28 November 2018
Sore itu, angin berembus dengan kencang. Membawa ribuan tetes air hujan yang turun dengan deras tersapu di udara. Cuaca beberapa pekan ini begitu buruk, hujan dan angin kencang dimana-mana. Suhu yang selalu dingin menembus tulang. Sepasang mata itu menengadah, menatap langit yang di penuhi gumpalan awan hitam.
"Maaf, Sa." Gadis dengan rambut yang sedikit basah terkena hujan itu menunduk, memperhatikan sepatunya yang juga basah dan terkena lumpur. Dia masih mengenakan seragam putih abu-abunya lengkap dengan dasi dan juga sabuk.
"Berapa lama?" Pemuda itu menurunkan pandangannya, menoleh menatap gadis itu.
"Aku gak tau, jadi mari kita sudahi saja."
"Emang gak bisa kalau kita tetap berhubungan meskipun terhalang jarak?" Pemuda itu menegakkan tubuhnya, berusaha membujuk gadis itu.
"Angkasa," ujarnya sedikit lebih keras, dia menoleh dan membalas tatapan mata Angkasa yang penuh harap. "Kita gak bisa bareng lagi, aku gak pernah percaya keberhasilan hubungan jarak jauh, aku mohon mengerti. Kamu harus mencari yang lebih dari aku. Cari yang bisa selalu menemani proses kamu, Sa."
"Aku gak mau, Eve."
"Sa?!" Angkasa memalingkan wajahnya. Dia muak dengan semuanya.
"Aku selalu bisa menunggu selama apa pun, Eve." Pemuda itu berkata lirih. Matanya kembali menatap langit yang masih terlihat sama. Evelyn memeluk dirinya sendiri, kedua lengannya terasa dingin. Disaat seperti ini, biasanya Angkasa akan meletakkan kedua tangannya yang hangat di bahu Evelyn dan memeluknya dengan erat.
"Aku gak percaya hubungan jarak jauh, Sa," lirihnya.
"Kamu gak percaya aku?" Angkasa membalikkan tubuhnya, kedua tangannya terulur menangkup kedua pipi gadis itu yang terasa dingin. Evelyn membuang wajahnya, berusaha melepaskan diri dari Angkasa.
"Maaf, Sa."
Angkasa tertawa hambar, menertawakan dirinya sendiri yang terlalu berharap pada Evelyn selama ini. Mereka sudah bersama sejak kecil karena Ibunya dan Ibu Evelyn juga berteman baik, keduanya sudah sering menghabiskan waktu bersama selama ini. Berbagi banyak hal, lalu memutuskan untuk menjalin hubungan di akhir tahun 2017 lalu.
"Kamu mengenalku bahkan sebelum kita berdua masuk Sekolah Dasar. Aku mempercayaimu sepenuhnya, tapi bahkan kamu tidak yakin dengan hubungan kita?"
Evelyn mengulurkan tangannya, menengadah ke atas. Membiarkan guyuran air membasahi tangannya. Hujannya cukup deras, beruntungnya Angkasa dan Evelyn tidak membawa tas mereka.
"Jadwal penerbangan ku lusa, kamu gak perlu datang ke bandara, mungkin setelah lulus dari Lycee Stendhal de Milan aku akan tetap di Milan, atau melanjutkan studiku di Itali bagian lain, atau bahkan di negara yang lain. Lupakan aku, Sa. Mungkin bertahun-tahun kemudian, kita akan ketemu lagi, tapi dengan dunia kita yang berbeda."
Angkasa tak menjawab, dia masih memalingkan wajahnya dari Eve. Tidak ingin melihatnya. Bahkan jika di rasa hatinya telah remuk, Angkasa berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi. Jarak bukan satu-satunya hal yang bisa memutuskan hubungan mereka begitu saja.
"Sa, jaga dirimu baik-baik." Evelyn bangkit dari duduknya. Melangkah ke depan, berdiri di hadapan Angkasa. Tangan kanannya yang dingin dan juga basah terulur menyentuh pipi Angkasa yang lebih hangat. "Terima kasih, ya? Sudah pernah menjadi pelangi dalam hidupku. Maaf sekali lagi, Angkasa." Angkasa menoleh, menatap Evelyn sekali lagi dengan nanar, ada raut kecewa yang begitu besar dalam sorot matanya.
Hari itu, dalam hujan di sore itu, adalah terakhir kalinya Angkasa melihat senyuman Evelyn. Terakhir kalinya Angkasa menatap punggung gadisnya yang berlari menembus hujan yang cukup deras, meninggalkan Angkasa dalam kesunyian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senjanya Angkasa
Teen FictionAku menyukai caranya tersenyum, aku menyukai caranya berbicara, sku menyukai caranya memandangku, aku menyukai setiap detail dari dirinya. Aku menyukai matanya yang teduh, tapi bersinar terang. Ini adalah cerita tentang Angkasa-ku. Cerita tentang...