01

21 4 0
                                    

“Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!
Bismillahirrahmanirrahim..”

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ مُحَمَّدٍ{◆}


"Damn!"

Netra Afifah terbelalak saat niqab yang ia kenakan terlepas dari tempatnya. "... abi..." Lirih Afifah. Air matanya turun semakin deras.

"Wajah secantik ini bisa-bisanya lo sembunyiin... sialan mulus tanpa make up... lo manusia apa bidadari sih?" Ryan mengelus lembut pipi Afifah.

Afifah menunduk dalam, tangannya terus berontak agar bisa terlepas dari genggaman tangan Ryan. "Lepas...!" Ingin sekali rasanya Afifah berteriak meminta tolong, namun sayang sekali lokasi mereka saat ini jauh dari permukiman warga.

"Tar dulu lah... biarin gue menikmati wajah lo yang unlimited edition ini!" Ryan menyentuh dagu Afifah dan menaikkannya meski menggunakan kekerasan. "Jangan nunduk! Gue pengen liat dengan jelas wajah cantik lo ini.."

"Anda itu ajnabi! Saya bukan mahram anda! Tidak pantas anda melakukan ini pada seorang wanita!" Afifah memalingkan wajahnya mencium bau alkohol dari mulut Ryan.

"Lo!"

"Afifah!" Seru seorang pria yang tidak lain adalah kakak dari Afifah. Pria yang diketahui bernama Gavin itu berlari menghampiri Afifah. Ia langsung menarik Afifah dalam pelukannya. Ia rebut niqab Afifah dari tangan Ryan dan ia pasangkan kembali di tempat seharusnya kain itu berada.

"Siapa lo?!" Geram Ryan.

"Saya yang seharusnya bertanya, apa yang sudah kamu lakukan pada adik saya harus kamu pertanggung jawabkan!" Tegas Gavin.

"Gak usah lebay deh lo! Gue cuman lihat wajahnya bukan nidurin dia!" Balas Ryan.

Gavin menarik Afifah berlindung di belakangnya. Tangannya langsung melayangkan pukulan yang amat keras pada Ryan. "Mungkin anda pikir kalau anda hanya menarik penutup wajahnya dan melihat wajahnya itu adalah hal kecil. Tapi tidak begitu dengan adik saya. Hanya lelaki yang memiliki hubungan darah dengannya yang boleh melihat wajahnya!" Tegas Gavin.

"Pikiran lo terlalu kuno!" Ryan mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. "Lagian lo mau berapa? Biar gue bayar adek lo ini!"

Sekali lagi Gavin melayangkan pukulannya pada wajah Ryan. "Apa kamu tidak malu berbicara seperti itu?! Adik saya bukan wanita murahan! Jika kamu mau bertanggung jawab. Menikah dengan adik saya."

"Lo gila?!"

Gavin menarik tangan Afifah membawanya menuju mobil. "Saya tidak hilang akal. Jika kamu muslim, datanglah ke rumah untuk bertanggung jawab. Kamu sudah terlanjur melihat dan menyentuh apa yang tidak seharusnya. Saya harap kamu mampu intropeksi diri kamu sendiri."

"Shitte!"

Mobil Gavin melaju dengan kecepatan sedang. Gavin menoleh pada adiknya yang sejak yadi diam. Jelas, ia tahu Afifah pasti tengah menangis saat ini. "Kamu jangan khawatir, kalau dia lelaki dewasa... dia pasti datang untuk bertanggung jawab. Maafkan kakak tidak menemani kamu.."

"Dia... lihat wajah Fifah... Fifah udah berusaha kak... tapi kenapa..." Tangisnya semakin menjadi-jadi.

"Stttt... abang nggak suka adik abang yang cantik ini nangis..." Gavin mengelus lembut kepala Afifah. "Percaya sama abang ya? Dia pasti dateng."

Afifah mengusap jejak air mata dari pipinya. "Ibunda Fatimah pasti kecewa ya kak..." Lirihnya.

Gavin menggeleng. "Dia pasti bangga karena salah satu dari banyaknya putrinya ini ada yang begitu berani... kamu melindungi anak-anak Afifah... sayyidina Fatimah pasti bangga dengan kamu..."

My Home Is My HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang