3. Kesempurnaan

58 13 0
                                    

"KASA?!"

Angkasa yang baru saja keluar dari gerbang kosnya, mendongak saat dia mendengar suara nyaring yang memanggilnya itu. Ada Senja di sana yang melambaikan tangannya di ujung tangga paling atas. Gadis itu menuruni anak tangga dengan berlari, dan dalam sekejap, dia sudah tiba di hadapan Angkasa.

"Biasakan untuk pelan-pelan. Kalau kamu jatuh dari tangga, bagaimana?" ucapnya. Senja berdecih.

"Kayak kamu peduli aja," kesalnya. Dia melipat tangan di depan dada. Angkasa menatap Senja dengan tajam, tangannya terangkat dan menyentil kening gadis itu.

"Aws, Sa! Kebiasaan, sakit, tau!" Angkasa tidak menjawab, dia meneruskan langkahnya menjauhi Senja.

Pagi ini matahari bersinar cukup cerah. Gang yang tidak terlalu sempit ini sudah sepi, banyak penghuninya yang sudah keluar dari kediaman mereka dan mulai beraktivitas.

"Bukannya pagi ini kamu gak ada kelas?" Senja berusaha mensejajarkan langkahnya dengan langkah lebar milik Angkasa. Angkasa mengangguk menanggapi ucapan Senja. "Oh, kamu mau berangkat kerja?" Lagi-lagi Angkasa mengangguk.

"Sa, kamu sariawan?" Angkasa menghentikan langkahnya, menoleh kepada Senja.

"Rabu pagi, bukannya kamu ada kelas Prof. Harris?" Senja menyunggingkan senyumnya dengan lebar. Mereka berdua tahu betul bahwa Profesor Harris adalah dosen paling disiplin waktu.

Senja melirik jam tangan yang bertengger di pergelangan tangan kirinya.

"Eh, mampus. Aku telat, Sa! Aku pergi dulu, jam makan siang, aku ke tempat kamu, ya? Babay!" Senja berlari meninggalkan Angkasa yang kini tersenyum melihat tingkah konyol gadis itu.

"Dia sangat manis," gumamnya. Angkasa lalu melanjutkan langkahnya untuk pergi ke cafe. Dia bekerja paruh waktu di cafe itu, waktu liburnya bisa dia tentukan sendiri sekali selama satu pekan. Pemiliknya adalah Paman Jack, orang tua berdarah Rusia itu memiliki seorang anak laki-laki yang sudah berkeluarga dan tinggal di Milan. Istrinya sudah meninggal dua belas tahun yang lalu.

Angkasa mendorong pintu kaca itu dengan pelan. Lonceng bergerincing saat pintunya terbuka, membuat beberapa pasang mata yang ada di sana, menoleh.

"Selamat pagi, Paman," sapa Angkasa dengan senyum yang mengembang. Pria tua itu menurunkan kacamatanya sampai hidung, lalu tersenyum.

"Syukurlah kamu datang, Kasa. David sama Nino sama sekali tidak bisa di andalkan." Angkasa terkekeh pelan. Pemuda ini menjadi satu-satunya anak kesayangan Paman Jack.

"Kita udah berusaha, Paman!" Angkasa mendengar suara Nino yang menyahut saat mengelap meja.

"Udah, sepuluh menit lagi cafe buka. Ini kerjaan lo masih banyak, bukan cuma ngelap meja." David muncul dari arah luar sambil membawa dua box karton berisi bubuk kopi yang baru saja tiba dari pemasok.

"Besok malam kamu ada kesibukan?" Angkasa sedikit berpikir, lalu setelahnya menggeleng.

"Belum tahu, Paman, memangnya kenapa?"

"Besok, kamu bisa ngisi panggung, gak?" Angkasa terdiam, dia menoleh pada panggung musik yang ada di ujung ruangan. Dia beberapa kali mengisi dan menyanyikan beberapa lagu, tapi tetap saja, hal itu masih membuatnya sedikit gugup karena dilihat banyak orang.

"Kasa usahain, Paman. Nanti Kasa kabarin lagi." Pria tua itu mengangguk paham.

"Kasa, tolong kamu pegang kasir dulu, ya? Paman mau istirahat sebentar, semalam ada banyak hitungan penghasilan yang keliru gara-gara Nino, paman harus menghitungnya sampai larut."

"Lah, gue lagi yang kena!" Angkasa tertawa mendengar protes Nino.

"Kasa ganti baju dulu," ucapnya. Pria tua itu mengangguk dan membiarkan Angkasa pergi.

Senjanya AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang