4. The Contract

11.3K 41 0
                                    

Sheila berdiri di depan gedung perkantoran megah, arsitektur modern dengan dinding kaca yang memantulkan langit biru cerah di atasnya. Gedung itu milik Richard, dan baru seminggu yang lalu, Sheila menghabiskan malam yang tak terlupakan—malam yang membekas dalam pikirannya lebih dari yang ia bayangkan. Di tangannya, kartu nama Richard masih terasa dingin dan tegas, seperti ingatan yang tidak bisa dihapus. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir rasa ragu dan ketidakpastian yang melanda dirinya.

Ini adalah kesempatan yang telah dinantinya—kesempatan untuk meninggalkan Lumière Entertainment yang kecil dan mengejar sesuatu yang lebih besar, lebih berkuasa. Sheila tahu bahwa bertemu dengan Richard di kantor resminya berarti memasuki dunia bisnis yang tidak hanya keras, tetapi juga penuh dengan intrik dan permainan kekuasaan. Namun, ambisinya lebih kuat daripada ketakutannya.

Setelah melangkah masuk ke lobi, Sheila disambut oleh interior yang elegan dan minimalis, dengan lantai marmer dan pencahayaan yang hangat namun profesional. Seorang resepsionis yang anggun dengan rambut disanggul rapi menyambutnya dengan senyum formal.

“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan sopan.

Sheila menunjukkan kartu nama Richard. "Saya ada janji dengan Mr. Alexander," ujarnya dengan percaya diri yang dipaksakan.

Resepsionis itu melihat kartu nama tersebut dan mengangguk. “Tentu, Ms. Sheila. Silakan tunggu sebentar.” Dia menelpon ke dalam, berbicara dengan suara pelan sebelum mengangguk lagi kepada Sheila. “Anda bisa langsung ke lantai tertinggi, Mr. Alexander sudah menunggu.”

Sheila menaiki lift ke lantai tertinggi, jantungnya berdegup lebih cepat seiring naiknya angka di panel lift. Ketika pintu terbuka, dia melangkah keluar ke koridor yang lebih sunyi, dengan karpet tebal yang meredam suara langkahnya. Pintu kantor Richard berada di ujung koridor, besar dan tegas dengan tulisan “Richard Alexander” di atasnya.

Sheila mengetuk pintu perlahan, dan setelah beberapa detik yang terasa lebih lama dari biasanya, suara dalam yang sudah dikenalnya berkata, “Masuk.”

Pintu terbuka, dan Sheila melangkah masuk ke dalam kantor yang luas. Dinding-dinding kaca memberikan pemandangan kota yang spektakuler, sementara meja kerja besar di tengah ruangan mendominasi ruang. Richard duduk di balik meja itu, dengan laptop di depannya, tapi pandangannya langsung beralih ke Sheila saat dia masuk.

“Ms. Sheila,” sapanya tanpa senyum, nadanya tetap dingin dan terkontrol. "Duduklah."

Sheila duduk di kursi di depan meja, mencoba untuk tidak memperlihatkan kegugupannya. Richard mengamati setiap gerakannya, mata tajamnya seakan menembus pertahanannya.

“Bagaimana kabar Anda sejak kita terakhir bertemu?” tanya Richard, suaranya tetap tenang, tetapi Sheila bisa merasakan nada sinis yang terselip di antara kata-katanya.

“Baik, Tuan,” jawab Sheila, berusaha terdengar setenang mungkin. “Saya di sini untuk mendiskusikan peluang yang Anda sebutkan minggu lalu.”

Richard mengangguk pelan. “Bagus. Saya menghargai inisiatif Anda untuk datang ke sini. Saya kira Anda sudah memikirkan keputusan Anda dengan matang?”

Sheila menelan ludah, merasa bahwa ini adalah momen yang menentukan. “Ya, saya sudah memikirkannya, Tuan. Saya siap untuk mengejar peluang yang Anda tawarkan.”

Richard menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Sheila dengan intensitas yang membuatnya merasa seperti sedang diperiksa. “Anda tahu, Sheila, di dunia ini, kesetiaan itu langka. Orang-orang hanya mengikuti apa yang menguntungkan mereka. Saya harap Anda mengerti bahwa bekerja dengan saya bukan hanya tentang keuntungan finansial, tapi juga tentang kesetiaan dan dedikasi penuh.”

Executive Bitch 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang