Lampu ruangan itu sebagian sudah di matikan. Hanya menyisakan lampu panggung yang membuat sekitarnya temaram, menyoroti seseorang yang duduk di atas panggung dengan memegang gitar. Senja belum melepaskan senyumnya sejak tadi. Dia menyaksikan Angkasa menyanyi. Sudah beberapa kali Senja melihatnya, tapi tak sekalipun membuat gadis itu bosan dengan suara Angkasa. Senja tak sekalipun melewatkan hal-hal yang berhubungan dengan Angkasa, tak sekalipun dia meninggalkan Angkasa dalam setiap prosesnya. Begitu pula Angkasa, pemuda itu tak pernah melewatkan hal-hal yang berhubungan dengan Senja. Sebagian orang mengatakan, bahwa keduanya adalah sepasang kaki yang berjalan beriringan.
Izinkan ku lukis senja
Mengukir namamu di sana
Mendengar kamu bercerita
Menangis tertawa
Biar ku lukis malam
Bawa kamu bintang-bintang
Tuk temanimu yang terluka
Hingga kau bahagiaLagu itu mengalun dengan merdu memenuhi indra pendengaran setiap tamu, juga Senja. Mata gadis itu menatap Angkasa dengan berbinar, dia selalu menyukai segala hal yang ada dalam diri Angkasa. Apa pun itu.
Aku disini walau letih coba lagi jangan berhenti
Ku berharap meski berat kau tak merasa sendiri
Kau telah berjuang menaklukankan hari-hari mu yang tak indah
Biar ku menemanimu membasuh lelah mu."Mau minum?" Senja menoleh, ada Nino disana yang menawarkan segelas minuman, Senja menerimanya, tersenyum dan berterima kasih.
Izinkan ku lukis senja
Mengukir namamu di sana
Mendengar kamu bercerita
Menangis tertawa
Biar ku lukis malam
Bawa kamu bintang-bintang
Tuk temanimu yang terluka
Hingga kau bahagia hah"Lo suka Kasa?" Senja menoleh lagi dengan cepat, menatap Nino dengan bingung. Nino kini menatapnya tak kalah heran, berusaha mendapatkan jawaban dari Senja.
"Lo suka Kasa?" tanya Nino lagi. Senja menggeleng, tapi gelengan itu membuat Nino semakin bingung.
Izinkan ku lukis senja
Mengukir namamu di sana
Mendengar kamu bercerita
Menangis tertawa
Biar ku lukis malam
Bawa kamu bintang-bintang
Tuk temanimu yang terluka
Hingga kau bahagia
Tuk temanimu yang terluka
Hingga kau bahagia"Apa urusan lo?" tanya Senja. Nino menghela napas dan mengedikkan bahu. Setelahnya pemuda itu pergi dari hadapan Senja. Senja berdecak kesal, karena ulah Nino, dia tak bisa menikmati lagu Angkasa sampai akhir.
Senja bangkit dari duduknya dan menghampiri Angkasa yang sudah berada di dekat meja kasir, menghampiri Paman Jack. Sebenarnya dia sudah menyanyikan beberapa lagu sejak tadi, itu sebabnya kali ini dia langsung turun dari panggung.
"Apa ini?" Senyum Senja memudar saat Angkasa menunjuk gelas minuman yang Senja pegang.
"Oh, minuman ini dari Nino." Angkasa langsung mengambilnya dengan kasar dari tangan Senja dan beranjak untuk pergi ke dapur. Senja yang kebingungan langsung mengikuti Angkasa begitu saja, bahkan dirinya belum sempat menyapa Paman Jack.
"Nino?!" Senja melihat Nino sedang menata tumpukan kardus susu yang akan dia masukkan ke dalam lemari pendingin.
"Apa?"
"Kenapa Lo kasih ini ke Senja?" Angkasa menunjukkan minuman yang ada dalam gelas itu, meletakkan gelasnya di dekat kardus susu di hadapan Nino. Senja melihat bagaimana Angkasa menatap Nino dengan marah.
"Sa? Ada apa?" tanya Senja, gadis itu berusaha melerai keduanya, takut jika terjadi apa-apa meskipun Senja sendiri tidak mengerti maksudnya.
"Loh, emang kenapa? Senja gak bisa minum?"
"Dia gak boleh minum," jawab Angkasa dengan pelan, tapi dengan penekanan di setiap kalimatnya.
"Kadar alkoholnya dikit, enggak bakal bikin dia mabuk." Senja menoleh pada Nino dengan tatapan tidak percaya. Angkasa mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia bahkan bertanya-tanya, bagaimana bisa Nino dan David selalu berusaha untuk menyakiti Senja, hal ini tidak hanya satu kali. Berulang kali mereka berdua berusaha untuk menjebak Senja, Angkasa tahu itu. Hanya saja mereka berdua selalu mengelak, selalu mengatakan bahwa itu hanya bercanda, atau mereka bilang tidak tahu soal Senja.
"Jangan coba dekati Senja saat dia gak sama gue, atau lo tahu sendiri akibatnya!" Setelah mengatakan itu, Angkasa membawa Senja keluar dari dapur. Senja menahan tangan Angkasa saat tiba di pintu yang menjadi sekat antara dapur dan bagian cafe.
"Jangan marah," bujuknya. Dia mengusap lengan Angkasa dengan pelan, berusaha meredam amarah pemuda itu. Angkasa menghela napas dan menghembuskannya perlahan.
"Kamu udah tahu kalau Nino dan David selalu usil dan gangguin kamu, kan? Kenapa kamu masih dekat-dekat dengan mereka? Lain kali, tolong jangan berinteraksi dengan Nino atau David, sekecil apa pun, atau kamu tidak perlu datang ke tempat ini lagi." Senja melepaskan pegangan tangannya pada lengan Angkasa. Setelahnya dia mengangguk dan tersenyum canggung. Senja merasa bersalah, karenanya Angkasa berdebat dengan Nino.
"Maaf, ya, Sa? Karena aku, kamu dan Nino bermasalah." Angkasa menunduk menatap Senja yang lebih pendek darinya.
"Lupain, untung ada aku. Kalau gak ada aku, kamu pasti sial berulang kali." Angkasa kini membuang muka, bersidekap dada. Senja berdecih, mengejek Angkasa.
"Kumat!"
***
Halo Angkasa.
Apa kabar?
Aku harap kamu selalu baik. Kabar ku baik, sudah lama sekali sejak kita memutuskan untuk berpisah, bukan? Maaf, ya ...
Oh iya, bagaimana kuliahmu? Aku dengar kamu melanjutkan di jurusan komunikasi? Hebat sekali. Angkasa-ku memang selalu hebat.
Setelah kelulusanku dari Lycee Stendhal de Milan, aku juga meneruskan studi ku di MIT, Amerika. Aku enggak tahu kenapa papa sangat menginginkanku menempuh pendidikan jauh dari Indonesia.
Sa, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu. Akhir pekan nanti, aku akan pulang ke Indonesia. Studiku memang belum selesai, tapi ada banyak hal yang harus aku urus di Indonesia. Termasuk juga urusan kita berdua.
Aku gak sabar ingin segera ketemu sama kamu, aku ingin melihat sudah seberapa tinggi kamu saat ini? Sudah seberapa dewasanya kamu? Apa mata teduh itu masih tetap sama? Oh iya, masih ingat dengan janji kamu? Kamu bilang, kamu gak akan pernah tinggalin aku, 'kan? Aku harap kamu masih memegang janjimu, ya, Sa?
Sa, kamu masih menungguku, 'kan?
Aku harap, masih.
Aku merindukanmu,
Evelyn RubbyAngkasa menyandarkan dirinya di kursi. Menatap Email yang dia terima pagi ini. Angkasa baru bisa membacanya sekarang. Pemuda itu mengusap wajahnya dengan kasar. Perasaannya campur aduk. Bagaimana dia bisa menghadapi ini nantinya?
"Kita sudah berakhir, Eve." Gumaman itu terdengar lirih. Angkasa masih mengingat dengan jelas bagaimana gadis dengan rambut lurus agak kecoklatan itu meninggalkannya. Dia masih ingat saat dirinya memohon untuk tidak mengakhiri segalanya. Angkasa bisa menunggu, selama apa pun itu. Asal dia tetap bersamanya, tapi dia tak sama sekali mau mendengar permohonan Angkasa.
Bayangan-bayangan itu berputar-putar dalam ingatan Angkasa, bayangan tentang seberapa cantiknya wajah gadis itu, seberapa besar Angkasa memujanya, seberapa gilanya dia mengagumi setiap hal yang ada dalam diri gadisnya, dulu.
Iya, itu sudah dulu. Lama sekali. Sekarang mereka telah berakhir, dan Angkasa paham hal itu.
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Senjanya Angkasa
أدب المراهقينAku menyukai caranya tersenyum, aku menyukai caranya berbicara, sku menyukai caranya memandangku, aku menyukai setiap detail dari dirinya. Aku menyukai matanya yang teduh, tapi bersinar terang. Ini adalah cerita tentang Angkasa-ku. Cerita tentang...