"Berhentilah hidup di zaman batu, Ibu! Zaman sekarang sudah tidak ada lagi yang namanya perjodohan. Apa kata teman-temanku nanti jika mereka tahu kalau aku dijodohkan?"
Ibu Seokmin menggertakkan gigi. Sebenarnya ia sangat marah pada putra semata wayangnya itu, namun berusaha keras ditahan karena baru saja bulan lalu pemuda itu kabur dari rumah karena masalah serupa. Yang menjadi perbedaan hanyalah Ibu Seokmin yang kelepasan dan amarahnya tak terkendali. Berujung sebuah tamparan mengenai pipi kanan si Bangir. Seokmin baru kembali ke rumah usai dibujuk oleh kakek dan neneknya. Kasihan Ibumu tinggal di rumah sebesar itu sendirian, kata mereka. "Lalu maumu apa? Membiarkan bisnis peninggalan Ayahmu ini hancur begitu saja lalu kita jatuh miskin? Begitu?"
"Aku bisa melanjutkan bisnis ini begitu aku berhasil menyelesaikan kuliahku," kata Seokmin, penuh percaya diri meski sebenarnya ia sendiri pun tidak yakin. Apalagi ia bukan mahasiswa yang berprestasi. Nilai pun pas-pasan yang penting lulus. Tapi masa bodoh. Yang penting perjodohan ini tidak dilanjutkan.
Wanita yang kini telah berumur setengah abad itu terkekeh. "Kamu kira semudah itu?"
"Memang tidak mudah tapi aku yakin bisa melakukan. Apalagi aku memiliki pacar yang sangat pintar."
Mata Ibu Seokmin menyipit. Menatap Seokmin penasaran. Berusaha mencari celah apakah anaknya itu sedang berterus terang atau malah sebaliknya. Atau jangan-jangan selama ini Seokmin menolak perjodohan karena memang sudah memiliki pacar? "Pacar katamu? Kamu sudah memiliki pacar?"
Seokmin menelan ludahnya dengan susah payah. Mengutuk diri sendiri karena sudah sembarangan bicara. Tapi, apa boleh buat. Demi membatalkan perjodohan, apa pun akan ia lakukan. "Y-ya ... Pacarku cantik dan sangat pintar. Aku yakin berkat bantuannya, aku bisa mengembalikan masa kejayaan bisnis peninggalan Ayah."
✿✼:*゚:.。..。.:*・゚゚・*
Pemuda bermarga Lee itu memandangi menu makan siang kantin kampus dengan wajah tak berselera. Padahal menu hari ini adalah menu kesukaannya. Mungkin karena pertengkarannya dengan sang ibu tadi pagi. Juga karena kebodohannya dalam mengucapkan kalimat. Ya, ia memang hanya sembarangan bicara. Jangankan pacar, gebetan saja Seokmin tidak punya. Yang sedang dekat tentu ada, tapi tidak dalam tahap serius. Seokmin hanya bermain-main tanpa berniat melangkah maju dan mengubah status. Karena dalam pikiran, wanita-wanita itu hanya menginginkan uangnya.
Sebenarnya bukan hanya karena ia khawatir dengan tanggapan kawan-kawannya jika menerima perjodohan itu. Namun juga karena ia memang sama sekali tidak tertarik dengan sosok Jeon Wonwoo. Memang cantik, namun bukan selera Seokmin. Lagipula Seokmin belum berpikir sama sekali untuk berumah tangga. Kuliah saja belum selesai. Meski masa dengannya terjamin, tentu Seokmin tetap memikirkan egonya sebagai pria. Memberi makan ego adalah satu hal yang tidak kalah penting baginya. Pria macam apa yang hanya mengandalkan bisnis orangtua dan mertua?
Terlalu lama melamun, membuat menu makan siangnya tak lagi hangat. Sudah tak berselera, menjadi semakin enggan menyuap meski hanya sesendok. Pemuda berhidung mancung itu langsung berdiri, memutar badan, lalu menabrak seorang mahasiswi yang kebetulan lewat.
"Sial..." jerit Seokmin penuh kekesalan meski bernada pelan. Kekesalan itu sangat jelas terlihat melalui raut wajahnya.
"Oh, astaga! Maafkan aku, sungguh maafkan aku."
Perempuan itu panik bukan main. Tanpa berpikir panjang ia langsung melepas jaket lusuh yang dikenakannya untuk mengelap es jeruk yang tumpah mengenai kemeja biru berharga mahal kepunyaan Seokmin. Sambil mengelap, mulut gadis itu tidak berhenti mengucapkan permintaan maaf.