Delapan

1K 96 5
                                    

Chika sedang termenung di jendela apartemennya. Memandang padatnya kota tempat tinggalnya. Lampu gedung-gedung pencakar langit menghiasi gemerlap malam.

Dia tiba-tiba teringat gadis kecil yang dilihatnya beberapa waktu lalu di kantor mantan suaminya. Gadis kecil yang dia yakini sebagai putri yang lahir dari rahimnya.

Aldo tiba-tiba memeluknya dari belakang. Mencium leher Chika. Namun Chika seperti enggan bermesraan dia melepas pelukan itu.

"Ayolah Chik," rayu Aldo masih berusaha mendekapnya.

"Gak do, gue lagi gak mood," kata Chika menolak.

"Ck, sia-sia gue kesini ninggalin Ashel!" Kata Aldo beranjak pergi dari apartemen Chika.

Chika sebenarnya sakit hati dengan perkataan Aldo yang jelas-jelas menjadikannya sekedar pelampiasan nafsu, tapi dia sadar dia yang memulai semua ini.

Chika teringat tiap keributan yang terjadi dengan Tian di masa kehamilannya. Tapi pikirnya saat ini Tian sudah bahagia dengan pasangannya yang baru.

Pagi itu Tian sedang meeting dengan  beberapa klien. Na yang saat ini hampir selalu ikut ke kantor sedang main bersama Rara.

Tiba-tiba Chika muncul entah dari mana, mencari Tian dan Nachia. Dirinya menuju ruangan Tian. Diruangan Tian dia hanya menemukan Rara yang sedang bermain demgan Nachia.

"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Rara pada Chika yang berdiri di sebelahnya.

"Hai cantik, siapa namanya?" Tanya Chika menyapa Na.

"Nachia," jawab Na tapi sambil merapat pada Rara karena takut.

"Gak usah takut sayang," kata Chika. Sementara Na mulai rewel. Rara langsung menggendong Na.

"Maaf ya mba, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Rara lagi.

"Ini anak saya, kamu gak usah ikut campur," kata Chika berusaha mengambil Na dari tangan Rara.

Rara sendiri ragu dan bingung karena dia tidak tahu siapa ibunya Na. Dia ragu, apa benar orang ini ibunya Na, tapi kok Na seperti tidak mau bersamanya.

Terjadilah Na yang rewel gak mau di gendong Chika. Rara berusaha menenangkan Na namun gagal.

"Chika!" Tian dan Zee muncul di belakang mereka. Chika yang kaget melonggarkan pelukannya pada Nachia hingga Nachia bisa kabur memeluk ayahnya.

"Kamu gak bisa bawa pergi dia dari aku!" Kata Chika. Zee sadar dengan pandangan orang-orang sekitar dan Na yang menangis, sehingga di menahan adiknya agar tidak meledak.

Tian berjalan pergi dari sana. Saat Chika akan mengejar, Zee menghadang Chika. Chika kesal dan akhirnya pergi dari sana.

Nachia yang sejak tadi menangis akhirnya tertidur dalam pelukan ayahnya. Tian sudah menceritakan semua kejadiannya pada papanya.

"Ini kenapa Tian gak mau pulang kesini, hidup Tian gak akan tenang," kata Tian masih menggendong Na.

"Terus kamu mau gimana?" Tanya papa Cio.

"Lu juga gak mungkin kabur terus kan dek, pada akhirnya Na harus tau siapa mamanya," kata Zee.

"Tar gue pikir lagi deh, gue titip Na bentar, gue ambil barang di ruangan," Kata Tian.

"Kamu mau kemana?" Tanya papa Cio.

"Pulang," kata Tian pergi dari ruangan papanya.

Sesampainya di ruangannya, Tian segera membereskan barangnya. Tiba-tiba Rara masuk. Wajah Rara nampak sendu dan dipenuhi rasa bersalah. Tian sama sekali tidak menggubris keberadaan Rara disana.

"Pak, Rara minta maaf, Rara gak tau, Rara gak tau kalau mantan istri bapak itu mba Chika, maaf," kata Rara yang sebelumnya memang sudah tau kalau Tian dan mantan istrinya bermasalah, tapi gak tau siapa orangnya.

Tian pergi begitu saja tanpa menggubris Rara. Rara sadar jika kesalahannya membuat Tian marah. Dan dirinya sudah berfikiran buruk, takut dirinya dipecat karena bermasalah dengan keluarga direktur.

Tian menggendong Na yang masih tertidur di ruangan papa Cio dan bergegas pulang tanpa mendengarkan Cio ataupun Zee yang menahannya.

Tian sendiri masih memikirkan omongan Zee yang memang benar. Pada akhirnya Nachia harus tau siapa ibunya. Tapi Tian belum siap menyakiti hati putri kecilnya.

Tian meninggalkan putrinya yang masih tidur dikamar sementara dirinya duduk disebelah mamanya dan menyandarkan kepalanya di bahu mamanya.

Mamanya yang sedang membaca segera meletakkan bukunya dan mengelus rambut putra bungsunya.

"Papa udah cerita ke mama, papa ma abang Zee sekarang menyerahkan kembali ke kamu," kata Mamanya lembut.

"Mama cuman mau bilang, kamu gak boleh gegabah, masa lalu mu itu gak akan hilang, kamu harus cari tau cara menyelesaikannya, bukan lari dari masalahnya, Na itu juga butuh ibu," kata mama Shani memindahkan kepala Tian ke pahanya agar bisa berbaring. Dirinya juga memijat kepala Tian yang sangat hobi jika dipijat mamanya.

**************************************

Bagaimana Tian menghadapi masalah ini?

Happy reading

Benang Merah Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang