Bab 7

13 1 0
                                    

~5 tahun kemudian~

Bab 7

Lima tahun telah berlalu sejak momen singkat dan penuh kenangan di perkemahan itu. Zeyn kini berada di bangku kuliah, menjalani kehidupan barunya di kota besar. Kesibukan sebagai mahasiswa jurusan teknik membuat hari-harinya padat, namun sesekali bayangan masa lalu masih menghampiri, terutama kenangan tentang Arumdayu. Namun, perlahan, waktu dan rutinitas mengaburkan perasaan itu.

Suatu sore, setelah kelas yang panjang dan melelahkan, Zeyn memutuskan mampir ke sebuah kafe kecil di dekat kampus. Tempat itu terkenal dengan suasana hangat dan musik akustik live yang sering diputar. Zeyn memesan kopi dan duduk di pojok, menikmati sedikit waktu untuk dirinya sendiri. Sambil menunggu, ia tenggelam dalam layar laptopnya, mengerjakan tugas.

Tiba-tiba, seorang perempuan duduk di meja sebelah. Rambutnya tergerai rapi, dan ada kesan tenang dalam dirinya yang membuat Zeyn sesaat menoleh. Perempuan itu tampak sibuk dengan sebuah buku catatan, mencatat sesuatu dengan serius. Tanpa sadar, Zeyn merasa sedikit familiar, namun ia tidak bisa mengingat dari mana perasaan itu berasal.

Tak lama kemudian, perempuan itu menoleh dan melihat Zeyn yang duduk tepat di meja sebelah. Sekilas tatapan mereka bertemu, dan perempuan itu tersenyum kecil. Zeyn balas tersenyum sopan, meskipun ia tak menyadari siapa sosok itu sebenarnya.

“Maaf, kamu Zeyn, kan?” tanya perempuan itu sambil tersenyum, nada suaranya terdengar akrab. Zeyn terkejut, mengangkat alis sambil berusaha mengingat siapa perempuan itu. Wajahnya memang terasa sedikit familiar, tapi tak satupun ingatan jelas yang muncul di benaknya.

 Wajahnya memang terasa sedikit familiar, tapi tak satupun ingatan jelas yang muncul di benaknya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Iya, saya Zeyn. Maaf, kita... pernah ketemu di mana ya?” Zeyn bertanya dengan ragu.

Perempuan itu tersenyum lebih lebar, sedikit mengangkat bahu seolah mengerti kebingungan Zeyn. “Kamu mungkin lupa. Aku Arumdayu… dari kemah di keujiwan dulu?”

Zeyn membelalakkan mata, terpaku sejenak. Kenangan-kenangan yang sudah lama ia kubur dalam-dalam perlahan muncul kembali. Bayangan gadis pemalu dengan senyum lembut di perkemahan itu kini tergantikan oleh sosok perempuan dewasa yang ada di depannya. Tanpa disadari, jantungnya berdegup lebih cepat.

“Arumdayu? Ya Tuhan, aku nggak nyangka!” Zeyn tertawa canggung, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. “Kamu berubah... aku hampir nggak ngenalin kamu.”

Arumdayu tersenyum sambil menutup bukunya. “Waktu banyak mengubah kita, kan? Aku juga hampir nggak yakin kalau itu kamu tadi.”

Mereka pun mulai berbincang, mengenang masa lalu dan membicarakan kehidupan masing-masing. Zeyn menceritakan kesibukannya sebagai mahasiswa teknik, sementara Arumdayu kini kuliah di jurusan desain, sebuah pilihan yang membuatnya tampak lebih hidup dan penuh semangat.

Selama percakapan itu, Zeyn menyadari bahwa perasaan lamanya terhadap Arumdayu perlahan muncul kembali. Ada sesuatu dalam senyum dan tatapan Arumdayu yang masih sama, namun lebih dewasa dan mantap. Di tengah keramaian kafe, Zeyn merasakan perasaan hangat yang dulu pernah ia simpan dalam-dalam kini kembali muncul, seolah tak pernah hilang.

Namun, Zeyn tidak terburu-buru untuk mengungkapkan perasaannya. Ia hanya menikmati momen itu, bersyukur bisa bertemu lagi dengan Arumdayu dalam situasi yang tak terduga ini. Mereka berjanji untuk bertemu lagi, meninggalkan kafe itu dengan senyum dan hati yang terasa lebih ringan, masing-masing diam-diam berharap bahwa pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang baru.

Setelah pertemuan singkat itu, Zeyn dan Arumdayu mulai saling berkirim pesan. Awalnya sekadar menanyakan kabar, namun percakapan-percakapan mereka mulai beralih pada obrolan lebih mendalam. Zeyn mendapati dirinya semakin tertarik dengan Arumdayu yang sekarang—gadis yang dulu pemalu itu kini menjadi perempuan yang penuh percaya diri dan mandiri.

Suatu malam, Zeyn memberanikan diri mengajak Arumdayu untuk bertemu lagi. Mereka sepakat untuk makan malam di sebuah restoran kecil yang nyaman di tengah kota. Saat bertemu, Zeyn tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Arumdayu terlihat anggun dalam balutan dress sederhana, dengan senyuman lembut yang tak pernah berubah.

"Saya nggak menyangka, ya, Zeyn... bahwa kita akan bertemu lagi seperti ini," kata Arumdayu sambil tersenyum setelah mereka duduk di meja mereka.

"Aku juga nggak pernah menyangka," Zeyn tersenyum kembali, mengingat perkemahan dulu. "Dulu kamu selalu diam-diam saja di regumu. Rasanya, kita cuma ngobrol sekali atau dua kali, ya."

Arumdayu tertawa kecil. "Itu karena aku dulu nggak seberani sekarang. Dulu aku pikir kamu terlalu keren buat aku ajak ngobrol." Ia menggeleng sambil tersenyum, mengingat betapa kikuk dirinya dulu di hadapan Zeyn.

Percakapan itu membuat mereka mengingat lagi kenangan-kenangan kecil masa lalu—tentang tenda yang hampir rubuh saat hujan, malam api unggun yang penuh tawa, dan tentang perpisahan yang diam-diam meninggalkan bekas di hati masing-masing. Mereka berdua tidak pernah mengira bahwa momen-momen singkat itu akan tetap membekas hingga bertahun-tahun kemudian.

Selama obrolan, Zeyn menyadari ada rasa yang sulit ia abaikan. Perasaan yang dulu sempat ia lupakan perlahan-lahan kembali, lebih dalam dan nyata. Ia sadar, Arumdayu yang ada di depannya sekarang bukan hanya kenangan masa lalu, melainkan sosok nyata yang terus membuatnya terpesona. Zeyn mencoba menahan dirinya untuk tidak terlalu cepat mengungkapkan perasaan itu. Bagaimanapun, mereka baru saja bertemu lagi, dan ia tidak ingin merusak hubungan yang mulai terjalin kembali.

Malam itu berjalan dengan begitu alami, hingga Zeyn merasa waktu berlalu terlalu cepat. Mereka berbagi tawa dan cerita, seolah-olah tidak ada jarak lima tahun yang pernah memisahkan mereka. Setelah makan malam, mereka berjalan bersama menuju halte bus yang akan mengantar Arumdayu pulang.

Sambil menunggu bus, Zeyn akhirnya memberanikan diri bertanya, "Arum, kamu pernah kepikiran nggak, kalau pertemuan kita ini ada maknanya?"

Arumdayu tersenyum, memandang Zeyn dengan tatapan lembut. "Aku percaya, Zeyn, kalau segala sesuatu terjadi karena suatu alasan. Mungkin, kita memang ditakdirkan untuk bertemu lagi. Siapa yang tahu?"

Zeyn merasakan jantungnya berdegup kencang mendengar jawaban itu. Meski belum ada kepastian, setidaknya ia tahu bahwa Arumdayu juga merasakan ikatan yang sama dengannya. Malam itu, saat bus tiba dan Arumdayu melambaikan tangan sebelum masuk ke dalamnya, Zeyn merasakan kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya, harapan yang sempat ia anggap hilang lima tahun lalu kini kembali, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.

Setelah bus itu pergi, Zeyn berdiri sendirian di halte, menatap jalanan yang perlahan sepi. Di dalam hatinya, ia berjanji bahwa kali ini ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Mungkin, inilah saatnya baginya untuk benar-benar memperjuangkan apa yang dulu ia abaikan.

Cinta Sebatas Patok Tenda Where stories live. Discover now