BAB 4: STILL ON MY MIND

97 11 0
                                    

Entah darimana Anton akhirnya merasakan sebuah dorongan untuk menghubungi Wonbin lagi. Meskipun sudah ribuan kali juga sisi lain Anton mencoba menahan agar tidak melakukan hal tersebut. Mengingat dulu, Wonbin tidak pernah membalas pesan nya sama sekali dan Anton hanya mendapatkan fakta bahwa semua akses media sosialnya di blokir oleh sang mantan kekasih.

Dengan hati berdebar, Anton memutuskan untuk mengirim pesan singkat menggunakan nomor terakhir yang dia punya, nomor cadangan. Di bawah sinar lampu kamar yang redup, ia mengetik dengan hati-hati.

[Anton: "Haii, how're you there?"]

Cukup lama pesan itu berada di kolom keyboard sampai akhirnya Anton menekan tombol kirim. 

Namun, tanpa Anton sadari. Wonbin tidak lagi menyimpan satupun nomor Anton di kontaknya, jadi, pesan itu pun tiba tanpa nama pengirim. Di layar ponsel Wonbin, hanya terlihat nomor telepon yang asing. Wonbin memandang pesan tersebut dengan rasa penasaran dan sedikit bingung. Dia merasa nomor itu familiar, seperti pernah dilihat sebelumnya. Dia berusaha mengingat dari mana nomor itu bisa berasal, tetapi tidak bisa langsung menentukannya.

Dengan perasaan yang tidak nyaman, Wonbin memutuskan untuk membalas pesan asing itu dengan singkat.

[Wonbin: "??"]

Untuk menunjukkan kebingungan dan ingin memastikan siapa yang mengirim pesan itu. Namun, perasaannya tiba-tiba berubah, ketika beberapa saat memikirkan dengan serius, Wonbin akhirnya menyadari bahwa nomor tersebut adalah nomor seseorang yang begitu dia hindari, nomor seseorang yang pernah berbagi cerita cinta dengan Wonbin, nomor mantan kekasihnya. Kenangan masa lalu yang telah lama terkubur kembali muncul. Dan tanpa aba-aba, Wonbin langsung memutuskan untuk memblokir nomor Anton sebelum pesan itu menjadi lebih jauh. Dalam sekejap, nomor Anton tidak lagi dapat menghubunginya.

Sementara itu, Anton yang baru saja pulang dari aktivitas hariannya dan melihat ponsel merasa lega ketika melihat ada balasan dari Wonbin. Namun, saat ia membaca balasan singkat dan tidak jelas, ia merasa gelisah. Rasa grogi muncul seiring dengan hatinya yang berdebar.

Anton berusaha untuk tetap tenang dan merespons dengan pesan lain. Ia mengetik dengan harapan yang tinggi, berharap dapat membuka percakapan dan menjelaskan maksudnya. Namun, saat ia menekan tombol kirim, ia menerima notifikasi bahwa pesan tersebut gagal dikirim. Anton memeriksa kembali nomor yang ia kirimkan, hanya untuk menyadari bahwa Wonbin telah memblokir nomornya.

Perasaan Anton kecewa seketika. Ia kembali merasa kecewa dan putus asa karena upayanya untuk menjalin komunikasi kembali seolah-olah telah tertutup dengan tiba-tiba. Dia duduk di tepi tempat tidur, menatap ponselnya dengan perasaan kosong. Ia merasa gagal dan tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya.

Di sisi lain, Wonbin, setelah memblokir nomor Anton, merasa lega namun juga disertai dengan sedikit rasa kesedihan yang mendalam. Meski begitu, kenangan yang muncul dari kontak dengan Anton masih meninggalkan bekas yang sulit dihapus, menandakan bahwa perasaan masa lalu belum sepenuhnya pergi dari hatinya.

"You did the right thing, Wonbin. It's okay."

***

Siang itu, Anton sedang berbelanja di supermarket bersama ibunya, melanjutkan rutinitas mingguan mereka. Mereka berkeliling di antara rak-rak yang penuh dengan berbagai barang kebutuhan. Anton mendorong troli sambil melirik ke rak-rak di sekelilingnya, kadang-kadang memeriksa daftar belanjaan yang diberikan ibunya.

Tiba-tiba, dari kejauhan, Anton mendengar suara yang sangat familiar-seperti suara Wonbin. Awalnya, ia mengira itu hanya halusinasi akibat terlalu merindukan Wonbin, tetapi saat suara itu muncul lagi, ia mulai merasa curiga. Ia mempercepat langkahnya, mencoba mencari-cari sumber suara tersebut, tetapi tidak menemukan siapa-siapa.

Saat Anton melewati beberapa rak, suaranya semakin jelas dan tampaknya ada di sekelilingnya. Ia semakin yakin bahwa ia tidak salah dengar. Mata Anton bergerak cepat, mencoba menangkap siapa yang membuat suara itu. Ia terus mendorong troli sambil mengawasi dengan seksama, tidak ingin kehilangan petunjuk.

Tiba-tiba, dari kejauhan, Anton menangkap sekilas bayangan seseorang yang tampak sangat mirip dengan pria yang menjadi dalang galau nya selama dua tahun lebih ini. Tubuh orang itu samar-samar terlihat bergerak menjauh, dan topi yang dikenakannya adalah ciri khas topi yang sering dikenakan Wonbin. Hati Anton berdebar kencang, dan rasa penasaran mulai menguasai pikirannya.

Awalnya, Anton mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu mungkin hanya kebetulan-orang lain yang kebetulan mirip dengan Wonbin. Namun, topi yang dikenakan orang itu membuatnya sulit untuk ragu. Anton memaksa dirinya untuk tetap fokus pada tugasnya, mendorong troli belanja mengikuti ibunya dari belakang, sambil terus memikirkan bayangan yang baru saja ia lihat.

Sebagai upaya untuk tidak terlihat terlalu cemas, Anton berusaha untuk tetap tenang dan melanjutkan belanjaan. Namun, rasa penasaran dan kerinduan yang mendalam membuatnya sulit untuk tidak memikirkan kemungkinan bahwa Wonbin mungkin benar-benar ada di supermarket yang sama. Ia terus mengamati sekitar, berharap bisa menangkap kembali sekilas sosok yang mungkin adalah Wonbin, tetapi bayangan itu kini sudah benar-benar menghilang dari pandangannya.

Anton benar benar merindukan Wonbin.

Sementara di lain tempat dan beberapa waktu sebelum kejadian itu, Wonbin memang berada di supermarket dengan troli belanja yang penuh barang-barang pesanan Shotaro dan ibu nya. Ia memindai rak-rak dengan teliti sambil mengecek daftar belanjaan di ponselnya. Teleponnya bergetar, dan ia menjawab panggilan Shotaro yang ingin memastikan tidak ada barang yang terlewat.

'Udah dapat semua? Jangan sampai ada yang kelupaan, lho.' ucap Shotaro di telepon.

"Iya, sabar." jawab Wonbin sambil memeriksa daftar.

"Sisa satu barang yang belum di ambil. Tunggu bentar."

Lalu mematikan sambungan telepon itu.

Saat Wonbin sibuk mencari barang, ia tiba-tiba melihat sosok yang sangat familiar di kejauhan-ibu Anton sedang berbelanja di dekat area sayur dan buah. Hati Wonbin langsung bergetar, dan rasa takut mulai mengisi pikirannya.

"Anjir!"

Ia mempercepat langkahnya, berusaha menghindari area di mana ibu Anton berada sambil mempercepat jalan untuk mengisi troli dengan barang-barang terakhir dan menuju kasir.

Ketika ia mencapai kasir, Wonbin cepat-cepat membayar seluruh barang belanjaan.

"Terima kasih," katanya kepada kasir, sebelum buru-buru menuju pintu keluar.

Setelah membayar, Wonbin melangkah cepat keluar dari supermarket. Ia menoleh sekali lagi untuk memastikan ibu Anton tidak ada di dekatnya sebelum ia masuk ke mobil. Hatinya berdebar kencang.

Sesampainya di rumah, Wonbin menyerahkan semua barang pesanan Shotaro dan ibunya.

"Ini semua barang barangnya, bilang aja kalo emang ada yang lupa di beli," katanya dengan senyum yang dipaksakan.

"Makasih, ya, Bin. Eh? Tu muka kenapa? Kayak habis di kejar orang gila?" kata Shotaro saat melihat betapa kusutnya rambut Wonbin.

"Hah? Oh, gapapa. Tadi takut hujan, makanya buru buru."

Bohong.

Setelah memberikan belanjaan, Wonbin langsung menuju kamarnya. Begitu ia menutup pintu dan mengunci diri di dalam kamar, seluruh ketegangan dan rasa panik yang dirasakannya mulai terasa lebih intens. Ia duduk di tepi tempat tidur dan menghela napas panjang.

Pikiran tentang kemungkinan bertemu Anton membuat hatinya terasa berat. Ia berusaha menenangkan diri, berharap bahwa hari ini akan segera berlalu dan ia bisa kembali merasa tenang.

TO BE CONTINUED!

DILARANG MENYALIN ATAU MENGCOPY CERITA INI!

WHISPER BETWEEN US || TONNEN✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang