Maaf

125 21 4
                                    

"Aku merasa sangat beruntung bisa bekerja di sana. Semua karyawan, bahkan juga pemilik tokonya sangat baik. Aku diperlakukan seperti karyawan lainnya, bukan seperti karyawan baru," kata Jisoo, selagi membuatkan Seokmin secangkir kopi. Menaruhnya di samping sepiring nasi goreng yang sudah lebih dulu tersaji bahkan sebelum Seokmin duduk di meja makan dapur mereka. "Aku dengar karyawan di sana memiliki masa kerja rata-rata lebih dari lima tahun. Aku mengerti mengapa mereka sangat betah bekerja di sana. Suasananya sangat menyenangkan. Aku yakin bisa bekerja di sana lima, sepuluh, atau bahkan lima belas tahun ke depan."

Seokmin menghirup lamat-lamat aroma kopi hangatnya sebelum menyeruput sedikit demi sedikit. Nyeri di kepala tidak juga berkurang sejak kemarin. Membuat Seokmin semakin tak memiliki tenaga untuk bekerja hari ini. Namun ia tidak dapat melakukan apa-apa selain memaksa keadaan tubuhnya agar tetap bisa berdiri tegap, karena hari ini adalah hari penting. Rapat penentuan investor.

"Menurutmu bagaimana? Kamu tidak masalah kan jika aku bekerja meski jika kita sudah memiliki anak nanti? Aku yakin bisa mengatasi semuanya, apalagi kita sama-sama sudah bekerja. Kita akan memiliki uang lebih untuk membayar seorang pengasuh selama tiga tahun pertama, lalu menitipkannya di sekolah dini. Aku dengar sekolah dini itu penting untuk mengajarkannya bersosialisasi dengan anak seusianya." Jisoo duduk tepat di depan sang suami. Menyuguhkan dirinya sendiri segelas susu khusus program hamil. Program yang mulai ia jalani dua bulan terakhir, begitu mereka memasuki usia pernikahan yang kedua tahun. "Seokmin?" tegur Jisoo, karena sedari tadi ucapannya tidak juga mendapat tanggapan.

"Kamu terlalu berisik," kata Seokmin, usai mengesap kopinya lagi.

Kalimat pertama Seokmin hari ini terlalu melukai hati Jisoo. "A-apa?"

"Apa kamu tahu betapa muaknya aku mendengar ocehanmu sedari tadi?" Seokmin menatap Jisoo tajam. "Kepalaku pusing, kamu membuat kepalaku hampir pecah."

Mulut Jisoo terkantup rapat. Tanpa sadar mata runcing Jisoo jadi berkaca-kaca. Apakah benar kalimat tadi keluar dari mulut Seokmin? Suaminya sendiri? Sejujurnya Jisoo masih tidak percaya. Mungkin saja Jisoo sedang berhalusinasi, atau sekarang ia masih berada di alam mimpi. Namun pada kenyataannya, saat ponsel genggam Seokmin berdering nyaring dan lelaki itu berjalan meninggalkannya begitu saja, Jisoo jadi tersadar. Ini bukan halusinasi. Juga bukan mimpi.

✿✼:*゚:.。..。.:*・゚゚・*

Rasanya begitu melegakan usai bergelut dengan rapat selama lebih dari lima jam dan mendapat hasil akhir bahwa projek yang ia perjuangkan selama berbulan-bulan terakhir berhasil tembus. Saking bahagianya Seokmin, sakit kepala yang telah menyerang sejak kemarin seketika hilang begitu saja bahkan tak meninggalkan jejak sedikitpun. Langkah Seokmin terasa sangat ringan sepanjang perjalanan pulang usai menghadiri perayaan kecil-kecilan yang diadakan oleh timnya. Sepertinya Seokmin tidak akan mabuk meski menghabiskan beberapa botol alkohol saking bahagianya ia hari ini.

Seokmin tiba di kediaman mereka pada pukul sebelas. Belum tengah malam sehingga pada awalnya ia berpikir kalau Jisoo juga belum tidur. Ternyata ia salah. Begitu taksi yang Seokmin tumpangi berhenti tepat di depan rumah mereka, sebagian besar lampu rumah sudah dimatikan. Tubuh kecil Jisoo yang terbenam di dalam selimut menjadi pemandangan pertama begitu Seokmin masuk ke dalam kamar.

"Mobilku ditinggalkan di kantor karena kemarin kami minum banyak untuk merayakan keberhasil proyek." Seokmin berhasil menghabiskan secangkir kopi yang Jisoo buatkan untuknya. Yang sekaligus menjadi kalimat pertamanya hari ini. Untuk menghancurkan suasana sepi karena sedari tadi Jisoo sangat sibuk dengan keadaan dapur seperti tidak menyadari keberadaan sang suami. Tidak juga mendapat tanggapan, Seokmin mengajukan pertanyaan. Pertanyaan sepele yang sebenarnya hanya karena ia ingin mendengar suara istrinya. "Bagaimana pekerjaanmu?"

TIRA(MISS-YOU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang