Deep Talk, Mungkin

408 45 1
                                    

Ruby menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Hari yang panjang dengan segala hal yang baru dipelajarinya. Ternyata, menjalani hidup sebagai orang lain sangat menguras tenaga. Apalagi dengan kemampuan Ruby yang seadanya, membuat dia jadi kesulitan di beberapa situasi. Dia saja belum terbiasa dengan tubuh barunya ini, tapi sudah diberatkan dengan pekerjaan yang mengharuskan dia bergerak. Belum lagi, kecerdasan berbicaranya di uji di sini. Jujur saja, dia selalu masuk ke dalam lima besar saat masih sekolah. Tapi, ini realita. Pelajaran sekolah mana yang bisa diterapkan selain public speaking?!

"Mandi dulu, sayang," tegur Hanung saat memasuki kamar dan mendapati istrinya terkapar tak berdaya.

"Nanti aja," jawabnya masih enggan bergerak. Bahkan matanya tidak membuka sama sekali.

"Ini udah jam sepuluh, mandi dulu gih sebelum tidur," sambung Hanung mendekati istrinya.

Ruby tak menjawab. Entah dia sudah tertidur atau memang tidak punya energi lagi untuk menjawab.

Hanung perhatikan wajah Ruby yang tenang saat diam seperti ini. Semenjak sadar dari pingsan, Ruby sudah tidak pernah lagi memakai riasan. Dia hanya memakai lipbalm. Jika biasanya Ruby membutuhkan waktu dua jam (termasuk mandi dan berpakaian) untuk bersiap-siap, kini tiga puluh menit saja cukup untuknya. Ruby jadi lebih sederhana. Dia juga tidak pernah lagi Hanung lihat memakai gaun-gaunnya. Padahal tadinya, Ruby paling anti memakai celana. Dia selalu tampil anggun dengan berbagai macam gaun yang dia punya. Justru sekarang, Ruby lebih sering memakai pakaian Hanung. Banyak kaus Hanung yang kini sudah beralih hak milik. Bahkan saat bepergian, Ruby selalu memakai pakaian yang itu-itu saja.

"Sayang," panggil Hanung lagi.

"Hmmmm?" deheman Ruby sudah menjelaskan kalau dia sangat terganggu.

"Kita belanja baju mau nggak?" tanya Hanung kemudian.

Ruby membuka matanya. Belanja baju? Tiba-tiba?

"Kayaknya kamu udah bosen pakai gaun. Jadi yang aku lihat kamu pakai bajunya itu-itu aja. Besok kita belanja baju, ya? Sekalian sepatu juga kalau kamu mau."

Benar, sepatu. Banyak heels dalam rak sepatu Ruby. Tapi satu pun tak pernah terpasang cantik di kakinya lagi. Dia justru lebih suka memakai sneakers atau slippers.

Ruby diam sejeda. Dia berpikir mungkinkah Hanung menyadari kalau Ruby ini bukan Ruby istrinya itu? Atau dia hanya menganggap perubahan sikap dan sifat Ruby ini efek dari amnesia?

"Hanung," panggil Ruby tak menjawab tawaran Hanung.

"Hm?" balas laki-laki itu sembari menyelipkan anak rambut istrinya yang berantakan.

"Kamu percaya dunia paralel itu ada?" tanya Ruby tetap pada posisinya. Berbaring menghadap Hanung yang duduk.

"Dunia paralel?" Hanung mengerut bingung. Mereka tidak membahas ini tadi. Tapi kenapa Ruby bicaranya jauh sekali? "Mungkin," jawab Hanung tak mau ambil pusing. Mungkin Ruby hanya ingin berkonspirasi saja.

"Kalau dunia paralel itu ada, berarti kita ada di dua dunia sekaligus kan?" tanya Ruby lagi. Hanung berpikir sejenak kemudian mengangguk.

"Kalau ternyata aku—maksudnya, Ruby yang tinggal di dunia paralel sana tiba-tiba jiwanya tertukar dengan aku yang di sini, kamu percaya?"

Pertanyaan itu terdengar sangat rumit bagi Hanung. Tapi dia dapat menangkap jelas maksudnya apa.

"Percaya. Selama ada kemungkinannya," jawab Hanung lagi.

"Contohnya?"

"Misal, kamu yang di sana mati, yang di sini koma. Jiwa kalian kan sama-sama keluar dari tubuh tuh. Mungkin aja kalau tertukar."

(un)tied | hyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang