SHUAKAT

261 31 6
                                    

"Batu."

Mingyu bingung. Jawaban macam apa itu? "Aku serius."

"Aku juga serius."

Menggeleng cepat, Mingyu sedikit berlari untuk menyusul sahabatnya itu. Tentu jawaban Seokmin tadi membuatnya tercengang hingga tanpa sadar telah menghentikan langkah. Membiarkan Seokmin tetap berjalan meninggalkan. Berhasil berdiri di samping Seokmin, ia langsung memegang bahunya. Mencoba menarik perhatian. Mencari keseriusan Seokmin. Benar, dari raut wajah, Seokmin serius. Bahkan Mingyu tak pernah melihat Seokmin seserius ini sebelumnya. "Kenapa jadi batu?"

Seokmin mengangkat bahu satu kali. Tak mau menghentikan langkah. Membiarkan Mingyu mengikuti di belakang. Berjalan berdampingan hanya akan mengganggu jalan orang lain. "Bukankah hidup terlalu sulit?"

Tentu. Mingyu setuju. "Tidak ada manusia yang tidak memiliki masalah selama hidupnya. Bahkan manusia yang bergelimang harta sekalipun."

"Itu sebabnya aku ingin menjadi batu."

Mingyu tergelak. Namun karena Seokmin masih menampakan keseriusan, walaupun Mingyu tak melihat wajah Seokmin, ia bisa menangkap sinyal itu melalui caranya berjalan. Tawa Mingyu hanya berlaku sebentar. Sebenarnya apa yang terjadi terhadap sang sahabat? "Kenapa harus batu? Kamu bisa saja menjawab menjadi kucing? Atau ayam? Atau harimau? Kenapa makhluk tidak bernyawa seperti batu?"

Yah, memang opsi yang Mingyu ajukan tidak ada yang masuk akal juga. Ingin menjadi apa kamu di masa depan? Orang waras akan menjawab menjadi dokter, polisi, dosen, pengusaha, dan profesi elit lainnya. Mustahil menjawab bahwa ia ingin menjadi kucing, ayam, harimau, seperti yang Mingyu ajukan. Tapi setidaknya opsi itu jauh lebih baik dibanding opsi yang Seokmin pilih: batu. Siapa yang ingin menjadi batu?

"Bukankah hidup itu terlalu sulit?" Seokmin mengulangi pernyataannya.

Ah... Kini Mingyu telah mendapat poinnya. Tapi tetap menutup mulut, menunggu Seokmin melengkapi jawaban.

"Kucing jalanan sering disiksa orang yang tidak menyukai kucing. Ayam selalu dipisahkan dari induknya begitu lahir. Harimau ditakuti hewan lain, sehingga tidak memiliki teman. Aku ingin menjadi batu saja."

Sedikit banyak Mingyu memang mengetahui apa yang Seokmin derita selama ini. Tapi ini adalah kali pertama ia mendengarkan keluh-kesah lelaki bangir itu. Yah, walaupun ucapan tadi tidak sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai keluhan. Keluh kesah itu diucapkan secara tersirat. Mingyu merangkul sang sahabat sembari memberi pijatan kecil ke sana. Punggung itu masih berumur muda, namun sudah menanggung beban yang tidaklah ringan. "Setelah ini mau ke mana? Langsung ke kafe apa mau makan dulu? Aku traktir."

Seokmin terkekeh. Menyingkirkan tangan Mingyu. "Tidak usah mengasihani aku. Selesaikan saja urusanmu sendiri."

"Tidak usah percaya diri. Aku menawari traktiran karena nilai matematikaku tinggi, jadi diberi ibu uang lebih sebagai hadiah." Bohong. Mingyu hanya ingin menghibur sahabatnya itu meski sedikit.

"Tteokbokki itu saja," Seokmin menunjuk ke toko kecil pinggir jalan. Terlihat beberapa murid lain tengah mengantre di sana.

"Kamu yakin? Tidak mau makan besar? Tteokbokki tidak akan membuat perut buncitmu kenyang."

Tanpa menjawab Seokmin langsung saja menarik tangan Mingyu. Memesan tteokbokki porsi besar, agar Mingyu tak protes lagi. Namun ia minta dibungkus dan mengatakan akan menyantapnya di kafe, tempat Seokmin bekerja paruh waktu. Kafe yang sudah menemaninya selama hampir dua tahun, sejak kedua orangtuanya meninggal dunia akibat kecelakaan. Meski Mingyu berpesan agar tteokbokki itu dimakan sesegera mungkin sebelum mendingin, Seokmin hanya memakannya sedikit lalu dibungkus kembali agar dapat ia bawa pulang. Dijadikan sebagai menu makan malam. Kalau bisa, juga dijadikan sebagai menu sarapan sebelum berangkat sekolah besok pagi. Berharap saja Seokmin tidak khilaf saat menyantapnya malam ini.

TIRA(MISS-YOU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang