05

10 3 0
                                    

"𝖠𝗌𝗌𝖺𝗅𝖺𝗆𝗎'𝖺𝗅𝖺𝗂𝗄𝗎𝗆𝗎𝗆 𝖶𝖺𝗋𝖺𝗁𝗆𝖺𝗍𝗎𝗅𝗅𝖺𝗁𝗂 𝖶𝖺𝖻𝖺𝗋𝖺𝗄𝖺𝗍𝗎𝗁!
𝖡𝗂𝗌𝗆𝗂𝗅𝗅𝖺𝗁𝗂𝗋𝗋𝖺𝗁𝗆𝖺𝗇𝗂𝗋𝗋𝖺𝗁𝗂𝗆.."

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ مُحَمَّدٍ{◆}

.
.
.

Tak!

"Lo kenapa?" tanya Lean, ia meletakkan sekaleng soda pada meja kantin sehingga menimbulkan suara keras yang membuyarkan lamunan Ryan.

Ryan mengambil soda itu, membukanya dan meminumnya. "Ah... gue lagi kena masalah besar nih..."

"Papa gue gak bakal bantu." sahut Xion.

Ryan berdecak sebal. "Mau Papa lo bantu pun, dia gak bakal bisa bantuin gue kali ini!"

Jawaban Ryan itu sontak membuat teman-temannya menoleh. "Lo bikin kesalahan besar apa emang kali ini?" tanya Xion.

"Hah!" Hero menutup mulutnya seolah terkejut. "Jangan bilang... jangan bilang lo lecehin anak orang ya?"

Plak/

Ryan refleks memukul Hero. "Lo kata gue cowok apaan?!" kesal Ryan.

Hero mengusap lengannya yang terkena pukulan Ryan. "Ya siapa tau gitukan, lagian emang masalah apa yang bisa bikin om Rizal gak bisa bantu lo?"

Ryan kembali termenung mendengar pertanyaan Hero. "Ini masalah antara hidup dan mati gue." Ryan berubah serius.

"Hah?! Lo kena kanker?!" sahut Kevin. "Ck, ck, ck, bro... cepet tobat deh lo ya, takut keburu jadi ubi." lanjutnya mengusap punggung Ryan.

Ryan mengepal tangannya kesal. "Ah! Percuma gue ngomong sama lo pada!" seru Ryan frustasi, pria itu melenggang pergi dengan langkah besar.

"Eh! Eh! Bos!"

"Bodoamat! Kalian emang gak bisa gue andelin! Mending gue nyamperin di Kaiden aja ah!"

"Lo sih!" ucap Hero menyenggol bahu Kevin.

"Enak aja!"

"Berisik!"

ᨏᨐᨓ 𝑨𝑹𝑨𝒀 ᨓᨐᨏ

"Tumben masuk lagi? Biasanya abis kelas pertama lo langsung pulang?"

Ryan duduk dengan bertumpang kaki, ia menarik kursi pria di sebelahnya agar mendekat dan merangkulnya.

"Jadi gini, gue masuk bukan buat belajar tapi buat nanya sama lo." ucap Ryan. "Sebagai satu-satunya orang yang gue akui paling waras disini--"

"Muak sama kata manis lo, kemarin-kemarin yang paling waras masih si Xion, kenapa sekarang jadi gue?"

"Lo cemburu Kai?"

"Lo kata gue pelangi cemburu sama lo?"

Ryan terkekeh kecil. "Oke, oke maaf. Jadi, gue gak tau lo bisa bantuin gue selesain masalah ini atau nggak, tapi gue tau lo selalu bisa berpikir dengan logika makanya lo pasti bisa bantuin gue--"

"Gak usah banyak bac*t!" potong Kaiden.

Ryan menghela nafas. "Gue punya anak buah gini amat ya, gak ada gitu hormat hormatnya sama ketua!" gerutu Ryan.

"Lo bukan bapak kita yang patut kita hormati." celetuk Kaiden.

"Emang gak ada yang bisa gue harapin dari lo." Ryan lagi-lagi menghela nafas. "Jadi balik lagi ke topik awal," Ryan menarik nafas panjang.

"Jadi tuh kemarin malem gue mabuk ceritanya gara-gara tuh bocah pada ngajak gue ke klub, terus pas balik gue ketemu sama rombongan orang-orang pengajian kayak anak-anak sama kakak pendamping gitu, terus 'kan kakak pendampingnya pake cadar gitu ya. Nah! Karena gue lagi mabok gue buka tuh cadarnya, alhasil... abangnya dateng minta gue nikahin adeknya,"

"Besoknya gue bangun tidur baru sadar sama apa yang udah gue lakuin jadi gue dateng ke rumahnya buat minta maaf, di sana bapaknya juga nyuruh gue nikahin anaknya setelah anaknya lulus nanti. Tapi tadi siang..." Ryan terdiam selama beberapa saat.

"Tadi kenapa?" tanya Kaiden penasaran.

"Tadi siang dia ngajak gue ketemu, dia minta maaf karena minta gue buat nikah sama anaknya, terus dia juga ceritain gimana anaknya dan terakhir... dia minta gue buat keputusan dari hati, tentang gue bener-bener mau nikah sama dia dan berusaha sayang sama dia atau...--"

"Atau lo dateng kesana dan bilang gak bisa nikahin dia?" tebak Kaiden.

Ryan mengangguk membenarkan. "Jadi menurut lo gimana?" tanya Ryan.

Kaiden mengedikkan bahu. "Keputusannya sih ada di lo, kalau lo pikir lo bisa sayang, bisa suka sama dia ya silahkan tapi kalau lo pikir lo bakal bikin dia sedih, sakit hati atau sebagainya yang bersifat negatif ya jangan. Pokoknya pilih yang terbaik. Bukan cuman buat lo tapi yang terbaik buat dia juga."

"Jadi..?"

Kaiden menghela nafas. "Jadi, kalau lo pikir lo bakal nyakitin dia jangan nikahin dia, karena menurut gue, lukanya yang sekarang masih bisa di sembuhkan dengan cepat, tapi kalau lo nyakitin dianya setelah menikah... perlu waktu lama buat dia nyembuhin luka itu."

Ryan mulai merenung, ia menumpu dagu dengan tangannya. "Kayaknya gue harus mengamati dia lebih dekat baru bisa memutuskan."

Kaiden mengangguk setuju. "Betul tuh, jangan sia-siakan mutiara di dasar laut, tapi jangan juga ambil sembarangan mutiara itu karena kalau lo gak bisa merawatnya dengan baik, dia akan kehilangan nilainya."

Ryan menepuk pundak Kaiden terharu dengan ucapannya. "Makasih bro, tapi sumpah kata-kata bijak lo gak bisa di terima dengan baik oleh otak gue,"

Kaiden membuang nafas kasar. "Dah biasa!"

༻꫞ 𝑇𝑜 𝐵𝑒 𝐶𝑜𝑛𝑡𝑖𝑛𝑢𝑒꫞༺

𝐴𝑠𝑠𝑎𝑙𝑎𝑚𝑢'𝑎𝑙𝑎𝑖𝑘𝑢𝑚 𝑤𝑎𝑟𝑎ℎ𝑚𝑎𝑡𝑢𝑙𝑙𝑎ℎ𝑖 𝑤𝑎𝑏𝑎𝑟𝑎𝑘𝑎𝑡𝑢ℎ!

𝑆𝑒𝑘𝑖𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑙𝑢𝑝𝑎 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑒𝑗𝑎𝑘
(𝑀𝑒𝑠𝑘𝑖 𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑔𝑎𝑘 𝑏𝑎𝑔𝑢𝑠)
𝑉𝑜𝑡𝑒 ⭐
𝐶𝑜𝑚𝑚𝑒𝑛𝑡 💬

𝑇𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑘𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑤𝑎𝑠𝑠𝑎𝑙𝑎𝑚𝑢'𝑎𝑙𝑎𝑖𝑘𝑢𝑚 𝑤𝑎𝑟𝑎ℎ𝑚𝑎𝑡𝑢𝑙𝑙𝑎ℎ𝑖 𝑤𝑎𝑏𝑎𝑟𝑎𝑘𝑎𝑡𝑢ℎ ^^

My Home Is My HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang