Di sebuah taman kota yang teduh, Maulana bersender di tembok dengan kedua tangan bersilang, pandangan matanya terlihat dalam dan serius. Rambut hitamnya berantakan, tertiup angin sore yang sejuk. Meski begitu, ada ketenangan di balik wajahnya yang tegar, seakan-akan ia sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting. Sudah beberapa hari ini, perasaannya terusik sejak ia mendengar kabar bahwa Zeyn kembali bertemu dengan Arumdayu. Meski ia sudah berusaha mengabaikan perasaan itu, nyatanya bayangan tentang Arumdayu kembali menghantui pikirannya.
Maulana tahu bahwa hubungan mereka dulu tidak pernah benar-benar berkembang. Saat masih SMP, ia sempat dekat dengan Arumdayu, dan ada perasaan yang tumbuh dalam dirinya. Namun, Arumdayu kala itu hanya menganggapnya sebagai teman, dan akhirnya hubungan mereka merenggang. Sejak saat itu, Maulana berusaha melupakan perasaan itu, meski tidak sepenuhnya berhasil. Kini, setelah mendengar bahwa Arumdayu kembali ke kehidupan Zeyn, sahabatnya, rasa gelisah itu muncul lagi.
Dalam hati kecilnya, Maulana bertanya-tanya apakah ia masih memiliki kesempatan. Tapi ia juga sadar, bahwa Zeyn adalah sahabatnya sejak lama. Sejak mereka satu SMP, mereka sudah berbagi banyak cerita, suka dan duka. Persahabatan itu begitu kuat, dan Maulana tidak ingin merusaknya hanya karena perasaan yang belum terselesaikan pada Arumdayu. Namun, ia tak bisa memungkiri bahwa setiap kali melihat Zeyn bersama Arumdayu, ada dorongan dalam hatinya yang membuatnya merasa kehilangan.
Sore itu, tanpa disangka-sangka, Zeyn muncul di taman yang sama. Melihat Maulana duduk sendiri, ia tersenyum dan berjalan menghampiri sahabatnya. Zeyn menyapa dengan suara yang hangat, berusaha menghilangkan suasana canggung di antara mereka.
"Eh, Maulana! Lagi ngelamun, ya?" Zeyn duduk di sebelahnya, tanpa menyadari bahwa kehadirannya justru membuat Maulana semakin merasa tertekan.
Maulana tersenyum tipis, mengalihkan pandangannya sejenak untuk menyembunyikan kegelisahannya. "Iya, cuma mikirin hal-hal lama aja. Ternyata kamu juga sering ke sini?"
"Kadang-kadang aja, kalau lagi pengen ngeluarin pikiran," jawab Zeyn sambil tersenyum lebar. "Ngomong-ngomong, aku ketemu Arumdayu lagi, Lan."
Mendengar nama itu, Maulana merasa ada sesuatu yang menusuk dadanya. Namun, ia berusaha tetap tenang. "Oh, iya? Kalian ngobrol?"
Zeyn mengangguk, matanya berbinar-binar saat menceritakan pertemuan mereka. "Iya, kita ngobrol banyak tentang masa lalu dan semua kenangan yang pernah ada. Rasanya aneh tapi juga menyenangkan. Aku senang bisa ketemu lagi sama dia setelah sekian lama."
Maulana hanya mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. Namun, Zeyn bisa melihat sedikit ketegangan di mata sahabatnya.
"Kamu nggak apa-apa, Lan?" tanya Zeyn dengan nada khawatir. "Kayaknya ada yang kamu pendam."
Maulana menghela napas panjang, akhirnya merasa ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. "Zeyn, aku juga punya cerita soal Arumdayu. Kamu pasti tahu, dulu aku sempat dekat sama dia, tapi nggak pernah ada kelanjutan karena… ya, kamu tahu sendiri."
Zeyn terdiam mendengarkan, sedikit terkejut karena selama ini ia tidak menyadari bahwa Maulana masih menyimpan perasaan terhadap Arumdayu. "Maaf, aku nggak tahu kalau kamu masih punya perasaan ke dia."
Maulana menggeleng, mencoba tersenyum. "Itu cerita lama, Zeyn. Aku cuma merasa aneh aja kalau lihat kalian berdua sekarang. Bukan karena aku masih berharap atau gimana, cuma… aku ingin semuanya baik-baik saja. Aku nggak mau persahabatan kita berubah."
Keduanya terdiam, membiarkan angin sore membawa ketenangan di antara mereka. Maulana berusaha menenangkan diri, sementara Zeyn mulai merenungkan perasaan sahabatnya. Dalam hatinya, Zeyn menyadari bahwa meskipun ia merasa bahagia bertemu kembali dengan Arumdayu, ada bagian dari dirinya yang ingin menghormati perasaan Maulana.
"Maulana, aku nggak mau hubungan kita jadi rumit gara-gara ini. Kalau kamu merasa nggak nyaman, aku bisa mencoba menjaga jarak sama Arumdayu," ujar Zeyn, menunjukkan kepeduliannya.
Namun, Maulana menggeleng lagi, kali ini dengan lebih tegas. "Nggak perlu, Zeyn. Aku justru senang kalau kamu bahagia. Aku cuma butuh waktu buat menerima semuanya. Aku yakin, ini cuma soal waktu aja."
Zeyn mengangguk, merasa lega karena Maulana akhirnya bisa berbicara jujur tentang perasaannya. Ia menggenggam bahu sahabatnya itu, memberikan dukungan. "Terima kasih, Lan. Kamu sahabat yang luar biasa."
Maulana tersenyum samar, meski masih ada sedikit kesedihan di matanya. "Kamu juga, Zeyn. Aku harap kamu bisa bahagia, siapa pun yang ada di sampingmu."
Percakapan mereka berakhir dengan keheningan yang menghangatkan, seperti jalinan persahabatan yang kian erat meski harus diwarnai dengan perasaan yang rumit. Keduanya berdiri, berjalan meninggalkan taman dengan beban yang sedikit lebih ringan di hati. Meski Maulana masih merasa sedikit pedih, ia tahu bahwa persahabatan mereka lebih penting daripada sekadar perasaan yang tidak terselesaikan.
Di sepanjang perjalanan pulang, Maulana merenungkan kembali apa yang terjadi. Ia sadar bahwa perasaannya pada Arumdayu adalah bagian dari masa lalu yang sudah seharusnya ia ikhlaskan. Kini, ia hanya berharap bahwa Zeyn dan Arumdayu bisa menemukan kebahagiaan mereka, tanpa ada lagi keraguan di antara mereka bertiga.
Bab ini menjadi awal dari penerimaan dan kedewasaan bagi Maulana, di mana ia mulai belajar untuk mengesampingkan perasaannya demi persahabatan yang lebih berharga. Meski hatinya belum sepenuhnya sembuh, ia yakin bahwa suatu hari nanti, ia juga akan menemukan jalan kebahagiaannya sendiri.
YOU ARE READING
Cinta Sebatas Patok Tenda
RomanceCinta seringkali datang tanpa diundang, menyusup di antara tawa, persahabatan, dan kenangan lama. "Cinta Sebatas Patok Tenda" adalah kisah Zeyn, seorang pemuda yang terjebak dalam dilema antara persahabatan dan cinta yang tak terungkap. Di masa SMP...