Candala

195 24 4
                                    

"Bahkan para perawat di panti asuhan itu tidak ada satu pun yang berani menjamin kebersihan garis keturunannya kelak, berasal dari mana keluarganya, dan alasan kenapa dia dibuang. Bagaimana bisa kamu memintaku untuk memercayainya dan membiarkan kalian menikah? Kamu itu anak satu-satunya. Ibu hanya memiliki dirimu. Ayahmu sudah berada di dalam tanah sejak kamu kecil, Lee Seokmin! Aku membesarkanmu sendirian! Aku yakin jika ayahmu masih hidup pun, dia juga tidak akan memberikan kalian restu. Apa yang bisa aku harapkan dari seorang yatim piatu yang tahu nama kedua orangtuanya saja tidak? Datang dari mana marga Hong itu? Sembarangan pilih karena dia menyukainya?"

Pagi itu, di hari Kamis yang cerah. Pertengahan bulan September. Hari yang tepat untuk menikmati musim gugur. Jisoo berjalan pelan di bawah rimbunnya pohon berukuran besar di sebuah taman sunyi karena sekarang adalah hari kerja. Dengan sengaja ia mengambil cuti khusus hari ini untuk menyambut kedatangan Ibu Seokmin yang menetap di Busan. Meski tidak berjalan sesuai dengan keinginan, sebisa mungkin Jisoo tetap tersenyum. Toh ia sudah memprediksi kejadian ini sebelumnya. Juga makian itu bukanlah kali pertama.

Siapa dia?
Pantaskah dia?
Haruskah bertahan?
Masih adakah celah?

Satu tangan mencengkram jari-jari tangannya. Lembut namun meyakinkan. Tapi sayangnya tidak cukup meyakinkan Jisoo untuk menjawab semua pertanyaan tadi. Dan, semakin jauh mereka jalan beriringan, cengkraman itu semakin mengendur hingga akhirnya terlepas.

Inikah jawabannya?

Jisoo menghentikan langkahnya. "Kita harus berhenti." Suara Jisoo memang pelan. Ditambah embusan angin yang ia yakini dapat menyamarkan suara, atau bahkan meniup gelombang suara hingga mengikisnya tanpa sisa sebelum sampai ke telinga Seokmin. Meski tangan itu tak lagi mencengkram jari-jari tangan Jisoo, rasa hangat dan nyamannya masih tersisa hingga sekarang. Sejujurnya Jisoo takut. Apakah ia bisa bertahan meski tanpa tangan Seokmin yang selama ini membantunya berdiri?

Mata Seokmin basah. Peperangan kecil yang terjadi di rumahnya tadi berhasil membuat Seokmin rapuh. Rumah yang menjadi saksi bisu bagaimana hangatnya Seokmin menghabiskan separuh dari waktunya bersama Jisoo. Nyatanya sekeras apa pun keinginan Seokmin, Ibu Seokmin tak kalah kerasnya. Jisoo tertawa dalam hati. Memang ibu dan anak. Tangan Seokmin menggenggam kuat hingga ujung kukunya memutih. "Aku tetap akan menikahimu. Kita bisa meyakinkan Ibuku begitu kita memiliki anak. Ibuku akan luluh begitu diberi cucu pertama."

Lagi. Jisoo tertawa di dalam hatinya. "Mudah sekali."

Seokmin membuka sedikit mulutnya agar dapat bernapas melalui mulut. Berjalan lalu berhenti tepat di hadapan Jisoo. Tidak ada hal lain yang ia inginkan selain Jisoo. Tidak ada hal lain yang ia dambakan selain hidup selamanya bersama Hong Jisoo. Dan ia sudah puluhan tahun hidup bersama ibunya. Seokmin mengenal ibunya seratus persen. Seokmin yakin, suatu saat nanti, entah cepat atau lambat, ibunya akan merentangkan kedua tangan untuk memeluk Jisoo. Seperti yang ia lakukan selama lima tahun terakhir. "Kamu tahu betapa egoisnya aku jika itu berkaitan denganmu?"

Jisoo menampar dada Seokmin main-main. "Berhentilah egois dan siapkan dirimu untuk menerima gadis lain."

Tidak Seokmin biarkan Jisoo menggeser posisinya sedikit pun. Lelaki itu mencengkram kedua pundak Jisoo kuat bahkan mungkin akan meninggalkan bekas kemerahan di sana. Ia marah. Jisoo telah melanggar perjanjian yang mereka buat dua tahun lalu, saat mereka sepakat untuk menjalani masa depan bersama-sama. "Siapa dirimu? Kembalikan Jisoo-ku."

Kali ini Jisoo meloloskan suara tawanya. "Lucu sekali." Katanya, bernada mengejek.

Seokmin mencium bibir Jisoo satu kali. Hanya saling menyentuh. Tidak lebih dari itu. Tidak seperti biasanya. Juga bedanya, Jisoo dapat merasakan kepasrahan di sana, tidak seperti biasanya yang penuh keyakinan.

TIRA(MISS-YOU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang