Lelaki itu keluar kamar setelah mengambil kunci mobil Ruby. Mobil yang sudah lama tidak dikemudikan itu akhirnya menyala lagi. Hanung menginjak pedal gas dan melaju di jalanan. Menyusul Ruby yang sekarang entah ada di mana. Istrinya itu tidak punya tempat tujuan. Ingatannya masih belum pulih dan tempat-tempat yang ia ketahui hanya rumah Mamanya, Restoran, dan rumah Bunda Hanung. Itu tiga tempat yang punya kemungkinan besar akan didatangi Ruby.
Tadinya Hanung ingin langsung ke restoran karena jaraknya yang paling dekat. Tapi entah kenapa mobilnya membawa dia ke rumah mama. Mungkin benaknya yakin kalau istrinya pasti ada di sana. Ya, lagi pula siapa lagi yang bisa ia ajak cerita kalau tidak mamanya sendiri.
Mobil Ruby berhenti di depan rumah mama. Benar, ada Mobil Hanung terparkir di sana. Sejenak Hanung bisa bernapas lega setidaknya Ruby tidak melakukan hal yang lebih nekat lagi. Pria itu masuk dan disambut oleh orang rumah.
"Hanung? Kalian kenapa sih kok datangnya pisah-pisah gini?" tanya mama menyambut Hanung yang salim kepadanya.
Hanung tersenyum. "Nggak apa-apa, Ma. Ruby di kamar, ya?"
"Iya, dia di kamar. Kamu samperin gih. Dari tadi mukanya kusut banget," sambung mama membuat Hanung mengangguk.
Dia menaiki tangga dan menghampiri kamar Ruby. Diketuknya pintu kamar itu seolah sedang meminta izin kepada pemiliknya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Hanung membuka pintu.
"Sayang, ayo kita pu—" omongan Hanung terhenti karena ia bersin. Hidungnya mendadak gatal dan tenggorokannya sakit. Biasanya kalau begini, itu karena...
"Jangan masuk!" seru Ruby panik saat tau orang yang di depan pintunya adalah Hanung.
Benar dugaannya, ada Owie di kamar Ruby. Kucing berbulu cokelat itu duduk di pangkuan istrinya dengan ekor yang membelai paha Ruby. Tapi Hanung tidak peduli. Mau separah apapun nanti alerginya, dia akan tetap bicara dengan Ruby.
"Kita harus ngomong."
"Hanung, jangan masuk!!" seru Ruby lagi namun tak diindahkan sama sekali oleh suaminya. Lelaki itu tatap masuk meski dia terus bersin-bersin.
Ruby menggeram. Dia akhirnya mengangkat Owie dan membawanya keluar kamar. Mengembalikan kucing betina itu ke dalam kandang dan kembali ke kamar untuk menarik tangan Hanung keluar. Meski dia marah, dia tidak bisa membiarkan Hanung jadi sakit.
"Gimana mau ngomong kalau kamu bersin-bersin terus!" serunya membawa Hanung keluar.
Dia berpamitan pada Mama. Meski wanita itu bingung kenapa baru datang tapi sudah mau pulang, tapi Mama tidak bertanya lebih lanjut. Dia membiarkan anak dan menantunya pergi meski ia sudah bersiap-siap memasak untuk mereka.
Hanung dan Ruby duduk di dalam mobil Hanung dalam kesunyian. Hanya ada deru mesin mobil yang mengisi kekosongan mereka. Hanung bingung mulai mana sedangkan Ruby yang malas untuk bertanya.
"Aku minta maaf..." ujar Hanung memecah keheningan mereka.
Ruby diam. Menatap kosong jalanan sepi di rumah mama. Mereka sama-sama hening dan dicekik kebisuan.
"Aku tau cara aku salah, nggak ada yang bisa dibenarkan dari kebohongan. Tapi aku harap kamu ngerti kenapa aku kayak gitu. Aku cuma nggak mau kamu sedih," sambung pria itu meraih tangan Ruby untuk ia genggam. Ruby tidak menolak, dia membiarkan sentuhan lembut Hanung melunturkan sedih dan marahnya.
"Walaupun gitu... Aku tetap akan mendahulukan pendapat kamu dulu. Kamu mau kita tetap nunda?" Pertanyaan Hanung membuatnya seperti berdiri ditimbangan yang tidak seimbang. Jujur sebenarnya dia tidak siap. Tapi bagaimana dengan Atlanna Ruby? Kalau dia memainkan peran sebagai wanita itu, kira-kira apa jawaban yang tepat?
"Hanung, ada yang mau aku bilang sama kamu," balas Ruby tidak menjawab pertanyaan Hanung.
Lelaki itu mengangguk. Siap mendengarkan apapun yang akan dikatakan istrinya.
"Ini mungkin kedangaran agak gila. Tapi...jiwa yang ada di raga ini, bukan Atlanna Ruby Varsha istri kamu. Tapi jiwa orang lain dari dunia paralel." Ruby menoleh pada Hanung. Wajah suaminya tidak menunjukkan raut kaget atau kebingungan sama sekali. Dia seperti sudah pernah mendengar ini. Atau, sudah menduganya.
"Aku tau," jawabnya lugas.
"Kamu tau?" bingung Ruby agak kaget. Dari mana dia tau? Ruby tidak pernah cerita. Dia juga tidak pernah membicarakan tentang dirinya di rumah ini.
"Yaaahh...sebenarnya nggak yakin juga sih... Tapi dari awal kamu buka mata terus nyariin titit, aku tau kamu bukan Ruby," sambungnya membuat Ruby makin kebingungan.
"Kamu tau dari mana?"
"Awalnya aku pikir mungkin benar kamu cuma amnesia. Jadi semua yang ada di diri kamu itu berubah. Mulai dari sifat sampai kepribadian. Tapi kamu mulai ngajak ngobrol tentang dunia paralel. Itu agak aneh. Apalagi waktu kamu tanya, gimana perasaan aku kalau ternyata kamu bukan Ruby istri aku. Gimana kalau ternyata di dunia paralel kamu laki-laki. Itu... Aneh banget."
Ruby buang muka, menyadari kebodohannya.
"Terus aku mulai buat kesimpulan-kesimpulan yang awalnya juga aku ngerasa gila sendiri. Masa sih yang kayak gini bisa kejadian? Tapi ternyata, mungkin aja bisa. Kita nggak pernah benar-benar tau apa yang disimpan jagat raya. Siapa yang tau kalau aku punya istri dari semesta lain? Laki-laki pula."
Ruby menghadiahi Hanung satu pukulan keras di lengan. "Apaan, Jing?!"
"Aw! Tuh, dari situ aja udah keliatan bedanya. Ngomongnya kasar. Suka KDRT pula."
Hanung mengusap lengannya. Dia tidak benar-benar marah pada Ruby. Meski Ruby menyimpan rahasia, tapi dia tidak merasa dibohongi sama sekali.
"Kita impas tau," celetuk Hanung membuat Ruby mengerutkan keningnya bingung.
"Impas?"
"Aku bohong soal kehamilan Ruby, kamu bohong soal siapa kamu sebenarnya." Ruby tersenyum miris. Kalau dipikir-pikir, untuk apa dia marah? Toh ini juga bukan kehidupannya. Dia tidak punya kuasa untuk merasa marah.
"Maaf aku marah. Aku cuma ngerasa kasihan sama Ruby," ujar Ruby menunduk.
Hanung tidak menjawab. Dia hanya menepuk lembut bahu istrinya sebagai tanda bahwa tidak ada yang perlu dia sesali. Lagi pula Hanung tidak merasa rugi sama sekali. Aneh? Ya. Apalagi sekarang dia mendapat konfirmasi dari kecurigaannya. Mungkin sekarang Hanung akan sulit untuk melihat Ruby sebagai istrinya. Tapi dia pasti bisa secepatnya beradaptasi.
"Jadi, kamu yang di sana gimana kabarnya? Ruby kesulitan ya, jadi laki-laki?" tanya Hanung lagi.
"Umm...koma. Ruby cuma jiwa yang nggak berumah untuk sekarang."
"Koma? Kenapa bisa?"
Ruby menghela napas. Menceritakan lukanya pada orang lain bukanlah hal yang biasa ia lakukan. Tapi karena ini Hanung, dia merasa harus menjelaskan seluruhnya.
"Bunuh diri. Lompat ke sungai."
"Oh... Maaf."
"Tapi aku di sini bukan karena mau mencuri kehidupan Ruby. Nggak sama sekali. Aku juga udah bujuk istri kamu supaya balik, tapi dia nggak mau."
"Karena dia kabur dari masalahnya kan?"
Ruby mengangguk. "Dia yang suruh aku cari handphone itu. Dia juga yang suruh aku supaya hidup di sini menggantikan dia."
"I see... Ternyata istriku sepengecut itu," jawab Hanung memberikan senyum masam.
"Hanung, mulai sekarang aku nggak bakal tanya masalahnya apa. Aku tau itu bukan urusanku juga. Aku nggak berhak ikut campur. Jadi... Kalau kamu nggak mau cerita, nggak apa-apa."
Hanung merasa ada ketulusan dibalik bicara Ruby padanya. Itu hal yang sederhana, tapi menyatukan lagi hati Hanung yang tercerai-berai. Karena jujur saja, untuk menceritakan semua masalah yang mereka alami, membutuhkan hati yang luas.
"Makasih, Ruby."
tbc
an: nah begitu dong. Akurrr🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
(un)tied | hyuckren
FanfictionApa yang kamu lakukan ketika terbangun dan seketika semuanya berubah? Ruby Sadajiwa. Berniat mengakhiri hidup, jiwanya justru terjebak dalam tubuh seorang wanita yang juga bernama Ruby. Seolah punya kehidupan yang baru, Ruby diberkahi banyak hal ya...