Bagian Tujuh Belas : Kilas Balik Masa Lalu

1.1K 134 46
                                    

"Aku mencintaimu, Anne."

Bisikan itu terdengar begitu jelas di telinga, menimbulkan sensasi menggelitik di perut seolah ribuan kupu-kupu telah terbang ke sana ke mari tidak tau arah. Pipiku bersemu—yang tak kuingat lagi untuk keberapa kali hari ini. Yang kutahu, hatiku sekarang seperti ditumbuhi ribuan bunga, serempak bermekaran hingga membuat dadaku berdebar-debar.

Aku mencintaimu, katanya.

Lengan Max masih sibuk memeluk pinggangku dari belakang. Kami duduk di tepi ranjang dengan aku yang berada di pangkuannya. Tidak, kami tidak melakukan apa-apa. Jangan bayangkan adegan dewasa karena otak kami sekarang cukup lebih waras. Max cukup dengan hanya memeluk tubuhku, bonus mengendusi bau tubuhku juga sebenarnya. Beberapa kali aku bisa merasakan senyumnya yang timbul tiap bibirnya menyentuh pundakku. Max benar-benar seperti manusia kehilangan akal yang otaknya dipenuhi asmara. Oh Demi Tuhan!

"Aku suka aromamu," ujarnya, membuat pipiku bersemu.

Kusentuh lengannya yang melingkar di pinggangku, entah mendapat keberanian dari mana, aku mengelus pelan lengan itu hingga membuat Max menegang sesaat sebelum akhirnya mengeratkan pelukan. Eh, dipikir-pikir aku terlalu berani tidak sih?!

Aku meringis.

"Max tidak lelah aku duduk disini?"

Kudengar Max tertawa kecil, lantas disusul gelengan pelan. "Tidak, aku suka kau disana."

Pipiku bersemu sekali lagi. Ini tidak sehat untuk kesehatan jantung, Ya Tuhan.

"Jangan menggodaku, Max," bisikku pelan yang kembali mendapat tawa ringan. Pipiku merona semakin parah yang ujung-ujungnya menarik perhatian Max untuk dikecup lama.

"Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya pria itu usai memainkan pipiku.

Tubuhku sejenak merasa kaku. Banyak pertanyaan lantas sibuk memenuhi otak, membuat kepalaku pening. Jelas, aku sudah memantapkan hati untuk mengutarakan banyak pertanyaan yang bercokol di hati dan pikiran. Pun, memang benar bahwa kotak bernama masa lalu itu harus segera dibuka sebelum aku semakin tenggelam karena banyak bertanya-tanya dan penasaran.

Maka, kuputuskan untuk menolehkan kepala ke belakang, menatap Max sejenak sebelum kembali menekuri lantai dengan wajah tegang.

"Ada apa?"

Barangkali sebab melihatku terlalu banyak berpikir, Max melongokkan kepalanya melewati perpotongan leher, mencoba melihatku semakin intens. Aku menggeleng samar melihat kekhawatirannya, lantas kembali menatap lengannya yang memelukku hangat.

"Max."

"Hm?"

Meneguk ludah, kumantapkan hati sekuat tenaga. "Siapa aku?"

Pelukan Max mengerat sesaat, pria itu masih diam, menenggelamkan kepalanya di bahuku sebelum memberikan kecupan lama. "Anneke, orang yang aku suka," katanya.

"Maksudku, namaku di dunia sana, Max," cicitku pelan. Wajahku agak memerah dan Max benar-benar sibuk menggodaku sepertinya.

Mendengar pertanyaanku, Max lantas sedikit mengangkat tubuhku, membuat tubuhku yang awalnya membelakanginya kini menyerong, menatapnya dari samping. Pria itu sejenak menatapku intens dengan senyum kecil yang terbit di bibirnya, pun dengan mata teduh yang kini membuatku semakin sakit kepala. Memutuskan kontak mata kami, aku lekas menunduk dalam yang mengundang tawa ringan Max.

Suara laki-laki itu merdu sekali, lantas sebab tawa ringannya, tubuhnya bergetar ringan yang entah mengapa membuat pipi dan seluruh wajahku merah padam. Tangan Max yang bebas menarik lenganku mendekat, membawanya untuk mengalungkan lenganku di lehernya. Pose kami sudah seperti apa saja, yang jelas membuat dadaku meletup-letup sebab perasaan yang entah mengapa terasa mendebarkan.

Falling in Love : Anneke von EustasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang