Aku tidak begitu mengingat tentang garis kehidupanku sebelumnya. Semuanya tampak samar tertelan oleh lamanya waktu. Wajar saja, aku menghabiskan ratusan hingga ribuan tahun menanami tanah berhektar-hektar di akhirat sebelum dilahirkan menjadi Anneke dengan banyak drama dan air mata. Yang aku ingat dari kehidupanku dulu adalah aku miskin setengah mati, kaum wajah pas-pasan yang tidak akan dilirik pria mapan, tampan berduit, dan juga hanya kuli pabrik yang gajinya hanya mampir selama sepekan sebelum akhirnya kembali melarat.
Tidak ada yang bisa diingat dari kehidupan sengsara yang aku jalani selama kurang lebih dua puluh tahun itu. Tidak ada bahagia, lebih banyak sengsara yang ternyata kuingat dengan baik. Memang pepatah yang mengatakan bahwa hal-hal menyedihkan lebih mudah untuk dikenang itu benar adanya. Aku bahkan melupakan namaku. Harusnya kehilangan identitas itu menyedihkan, tapi juga bukan berarti aku akan bersedih-sedih ria. Maksudku, mengapa aku harus sedih kepada kehidupan yang sudah lama sekali aku jalani itu? Toh, kehidupanku sekarang lebih baik daripada menjadi buruh pabrik yang harus bekerja hingga rasanya mau mati.
Grand Duke masih memelukku erat, sedang aku malah terbengong-bengong seperti orang bodoh. Otakku dengan lambat memproses apa maksudnya, mencoba bersikeras menggabungkannya dengan sepenggal-sepenggal kalimat yang malaikat gadungan itu berikan.
Grand Duke bilang........lagi?
Aku ingat jelas bahwa aku tidak pernah menghadapi keajaiban hilang-menghilang begitu saja. Tidak pernah, dalam dunia ini, aku setidaknya masih menetap, tidak lenyap ataupun terkena bahaya. Dan Grand Duke tampak seperti orang yang baru saja kehilangan sesuatu yang teramat berharga. Aku mulai menerka-nerka.
"Ada orang lain yang datang kesini?"
"Ya, dia unik sekali."
"Unik?"
"Eum, dia satu-satunya roh yang bisa memaksa kami membawanya ke dunia yang ia mau."
Aku mengerjap pelan. Tanganku bergerak mendorong tubuh Grand Duke begitu aku mulai mendapat jawabannya. Ada kemungkinan orang yang dimaksud malaikat berprilaku iblis itu adalah Grand Duke. Meski yah, aku masih tidak percaya itu.
Sewaktu Grand Duke akhirnya mengalah dan memundurkan wajah, mata kami bertatapan. Pria itu menatapku dalam, seolah seperti menyelami sesuatu. Aku lekas dilanda gugup. Tanganku yang memegang lengannya mengerat.
"Apa saya pernah hilang dari hidup anda?"
Grand Duke tersenyum, bibirnya terangkat tipis, sendu sekali. Sementara matanya masih sibuk menatapku, tangannya yang bebas mengelus pipiku pelan dengan sayang. "Pernah, dan itu membuatku gila."
Mataku membulat, reaksinya jauh dari bayangnku. Cepat-cepat aku menunduk begitu Grand Duke melihatku seperti, ugh, aku tidak bisa menjelaskan. Pokoknya seperti itu deh.
"Anne," panggilnya lagi. Aku masih menunduk. "Lihat aku."
Aku mengelak, kualihkan tatapanku menuju arah lain. Grand Duke yang tampaknya gemas segara menarik pipiku, mengusapnya pelan. "Jangan berpaling," titahnya aneh.
Aku sendiri hanya termangu, menatap wajahnya sebatas batang hidungnya yang luar biasa mancung. Oh, jangan minta aku untuk melihat matanya, aku tidak mungkin kuat. Jantungku bertalu-talu cukup keras dan aku yakin Grand Duke pasti mendengarnya. Hanya orang gila yang tidak bisa terpesona dengan ketampanan di luar nalar itu, dan aku jelas hanya manusia biasa. Wajahku sudah merah padam. Bukan, bukan karena sakit. Aku hanya........yah, semacam...duh! Tidak tahu lah!
"Ada yang ingin kau tanyakan, benar?"
Aku mengangguk kaku dan Grand Duke justru tertawa kecil, membuatku kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling in Love : Anneke von Eustas
FantasyAku menjalani hidup keduaku sebagai Anneke setelah bekerja ribuan tahun menebus dosa di alam baka. Ini Anneke von Eustas yang biasa saja. Keponakan seorang Viscount--yang juga biasa saja. Anak malang ini--aku--adalah seorang yatim piatu malang yang...