Keesokan harinya, Sheila bangun dengan perasaan campur aduk. Pikirannya masih tertuju pada kejadian semalam, ketika ia berhasil mempengaruhi Pak Hadi demi keuntungan perusahaan. Meski ia mendapatkan apa yang diinginkan, rasa puas itu bercampur dengan rasa jijik dan hampa yang tak bisa diabaikan.
Saat tiba di kantor, suasana terasa berbeda. Tatapan-tatapan penuh rahasia dari beberapa rekan kerjanya membuat Sheila merasa waspada, meskipun ia tetap berusaha bersikap seperti biasa. Di dalam ruangannya, Sheila mendapati sebuah amplop di atas meja dengan nama Richard tertulis di sudutnya.
Ia membuka amplop itu dan menemukan kontrak yang sudah ditandatangani oleh Pak Hadi, bersama dengan memo singkat dari Richard: "Good job. Let's keep this momentum going."
Sheila menghela napas. Di luar, semuanya terlihat berjalan lancar, tetapi di dalam, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Rasa bersalah dan kesepian mulai merayap, meski ia mencoba menepisnya.
Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk. Hana, asisten administratif, masuk dengan ekspresi serius. "Bu Sheila, Pak Richard ingin bertemu dengan Anda di ruangannya sekarang," kata Hana singkat.
Sheila merapikan diri dan bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Di kepalanya, ia tahu bahwa permainan ini belum berakhir. Kekuatan, ambisi, dan godaan masih akan terus menjadi bagian dari hidupnya, setidaknya untuk saat ini.Sheila berjalan menuju ruang Richard dengan kepala penuh pikiran. Perasaan tak nyaman yang muncul dari kejadian malam sebelumnya tak kunjung hilang. Namun, ia mencoba untuk menahan diri, tetap tegar, dan profesional.
Saat tiba di depan pintu ruang Richard, Sheila mengetuk pintu dan mendengar suara khas Richard mempersilahkannya masuk. Ia mendorong pintu dan melihat Richard berdiri di belakang meja kerjanya, tampak sibuk dengan beberapa dokumen.
"Duduklah, Sheila," katanya tanpa mengangkat pandangannya dari kertas-kertas di tangannya. Sheila duduk di kursi di depan meja, menunggu dengan sabar meskipun perasaannya bercampur aduk.
Richard akhirnya menutup map dokumen di tangannya dan mengarahkan pandangannya ke Sheila. "Kau melakukan pekerjaan yang baik semalam," katanya dengan nada yang datar, tetapi ada nada kepuasan di dalamnya. "Kontraknya sudah di tangan kita, dan itu semua berkatmu."
Sheila hanya mengangguk pelan, merasa bahwa tidak ada yang perlu dikatakan. Semua ini adalah bagian dari permainan yang ia pilih untuk mainkan, namun ada bagian dari dirinya yang berharap bisa menghindar dari semuanya.
Richard mengamati Sheila sejenak, seolah membaca kegelisahan yang tersirat di wajahnya. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya, meskipun jelas pertanyaan itu lebih formalitas daripada ungkapan kekhawatiran yang tulus.
"Ya, saya baik-baik saja," jawab Sheila cepat, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanan yang ia rasakan. "Hanya sedikit lelah, itu saja."
Richard mengangguk, tidak menekan lebih lanjut. "Bagus. Karena kita masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Aku ingin kau fokus pada klien berikutnya. Ini akan menjadi kesepakatan yang jauh lebih besar, dan aku yakin kau bisa menangani ini."
Sheila menerima berkas yang disodorkan Richard padanya, merasa bebannya semakin bertambah. "Tentu, saya akan menangani ini dengan baik," jawabnya dengan suara yang terdengar lebih tegas.
Richard mengangguk puas. "Bagus. Aku selalu bisa mengandalkanmu, Sheila. Ingat, kita bermain untuk menang di sini. Apa pun yang terjadi, jangan pernah menunjukkan kelemahan. Dunia ini hanya untuk yang kuat."
Sheila memaksakan senyum kecil dan mengangguk. Ia tahu, di dunia yang mereka mainkan ini, tidak ada ruang untuk ragu atau lemah. Hanya mereka yang berani mengambil risiko yang bisa bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Executive Bitch 21+
Teen FictionWarning cerita dewasa 21+ Sheila adalah jalang milik perusahaan, menggunakan pesona dan kecerdasannya untuk memikat investor. Perusahaan mengandalkannya, bukan hanya untuk strategi, tapi juga untuk menggoda pria berpengaruh yang datang untuk berbis...