahnya semakin memerah, dan akhirnya dia menghela napas panjang. "Baiklah, aku akan cerita, tapi jangan ketawa ya," ujarnya dengan nada setengah malu.

Sakura dan Tenten langsung memasang wajah penuh antusias, sementara Hinata menatap Ino dengan senyum lembut, penasaran dengan apa yang akan dikatakan sahabatnya itu. Ino melirik mereka satu per satu sebelum akhirnya mengaku, "Sebenarnya, aku sedang dekat dengan seseorang."

Mata Sakura dan Tenten langsung berbinar penuh semangat. "Siapa dia?" tanya Tenten dengan nada mendesak, seolah-olah dia baru saja mendengar gosip paling menarik sepanjang minggu.

Ino terkekeh melihat reaksi teman-temannya. "Aku belum bisa bilang sekarang. Tapi kalau kami benar-benar jadian, kalian pasti akan jadi orang pertama yang tahu," jawabnya sambil tersenyum lebar.

Sakura berpura-pura cemberut. "Ih, bikin penasaran aja! Tapi ya sudah, kami tunggu ceritanya kapan-kapan," katanya sambil tertawa kecil.

Tenten menggelengkan kepala sambil tertawa. "Hahaha, jangan lupa ya, Ino. Kami pasti bakal tagih janjimu!"

Ino mengangguk sambil tertawa, sementara Hinata hanya tersenyum mendengar percakapan mereka. Melihat teman-temannya tertawa dan bercanda seperti ini membuat Hinata merasa damai. Kebahagiaan mereka adalah salah satu hal yang selalu dia syukuri dalam hidupnya.

"Ngomong-ngomong, Hinata," Sakura mengalihkan pembicaraan, matanya berbinar penuh semangat. "Gimana persiapan untuk perayaan ulang tahun sekolah nanti? Udah sejauh mana?"

Hinata tersenyum tipis. "Lancar kok, semua anggota OSIS lagi kerja keras. Tapi, kita masih butuh sponsor untuk acara besar nanti."

Ino menyela dengan nada bercanda, "Iya, benar. Apalagi ada Shikamaru dan teman-temannya. Mereka kan anak pewaris perusahaan besar. Mudah-mudahan aja perusahaan mereka mau sponsori acara kita."

"Iya, semoga aja," timpal Hinata. "Aku lagi ngurus proposalnya sekarang."

Tenten menatap Hinata dengan sedikit khawatir. "Kamu nggak terlalu capek kan, Hinata? Tugasmu banyak banget."

Hinata menggeleng, tersenyum tipis. "Nggak kok, Ten. Anggota OSIS yang lain juga bantuin aku. Bahkan Gaara bakal bantuin aku nganter proposal."

"Gaara? Si tatto merah itu?" seru Ino dengan suara sedikit lebih keras, membuat beberapa teman di sekitar mereka menoleh. "Wah, kalau gitu kamu bisa dekat dong sama dia. Siapa tahu bisa jadi jodoh."

Sakura menjitak kepala Ino pelan. "Ih, kamu tuh ya! Hinata kan nggak kayak kamu yang suka ngejar-ngejar cowok."

Ino manyun. "Ya, siapa tahu kan? Nggak ada yang nggak mungkin. Kalau nggak sama Gaara, ya sama temannya yang lain, si Naruto mungkin?" celetuk Ino dengan nada menggoda.

Hinata yang mendengar nama Naruto langsung menegang. Tenten menepuk pundak Hinata dengan lembut, lalu berujar, "Ino, mentang-mentang kamu lagi jatuh cinta, jadi obrolanmu soal cinta terus."

Ino tertawa kecil sambil mengangkat bahu. "Ya, cinta kan memang topik yang seru!"

.

.

.

Tbc.

Terimakasih udah baca sampai akhir, jangan lupa untuk vote ya. Biar aku gak lupa untuk upload lagi dan semangat untuk lanjutkan ceritanya. Wkwkwk

Thank you guys (⁠•⁠‿⁠•⁠)

Shadow Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang