Pagi itu, Zeyn duduk di kamarnya, merenungkan percakapannya dengan Arumdayu semalam. Pertemuan itu meninggalkan kesan mendalam dan semakin menegaskan perasaannya, namun ia juga tak bisa menyingkirkan perasaan bersalah terhadap Maulana. Ia tahu, persahabatannya dengan Maulana selama ini adalah salah satu hal terpenting dalam hidupnya. Namun, di sisi lain, Arumdayu-perempuan yang pernah ia kagumi diam-diam di masa SMP-kini hadir kembali dan menggoyahkan segalanya.Terdengar ketukan di pintu kamar. Zeyn menoleh dan melihat Maulana berdiri di ambang pintu. Raut wajah Maulana terlihat serius, tak seperti biasanya. Zeyn tahu, Maulana pasti ingin bicara tentang Arumdayu.
"Boleh masuk?" tanya Maulana singkat.
Zeyn mengangguk pelan, memberi ruang bagi Maulana untuk duduk di kursi dekat jendela. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Zeyn bisa merasakan ketegangan di udara, dan hatinya semakin tak menentu.
"Aku tahu," Maulana akhirnya membuka suara, "Kamu dan Arumdayu masih punya perasaan yang belum selesai. Dan aku juga tahu kamu mungkin merasa bingung karena aku."
Zeyn terdiam, tak menyangka Maulana langsung menyinggung hal itu. "Maul... Aku nggak pernah mau bikin kamu merasa tersingkir atau terluka. Aku juga nggak pernah bermaksud untuk mengambil Arum darimu. Aku... aku sendiri bingung dengan perasaanku."
Maulana menghela napas, menatap Zeyn dengan pandangan yang sulit dibaca. "Dulu, waktu aku tahu kamu suka sama Arum, aku sebenarnya sudah mundur. Aku pikir, aku bisa melupakan perasaan itu. Tapi, perasaan itu nggak pernah benar-benar hilang. Bahkan, saat aku tahu Arum nggak punya perasaan lebih ke aku, aku masih berharap."
Zeyn mencoba menahan rasa bersalah yang menggelayuti dirinya. "Aku nggak pernah bermaksud mengabaikan perasaanmu, Maul. Aku hanya nggak tahu harus gimana. Setelah ketemu Arum lagi, perasaan lama itu kembali, dan aku nggak tahu bagaimana menghadapinya."
Maulana terdiam sejenak, seolah menimbang setiap kata yang ia ingin ucapkan. "Zeyn, aku tahu ini nggak mudah buat kita berdua. Aku tahu Arum berhak memilih, dan kamu juga. Tapi satu hal yang aku nggak bisa abaikan adalah rasa kecewa ini. Aku merasa... mungkin persahabatan kita juga sedang diuji."
Kata-kata Maulana membuat Zeyn merasa semakin bingung. Ia menyadari betapa rumitnya situasi ini dan betapa pentingnya hubungan mereka berdua. "Maul, persahabatan kita nggak akan pernah tergantikan buat aku. Aku nggak akan pernah memilih sesuatu yang bisa menghancurkan itu."
"Kalau begitu," ujar Maulana dengan nada rendah, "apa kamu rela melepaskan Arum?"
Zeyn terdiam, pertanyaan itu terasa menghantamnya. Dalam hati, ia tahu jawabannya tidak semudah itu. Di satu sisi, ia tidak ingin menyakiti Maulana, sahabat yang selalu mendukungnya. Namun, di sisi lain, ia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya sendiri untuk Arumdayu.
"Aku nggak tahu, Maul," kata Zeyn pelan, menunduk. "Aku nggak tahu harus gimana."
Keheningan kembali mengisi ruangan. Maulana bangkit berdiri, raut wajahnya masih tegang namun sedikit melunak. "Zeyn, aku nggak ingin memaksamu memilih. Tapi aku juga ingin jujur sama kamu, karena aku nggak ingin kita terjebak dalam perasaan yang tidak terselesaikan. Mungkin... mungkin kita butuh waktu untuk memikirkan apa yang sebenarnya kita mau."
Maulana keluar dari kamar Zeyn tanpa berkata lagi, meninggalkan Zeyn dalam kebingungan yang semakin dalam. Zeyn tahu, ia harus mengambil keputusan. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena persahabatan mereka mungkin tidak akan pernah sama lagi jika terus dibiarkan seperti ini.
---
Di sisi lain, Arumdayu juga merasa kebingungan. Pagi itu ia mendapat pesan dari Maulana, mengajaknya bertemu di taman kota. Pesan itu singkat, tanpa banyak penjelasan, namun Arumdayu merasa Maulana akan membicarakan sesuatu yang penting.
Sesampainya di taman, Arumdayu melihat Maulana duduk di bangku panjang di bawah pohon rindang, wajahnya terlihat murung. Arumdayu duduk di sampingnya, mencoba tersenyum untuk mencairkan suasana.
"Ada apa, Maulana?" tanya Arumdayu lembut.
Maulana menatap Arumdayu dalam-dalam, tampak ragu-ragu sebelum akhirnya membuka mulut. "Arum... Aku tahu mungkin ini terlambat, tapi aku merasa harus mengatakannya. Dulu, aku pernah berharap lebih dari sekedar teman dengan kamu."
Arumdayu tersenyum tipis, seolah sudah tahu arah pembicaraan ini. "Aku tahu, Maul. Dan aku menghargai perasaanmu. Tapi, waktu itu, aku belum bisa merasakan hal yang sama."
"Aku mengerti," kata Maulana pelan, "dan aku nggak menyalahkanmu. Tapi sekarang, ketika kita bertemu lagi, perasaan itu kembali, meski aku tahu kamu mungkin masih melihatku hanya sebagai teman."
Arumdayu menunduk, merasa tidak nyaman dengan situasi ini. "Maul, aku sangat menghargai kamu sebagai sahabat, dan aku juga nggak ingin ada yang terluka karena ini. Tapi... aku merasa hubunganku dengan Zeyn pun tak bisa aku abaikan."
"Jadi, kamu lebih memilih Zeyn?" tanya Maulana, suaranya terdengar lelah.
Arumdayu terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. "Aku nggak tahu apakah ini pilihan yang tepat. Tapi aku nggak bisa membohongi perasaanku, Maul."
Maulana menghela napas panjang, menyembunyikan kekecewaannya. "Aku mengerti, Arum. Mungkin ini adalah jawaban yang harus aku terima. Aku hanya berharap, suatu saat kita bisa tetap menjaga persahabatan ini, meskipun mungkin sekarang terasa sulit."
Arumdayu mengangguk pelan, perasaan bersalah menghantui dirinya. Ia tahu bahwa tidak ada jalan yang benar-benar adil bagi semuanya. Namun, ia juga menyadari bahwa dirinya harus jujur pada perasaan sendiri.
---
Malamnya, Zeyn menerima pesan dari Arumdayu yang mengajaknya bertemu di kafe. Di sana, Zeyn merasa lega dan gugup, seolah akan menghadapi sesuatu yang menentukan.
"Zeyn, aku ingin kita jujur tentang perasaan kita masing-masing," kata Arumdayu begitu mereka duduk. "Aku tahu, kita sudah berusaha menjaga hati satu sama lain. Tapi aku merasa kita tidak bisa terus-terusan menyembunyikan perasaan ini."
Zeyn menatap mata Arumdayu dalam-dalam, mengangguk pelan. "Aku juga merasa begitu, Arum. Aku tahu perasaan ini rumit, tapi aku nggak ingin mengabaikan apa yang aku rasakan."
Arumdayu tersenyum kecil, menyentuh tangan Zeyn. "Kalau begitu, mari kita jujur dan biarkan waktu yang menjawab apakah kita benar-benar bisa bersama. Aku tahu akan ada konsekuensi, tapi aku percaya, kalau kita memang ditakdirkan, kita pasti akan menemukan jalan."
Zeyn merasakan kehangatan di dadanya, sebuah harapan baru meskipun penuh tantangan. Di tengah kerumitan ini, ia merasa bahwa dirinya telah menemukan alasan yang tepat untuk terus maju. Kini, tantangannya adalah bagaimana ia bisa menjaga perasaan ini tanpa menghancurkan persahabatannya dengan Maulana.
Namun, jauh di lubuk hati, Zeyn tahu bahwa pilihan ini tidak akan mudah. Semua perasaan ini belum benar-benar selesai, dan mungkin baru di mulai.
YOU ARE READING
Cinta Sebatas Patok Tenda
RomanceCinta seringkali datang tanpa diundang, menyusup di antara tawa, persahabatan, dan kenangan lama. "Cinta Sebatas Patok Tenda" adalah kisah Zeyn, seorang pemuda yang terjebak dalam dilema antara persahabatan dan cinta yang tak terungkap. Di masa SMP...