Bab Tak Berjudul 8

50 11 2
                                    

Di Jepang, Singto memulai kehidupan baru. Ia memutuskan untuk meninggalkan karirnya di dunia hiburan dan fokus pada pendidikan. Singto merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk memulai kembali dan menemukan kebahagiaan dalam dirinya sendiri. Meskipun ia masih merasakan sakit hati, Singto perlahan-lahan mulai sembuh dan menemukan tujuan baru dalam hidupnya.

Singto menikmati kehidupan barunya di Jepang. Ia bertemu dengan teman-teman baru dan menemukan kebahagiaan dalam belajar. Meskipun kenangan tentang Krist masih ada, Singto merasa bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat untuk dirinya sendiri.

Namun begitu Singto mendapatkan pesan dari Phi Jane ia terdiam, butuh waktu baginya untuk membuat keputusan. Singto tak langsung membalasnya, beberapa saat ia termenung menatap gambar tulisan Krist dan cincin di atasnya. 

Beberapa malam kemudian, ia masih menatap gambar di ponselnya, ia yang berbaring di atas ranjang setelah selesai dengan pertemuan kuliahnya tampak mengusap lembut gambar itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa malam kemudian, ia masih menatap gambar di ponselnya, ia yang berbaring di atas ranjang setelah selesai dengan pertemuan kuliahnya tampak mengusap lembut gambar itu. Ia  semakin merindukan Krist. 

Tapi, mungkinkah lelaki itu benar - benar akan memperjuangkannya? Mungkinkah lelaki itu akan kembali padanya? Mungkinkah lelaki itu tak akan berpaling?

Banyak pertimbangan untuk Singto pikirkan kembali, hingga akhirnya ia menghela nafas cukup panjang sebelum mengetikkan pesan pada Phi Jane. Ia harap, ini keputusan yang terbaik untuknya.
.
.
.

Begitu mendapatkan balasan dari Singto, Phi Jane tersenyum. Ia lalu meneruskan pesan itu kepada Krist. Seperti halnya Phi Jane, Krist pun tersenyum lebar. Ia hampir terlelap sebelum pesan dari Phi Jane masuk. Ia  mendapatkan alamat dan informasi yang diperlukan untuk menemukan Singto.

Keesokan harinya Krist memutuskan untuk terbang ke Jepang. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya untuk memperbaiki hubungan mereka.

Setibanya di Jepang, Krist merasa gugup dan cemas. Ia tidak tahu bagaimana Singto akan bereaksi melihatnya. Dengan hati yang berat, Krist pergi ke universitas tempat Singto melanjutkan studinya. Ia menunggu di luar gedung, berharap bisa bertemu dengan Singto.

Saat Singto keluar dari kelas, ia terkejut melihat Krist berdiri di sana. "Krist? Bagaimana kau? Tunggu, kenapa kau bisa disini?" tanyanya dengan suara penuh kebingungan.

"Auw! Phi Jane yang mengirimkannya. Ku kira itu darimu?" Krist bingung bagaimana berkomentar dengan pertanyaan Singto. Sejujurnya ia takut jika Singto akan langsung menghindar, tapi apa ini? Pemuda itu terlihat baik - baik saja seolah tak ada yang terjadi. 

"Tunggu, aku memang mengirimkan alamatku. Tapi, maksudku kenapa ke universitas? Kau bisa datang ke tempatku bukan?" 

Krist melipatkan kedua tangan di depan dada, "Lalu aku harus bagaimana sekarang? haruskah aku tempatmu dulu? menunggu mu? atau kita kesana bersama?" 

Singto menghela nafasnya, "Bagaimana kau sampai sini?" 

"Taksi." Jawab Krist singkat. 

"Tunggu aku, aku akan mengambil sepeda." 

"Tidak, kita pergi dengan taksi. Tasku sedikit berat." Proses Krist yang ternyata langsung datang ke universitas setelah sampai di bandara. 

Singto tak menjawab, ia hanya menarik tas jinjing Krist itu. Lalu berjalan menuju parkiran dalam diam. Krist yang tak mengerti pun hanya mengikuti Singto dari belakang. 

Dan seperti ucapan Singto, mereka menuju rumahnya dengan sebuah sepeda. 

Singto menyodorkan segelas air putih saat keduanya sampai. Krist yang sedari tadi mengikuti setiap pergerakan Singto dengan diam itu pun hanya mengambil gelas tanpa komentar. 

"Mau istirahat?" Tawar Singto. 

Krist menatap Singto dengan mata penuh penyesalan. "Phi, aku datang untuk memperbaiki semuanya. Aku tahu aku telah menyakiti kamu, tetapi aku tidak bisa hidup tanpa kamu. Aku mencintaimu dan aku ingin kita bersama," katanya dengan suara penuh harap.

Singto merasa campuran antara kebahagiaan dan kesedihan. Ia tidak tahu apakah ia bisa mempercayai Krist lagi, tetapi ia juga merasa bahwa Krist benar-benar tulus. "Krist, aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayai kau lagi. Kau telah menyakiti aku begitu dalam," jawabnya dengan suara gemetar.

Krist merasa hancur mendengar kata-kata Singto. "Aku mengerti, Phi. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku benar-benar mencintaimu dan aku akan melakukan apa pun untuk memperbaiki semuanya," katanya dengan suara penuh penyesalan.

Singto tersenyum, namun entahlah, ia enggan berkomentar lebih tentang itu. Sejujurnya ia sedikit gugup saat melihat Krist untuk kali pertama setelah beberapa minggu berlalu. 

"Istirahatlah..." Ujar Singto sembari melewati meja dapur, ia membawa tas hitam Krist. Langkahnya menuju sebuah kamar di sebelah kanan, ia meraih knop untuk membuka pintu. Begitu pintu terbuka, tampak sebuah kamar yang tidak terpakai. 

"Kau bisa menggunakan kamar ini. Jika kau memerlukan hal lain, aku ada disana..." Ujarnya menunjuk kamar di seberang. 

"Phi tinggal sendiri?" Tanya Krist sebelum melewati Singto. 

Singto hanya bergumam untuk menjawabnya.

"Phi..." Krist merai lengan Singto. 

Singto menatap Krist yang berdiri di dekatnya. 

"Aku harap kau memikirkan kembali ucapanku." Ujar Krist. 

Sesaat Singto merasakan getaran di hatinya, "Getaran itu masih sama." Batinnya.

Singto tak melontarkan jawaban, ia meraih tangan Krist yang berada dilengannya, lalu mengalihkan tas hitam yang sebelumnya ia bawa kepada si pemilik. 

"Istirahatlah, kita makan siang dua atau tiga jam lagi." Ujar Singto dengan senyuman tipis yang kemudian berjalan melewati Krist menuju kamarnya sendiri. 

Singto menghela nafas cukup berat begitu memasuki kamarnya. Perlahan ia naik ke atas ranjang, duduk ditepinya sembari memegang dadanya. "Rasa itu masih sama Krist. Melupakanmu memang sebuah kemustahilan. Haruskah aku menerimamu?" Gumamnya sendirian, lalu ia menggelengkan kepala, "Tidak, aku tak akan menerima mu. Perpisahan adalah yang terbaik untuk kita." 

Singto kembali menarik nafas dalam - dalam lalu ia menunduk, mengingat kembali bagaimana Krist mengatakan padanya untuk pergi. 

"Benar, kau memintaku untuk pergi Krist. Mana mungkin kau memanggilku kembali?" Gumam Singto sekali lagi. 

"Agustus telah usai, begitu pula dengan kita. Tidak ada lagi kita Krist, yang ada hanya kau dan aku. Krist dan Singto bukan Krist bersama Singto." Singto bergumam sendirian, mengangguk - anggukkan kepala, seolah ini benar. 

Di sisi lain, Krist yang berada di kamar, terlihat berbaring sembari menatap langit. "Aku harap kau berubah pikiran tentang kita. Ku harap kau dapat menerimaku kembali, phi..." Tangannya yang kiri ia gunakan sebagai bantalan sedangkan tangan kanannya terangkat menampakkan cincin yang sempat Singto tinggalkan padanya. 

"Jika kau tidak langsung menerimaku, aku akan memaksakan diriku untukmu."
.
.
.
.

.t.e.b.e.c.e.h.


Story Of August (SK) (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang