BAB 6

29 2 3
                                    

     Waktu berlalu begitu cepat. Bulan sudah berganti, Zeyn masih memikirkan tentang Arumdayu. Namun ia berusaha menyibukkan diri dengan kegiatan sekolah.
    Suatu hari, saat Zeyn sedang berjalan pulang. Ia melihat seorang yang sangat familiar baginya. Dirinya terkejut mengetahui bahwa itu adalah Arumdayu. Ia berdiri berdua dengan seorang laki-laki di sebrang jalan.
     Jantung Zeyn berdebar-debar. Ingin sekali dia menyapa Arum. Tapi apakah dia akan senang? Atau malah mengabaikan dirinya. Api cemburu mulai menguasai Zeyn. Terasa berat kaki nya untuk melangkah. Setelah melihat pemandangan yang tidak ia bayangkan sebelumnya. Sebuah peristiwa yang tidak diinginkan oleh nya.
_"tak tak tak"_
Suara langkah kaki berbunyi. Rupanya itu adalah Maulana, ia menepuk pundak si Zeyn.
"Eh, Lo ngapain disini?" Kata Lana.
"Hah, ya apa. Ouh ini Lana kamu lihat di sebrang sana?"
"Iya. Kenapa?"
"Itu Arumdayu, Maulana. Yang pas lagi kemah tuh"
"Hah? Apa, woah tsunami fakta Cok!!. Kok kamu diam aja ada cewe lain di samping Arum?" Tanya Maulana terkaget-kaget. Si Lana mengalihkan topik dengan meminta Zeyn mengantarkan dia.
"Eh, Zeyn boleh nggak aku ikut kamu pulang nya? Soalnya aku nggak ada yang jemput" Tanya Lana sambil tersenyum.
"Ouh iya, boleh "
    Zeyn pun pulang. Tapi, mengantar Maulana dulu. Di dalam perjalanan Zeyn masih aja memikirkan Arumdayu.
Sesampainya di rumah, Zeyn langsung menuju kamar mandi. Air dingin membasahi tubuhnya, namun tak mampu mendinginkan api cemburu yang berkobar di dalam hatinya. Setelah mandi, ia berwudhu dan menunaikan sholat ashar. Dalam sujudnya, ia memohon kepada Tuhan agar diberikan kekuatan untuk menghadapi cobaan ini.
Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa, adzan Maghrib berkumandang. Zeyn bergegas ke masjid. Di sana, ia berusaha menenangkan pikirannya dengan membaca Al-Quran. Namun, konsentrasinya terus terganggu oleh bayangan Arumdayu. Saat sedang khusyuk membaca, tiba-tiba seorang teman ngajinya menyikutnya. "Zeyn, ngelamun aja," tegur temannya itu. Zeyn tersadar dari lamunannya dan segera menjawab salam.

Setelah sholat Maghrib, Zeyn diajak oleh Putra teman ngajinya untuk bermain futsal. Ia sebenarnya tidak ingin ikut, namun karena tidak ingin terlihat terlalu murung, ia pun akhirnya ikut bergabung. Selama pertandingan, Zeyn berusaha untuk fokus pada permainan, namun pikirannya tetap saja melayang pada Arumdayu.

Putra, anak dari teman ngaji Zeyn, mendekat sambil menepuk bahunya. "Bro, fokus dong. Kelihatan banget lo lagi mikirin sesuatu," ucapnya, sambil menendang bola kecil ke arah Zeyn, seolah ingin menarik perhatian Zeyn kembali ke permainan. Zeyn hanya tersenyum tipis, mencoba menutupi perasaannya.

"Sorry, Put," balas Zeyn singkat. Ia tahu Putra berniat baik, tapi suasana hatinya tak bisa dengan mudah diperbaiki hanya dengan candaan di lapangan futsal. Putra duduk di sebelah Zeyn, meneguk air minumnya sambil mengamati sahabatnya yang tampak jauh lebih murung dari biasanya.

"Lo nggak biasanya begini, Zeyn. Ada apa, sih?" tanya Putra, suaranya pelan, nyaris berbisik.

Zeyn hanya menggeleng pelan. "Nggak ada apa-apa, Put. Mungkin cuma capek aja," jawabnya, mencoba terdengar meyakinkan. Tapi Putra tahu, ada yang lebih dari sekadar kelelahan di balik tatapan Zeyn yang kosong. Namun, Putra memilih tidak menekan lebih jauh. Baginya, kadang-kadang sahabat hanya butuh ruang untuk menyimpan cerita-ceritanya sendiri.

"Kalau butuh teman cerita, gue ada, ya," kata Putra sambil tersenyum, mencoba memberi sedikit kehangatan pada suasana yang dingin. Zeyn menoleh, tersenyum kecil sebagai balasan, meski senyum itu terasa dipaksakan.

Kehadiran Putra malam itu memberi sedikit ketenangan, tapi tidak cukup untuk menghilangkan rasa gelisah yang masih tersisa di hati Zeyn. Ia menyadari bahwa perjalanan perasaannya tak semudah permainan futsal yang bisa dihentikan kapan saja. Ada hal-hal yang tidak bisa dia kendalikan, dan cinta yang bercampur cemburu adalah salah satunya.

Zeyn berjalan pulang bersama Putra setelah futsal selesai. Jalanan sudah sepi, dan Zeyn lebih banyak diam. Putra berusaha mencairkan suasana dengan cerita-cerita ringan tentang sekolah, tapi Zeyn hanya merespons seadanya. Pikirannya masih tertinggal di momen sore tadi, saat melihat Arumdayu bersama laki-laki lain. Rasanya perih, seolah ada yang menusuk hatinya pelan-pelan.

Sesampainya di depan rumah Putra, mereka berhenti. “Zeyn, kalau lo butuh cerita, gue ada, ya,” kata Putra sambil menepuk pundak Zeyn. Zeyn hanya tersenyum kecil, berusaha menunjukkan kalau dia baik-baik saja, padahal hatinya masih berantakan.

Zeyn melanjutkan langkahnya sendiri menuju rumah. Ia membuka pintu dan disambut ibunya yang duduk di ruang tamu.

“Kamu baru pulang, Nak?” tanya ibunya, lembut.

“Iya, Bu. Tadi main sama Putra,” jawab Zeyn singkat. Ia mencoba tersenyum, walaupun lelah hati tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.

“Mandi dulu, biar segar,” saran ibunya.

Zeyn mengangguk dan menuju kamar mandi. Ia melepaskan pakaian, lalu membiarkan air dingin mengalir membasahi tubuhnya. Segarnya air tidak cukup untuk menenangkan pikiran Zeyn. Setelah mandi, ia mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat Isya, berharap bisa mendapatkan sedikit ketenangan.

Selesai sholat, Zeyn berdoa dalam hati, memohon agar perasaan yang mengganggunya bisa sedikit mereda. “اللَّهُمَّ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْكَبِيْرُ وَأَنَا عَبْدُكَ الضَّعِيْفُ الذَّلِيْلُ الَّذِيْ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ، اللَّهُمَّ سَخِّرْ لِيْ فُلَاناً كَمَا سَخَّرْتَ فِرْعَوْنَ لِمُوْسَى وَلَيِّنْ لِيْ قَلْبَهُ كَمَا لَيَّنْتَ الْحَدِيْدَ لِدَاوُدَ فَإِنَّهُ لَا يَنْطِقُ إِلَّا بِإِذْنِكَ نَاصِيَتُهُ فِيْ قَبْضَتِكَ وَقَلْبُهُ فِيْ يَدِكَ جَلَّ ثَناَءُ وَجْهِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ"
Artinya: “Ya Allah bahwasanya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Besar. Dan sesungguhnya aku ini adalah hamba-Mu yang hina lagi lemah. Ya Allah mudahkanlah bagiku urusanku, sebagaimana Engkau mudahkan bagi urusan Fir’aun kepada Musa dan lunak hati manusia bagiku sebagaimana Engkau lunakkan besi bagi Nabi Daud. Engkaulah adalah sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik penolong, wahai Tuhan Yang Maha Hidup, Wahai Tuhan Yang Maha Penguasa, Wahai Tuhan Yang Punya Keagungan dan Kemuliaan, perkenanlah ya Allah.”

Ya Allah, kuatkan hati ini,” bisik Zeyn dalam doa yang pelan. Hanya pada Tuhan ia bisa berbicara jujur tentang cemburunya, tentang hatinya yang remuk.

Zeyn naik ke tempat tidur, menghempaskan tubuhnya yang terasa berat. Ia mengambil ponsel, menatap layarnya dengan harapan kosong, berharap ada pesan dari Arumdayu, meski ia tahu itu hampir mustahil. Layarnya tetap sunyi. Zeyn meletakkan ponselnya di meja samping dan menatap langit-langit kamar. Ia mencoba memejamkan mata, tapi bayangan Arumdayu bersama laki-laki itu terus terulang di kepalanya.

Zeyn menarik selimut, berusaha menghangatkan diri dari dinginnya perasaan cemburu yang menggigit. Ia memejamkan mata, meski gelisah masih menyelimuti. “Kenapa semua jadi ribet kayak gini, sih?” Zeyn berbisik pada dirinya sendiri. Napasnya terasa berat, seakan membawa semua rasa sakit yang belum bisa ia lepaskan.

Malam itu Zeyn akhirnya tertidur, bukan karena lelah fisik, tapi karena tak lagi mampu memikirkan apapun. Meski begitu, tidurnya tak sepenuhnya tenang, karena di dalam mimpi pun Arumdayu masih menghantuinya, bersama dengan rasa cemburu yang tak pernah ia undang.

Cinta Sebatas Patok Tenda Where stories live. Discover now