Bab Tak Berjudul 6

47 10 6
                                    

Setelah kejadian kemarin, Krist merasa bahwa ia harus berbicara dengan Mey dan mencoba menjelaskan semuanya. Dengan hati yang berat, ia mendatangi rumah Mey. Saat Mey membuka pintu, Krist melihat wajahnya yang penuh dengan kesedihan dan kemarahan.

"Mey, tolong dengarkan aku. Aku bisa jelaskan semuanya," kata Krist dengan suara penuh penyesalan saat menyadari jika Mey hendak menutup kembali pintu yang akan terbuka. 

Mey menatap Krist dengan mata penuh air mata. "Apa lagi yang ingin kamu jelaskan, Krist? Aku sudah melihat semuanya. Kamu mengkhianatiku," katanya dengan suara gemetar.

Krist merasa hancur melihat Mey begitu terluka. "Aku bingung dengan perasaanku, Mey. Aku mencintaimu, tapi aku juga mencintai Singto. Aku tidak tahu harus berbuat apa," jawabnya dengan suara penuh kebingungan.

Mey menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa mempercayai kamu lagi, Krist. Aku pikir kita punya sesuatu yang nyata, tapi ternyata semua ini hanya kebohongan," katanya dengan suara penuh kemarahan.

Krist mencoba meraih tangan Mey, tetapi Mey menepisnya. "Mey, aku minta maaf. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Aku terjebak dalam situasi yang sulit," katanya dengan suara penuh penyesalan.

Namun, Mey tidak ingin mendengar penjelasan apa pun. "Tidak! Aku tidak ingin mendengar apa pun dari kamu. Aku pikir kamu mencintaiku, tapi ternyata kamu lebih mencintai Singto. Aku tidak bisa hidup dengan kebohongan ini. Kita cukup sampai sini, Krist," katanya dengan tegas.

Krist merasa hancur mendengar keputusan Mey. "Mey, tolong beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya," pintanya dengan suara penuh harap.

Mey menggelengkan kepalanya lagi. "Tidak, Krist. Tidak ada lagi kita, ini keputusanku. Tolong pergi dari sini," katanya dengan suara penuh kesedihan.

"Mey..."

Mey hanya menggelengkan kepala, ia sedikit mendorong tubuh Krist untuk menjauh. "Kumohon Krist, pergilah..."

Dengan hati yang berat, Krist meninggalkan rumah Mey. Ia merasa hancur dan bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Setetes air mata meluncur begitu saja saat Mey benar - benar menutup pintu rumahnya.

Krist tak bisa berbuat apa - apa lagi, Mey benar - benar kecewa dengannya. Ia telah melukai gadis yang dua tahun terakhir ini menemaninya. Mungkin dari awal, ia tak harus melakukan sesuatu yang salah. Atau setidaknya ia bisa berhenti sebelum memulai, bagaimanapun itu adalah sesuatu yang salah. Dan seharusnya Tuhan tidak mempertemukan ia dengan Singto atau mungkin ia dengan Mey, tidak mempertemukan ia dengan salah satu dari mereka. Ingin rasanya Krist menyalahkan Tuhan. Namun, ia tau betul bahwa ini bukan tentang salah Tuhan. Ini adalah salahnya yang tak bisa menahan kerakusan atas cinta dan perhatian.

Krist pulang ke rumahnya sendiri dengan perasaan yang sangat terluka. Ia duduk di sofa, memandangi ruangan yang tiba-tiba terasa begitu sunyi. Air mata mulai mengalir di pipinya saat ia merenungkan semua yang telah terjadi.

Setelah perpisahan dengan Mey, Krist merasa hancur dan bingung. Ia memutuskan untuk tetap diam di rumah selama beberapa hari, merenungi kesalahannya. Krist menolak datang ke syuting ataupun menerima panggilan dari Singto. Ia merasa tidak punya kekuatan untuk menghadapi dunia luar atau orang-orang yang ia cintai.

Singto, yang merasa khawatir, akhirnya memutuskan untuk mendatangi apartemen Krist. Dengan hati yang berat, ia membuka pintu apartemen Krist menggunakan kunci cadangan yang ia miliki. Saat masuk, ia melihat Krist duduk di depan TV, melamun dengan tatapan kosong.
"Krist," panggil Singto dengan suara lembut, berharap bisa menarik perhatian Krist. Namun, Krist tetap diam, tidak bereaksi sama sekali.

Singto mendekat dan duduk di sebelah Krist.

"Kau sudah makan?" Tanya Singto menarik perhatian Krist. 

Krist menoleh kesamping, menatap lelaki yang telah menemaninya satu tahun ini. Sejahat itu kah ia hingga membuat Singto menjadi sekurus ini?

"Aku ingin bubur, bisakah?" Ujar Krist dengan lirih. 

Singto tersenyum, "Mau aku buatkan atau pesankan?"

"Terserah kau phi..." Ujar Krist yang kemudian ia bersandar ke sofa dan kembali menatap tv, meskipun pikirannya entah kemana. 

Singto menghela nafas sebelum berdiri dan berjalan menuju dapur.  Dengan tangannya yang cekatan ia membuatkan bubur untuk Krist. Sebenarnya ini bukan kali pertama Singto membuatkan Krist bubur, pernah beberapa kali saat Krist sakit, dan tak ada Mey, ia akan membuatkan bubur untuk pemuda itu. 

Selesai dengan membuatkan bubur, ia juga menyiapkan susu hangat untuk Krist. 

Perlahan sembari meniup pelan sendokan buburnya, ia menyuapkan sesendok demi sesendok kepada pemuda dengan bibir pucat itu. 

Sehari, dua hari, tiga hari, empat hari Singto terus memberikan perhatiannya. Ia akan datang di pagi hari menyiapkan atau pun menyuapkan sarapan, makan siang atau pun makan malam. Singto benar  - benar melakukan semua pekerjaan rumahnya. Dan membantu Krist untuk tidur di malam hari sebelum ia kembali ke apartemennya sendiri. Ia tak meminta ijin untuk menginap, dan tak juga ada tawaran dari Krist untuk menginap.

Sedangkan Krist, ia benar - benar tidak memperhatikan apapun yang dilakukan Singto. Krist akan memberikan tanggapan pada Singto jika hal sepele, namun jika mengenai perasaan, ia masih belum ingin membuka mulut.

Dan ini adalah hari kelima Singto berkunjung di rumah Krist. Keduanya tak bisa terus seperti ini, dalam diam tanpa interaksi seperti biasa meskipun berada di bawah atap yang sama. 

"Kita perlu bicara," katanya dengan suara penuh harap. Namun, Krist terus mengabaikannya, tetap terdiam dalam lamunannya.

"Kita tidak bisa seperti ini terus Krist, sampai kapan kau akan seperti ini kepadaku? diam padaku jika aku memulai percakapan serius?"

"Pergilah phi, aku tak ingin bicara..."

"Aku lelah Krist..."

"Lalu beristirahatlah..."

"Aku ingin menyerah..." Ujar Singto membuat Krist menoleh padanya, "Katakan padaku, apa yang kau inginkan dan aku akan mengabulkannya." Imbuh Singto

"Pergilah Phi, aku masih belum ingin bicara..." Ujar Krist, Singto hanya menggeleng perlahan, tanpa sadar air mata mulai merembes keluar membasahi wajahnya.

Merasa putus asa, Singto melepaskan cincin yang ia pakai dan meletakkannya di atas meja di depan Krist. Cincin itu adalah simbol cintanya kepada Krist, sesuatu yang ia gunakan untuk mengingatkan dirinya bahwa ia mencintai Krist.

Krist menatap cincin itu dalam diam, merasa hatinya semakin hancur. Ia tahu bahwa ia telah menyakiti Singto, tetapi ia merasa terlalu terluka untuk melakukan apa pun. Bahkan saat Singto meninggalkannya, Krist tetap tidak bergerak, hanya menatap cincin itu dengan air mata yang mengalir di pipinya.

Singto berdiri dan berjalan keluar dari apartemen dengan air mata yang terus merembes. Ia merasa hancur, tetapi ia tahu bahwa ia telah melakukan yang terbaik yang ia bisa. Dengan hati yang berat, ia meninggalkan Krist, merasa bahwa mungkin ini adalah akhir dari segalanya.
Begitu pula Krist yang merasa sedih. Ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan yang sulit, tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Dalam kesendiriannya, Krist merenungkan masa depan dan mencoba mencari jalan keluar dari kekacauan yang ia ciptakan.
.
.
.

.t.e.b.e.c.e.h.

Story Of August (SK) (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang