"Setahu gue, Kasa itu kalem dan ... cuek. Iya, kan?" Naray menoleh menghadap Senja yang masih tersenyum sambil memeluk bantal gulingnya. Entah kenapa tadi malam Naray menginap di tempat Senja. Hari ini Rabu pagi. Ada kelas Profesor Harris seharusnya, sayangnya beliau sedang keluar kota, jadilah kelas di liburkan.
"Heh!" Naray menyentil kening Senja dengan cukup keras. Membuat gadis itu setengah berteriak karena kesakitan. "Abisnya gue ajak ngobrol dari tadi malah senyam-senyum sendiri kayak orang gila!" Senja mencebikkan bibirnya kesal sambil mengusap keningnya yang tak bersalah, tapi menjadi korban kekerasan tangan Naray. Seketika Senja langsung bangkit dari tidurnya dan menegakkan diri. Menghadap Naray yang terduduk sambil memangku laptop.
"Kasa emang sesempurna itu, Ray!" Naray mengerutkan kening, sepertinya penyakit Senja sebentar lagi akan kambuh.
"Gak ada manusia sempurna, jangan buta!"
"Ada, Angkasa!" Senja tertawa dengan jawabannya sendiri. Naray hanya bisa menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan sahabatnya yang satu ini.
"Gini kalo berurusan sama cinta, Buta!"
"Gue gak buta! Gue masih bisa lihat kegantengan Kasa!" Senja kembali tertawa dan menjatuhkan dirinya di atas kasur yang empuk. Sudah sejak semalam Senja bertingkah seperti ini, dia berguling-guling ke kanan dan ke kiri, tak bisa diam.
"Sana mandi, nanti kita cari makan." Senja baru ingat sesuatu. Dia melirik jam di dinding, pupil matanya langsung melebar dan dirinya segera bangkit dari tempat tidur.
"Astaga gue belum ngucapin selamat pagi ke Kasa, dia hari ini kerja pagi." Senja berlari menuju kamar mandi, dia hanya akan cuci muka dan menggosok gigi saja. Bisa-bisa dia melewatkan Angkasa.
Naray kembali mendesah pelan. Mengelus dadanya yang mulai lelah dengan tingkah Senja, tapi dia pada akhirnya hanya mampu diam dan menyaksikan, kembali fokus pada layar laptopnya untuk menyelesaikan tugas.
Tak butuh waktu lama untuk Senja bersiap, dia segera meninggalkan Naray dan pergi keluar. Senja menunggu Angkasa di depan gerbangnya, dia lagi-lagi melongok, semoga Angkasa belum pergi bekerja.
Tak lama, sosok itu muncul dari balik pintu. Senja mengembangkan senyumnya dengan sempurna. Mengangkat tangan dan melambai pada Angkasa. Padahal jarak mereka hanya sekitar enam meter.
"KASA?!" panggilnya dengan riang. Angkasa menoleh, lalu tersenyum. Gadis itu selalu ada disana saat dia akan pergi bekerja atau kuliah. Senja selalu tau jadwalnya.
"Gak kuliah? Bukannya jadwal prof. Harris?" tanya Angkasa. Senja menggeleng cepat.
"Prof Harris keluar kota." Angkasa mengangguk beberapa kali.
"Eh, udah makan?" Senja menggeleng. Bahkan mandi saja dia belum. "Ayo, aku ajak ke tempat paman Jack, kita sarapan bareng." Senja mengangguk cepat, dia bukan tak ingat pada Naray yang ada di kosnya, tapi Angkasa lebih penting dari pada Naray. Gadis itu tertawa dalam hati mengingat bagaimana nanti ekspresi Naray saat tahu bahwa Senja meninggalkannya.
"Gue sarapan dulu sama Angkasa, Babay. Nanti gue bawain oleh-oleh, deh. Jangan ngambek, ya?"
Sebaris pesan itu, Senja kirim pada Naray. Senja tak bisa lagi membayangkan ekspresi Naray sekesal apa.
"ASEM! AWAS LO KALO BALIK NANTI!"
Senja bergidik, tapi dia terus berjalan mengikuti langkah Angkasa.
"Kalau jalan jangan main hp, nanti nabrak, Senja." Senja mengangguk dan tersenyum, setelahnya dia fokus mensejajarkan langkahnya dengan langkah Angkasa.
Pagi ini jalanan sebagian basah, tadi malam gerimis, tapi tidak begitu lebat. Meskipun begitu, aroma hujan yang menenangkan masih bisa tercium di hidung. Beberapa kali Senja merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara pagi dengan lebih bebas. Membuat Angkasa tak bisa berhenti tertawa dan tersenyum dengan tingkah gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senjanya Angkasa
JugendliteraturAku menyukai caranya tersenyum, aku menyukai caranya berbicara, sku menyukai caranya memandangku, aku menyukai setiap detail dari dirinya. Aku menyukai matanya yang teduh, tapi bersinar terang. Ini adalah cerita tentang Angkasa-ku. Cerita tentang...