Sirkel Munafik

8 1 0
                                    

Menjelang Hari Kemerdekaan, Siswa-siswi SMK Budi Perkasa tengah disibukkan dengan berbagai macam perlombaan, salah satunya yaitu Lomba Kebersihan Kelas yang diadakan oleh anggota OSISnya.

Tak mau kalah dengan kelas yang lain, kelas XI ULP juga telah mulai membenahi kelasnya dengan mengecat dan mendekorasi ruang kelas.

Amalia dan teman-temannya, kini sedang menanti Reina yang sementara melatih anak-anak Pramuka bermain semaphore, untuk pulang bersama.

Nampaknya, Amalia bukan hanya menunggu selesainya Reina melatih anak-anak, tapi Dia juga sedang menunggu crushnya, ehem, yang merupakan anggota Pramuka, junior dari Reina.

Latihan semaphore baru selesai ketika telah memasuki waktu Magrib. Setelah Reina dijemput oleh orang tuanya, barulah Amalia dan kawan-kawan memutuskan untuk pulang.

Karena telah malam, Amalia dan Deva yang mengantarkan Sanas pulang ke rumahnya. Namun sebelum itu, mereka singgah untuk mengambil tempat kue milik Amalia yang dititipkan di kedai kecil.

Barulah setelahnya, mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah Sanas. Amalia dan Deva lalu pulang dan di perjalanan, mereka singgah di pom bensin untuk mengisi bensin.

Sembari menunggu Deva mengisi bensin, Amalia membuka grup chat WhatsApp sekedar melihat info apa yang tengah dibicarakan di dalam grup chat kelasnya. Sebenarnya Amalia nungguin chat dari crushnya, tapi ga ada notif masuk selain dari grup chat kelasnya yang jebol, jadi terpaksa dia buka. Mana ada notif yang nandain Dia sama panggilan tak terjawab dari nomor yang ga dikenal, lagi. Kan, jadi kepo Amalia, tuh.

"ANJIR?" Kaget Amalia.

"Astagfirullah .. anjir. Akjari tau niboyai Sanas, cog." (Sanas jadi orang yang dicari, cog). Amalia berkata sambil tertawa, karena tidak menyangka, ternyata notif chat grup yang ramai beberapa menit yang lalu itu, heboh karena membahas mengenai Sanas yang katanya belum pulang sejak pagi tadi. Belum habis tertawa, wajahnya seketika pucat pasi karena membuka satu riwayat chat nomor tidak dikenal, yang isi percakapannya sangat Ia kenali.

+62 835 ...

📞Panggilan suara tak terjawab
Ketuk untuk menelepon balik
19.18

P
19.23

Amaliaaaa mana Sanas
19.23

Udah pulang, Ibu.🙏🏻
19.34

"Kenapa, Lya?" Terlalu serius menatap layar, Amalia sampai tak sadar, Deva kini telah berada di hadapannya dan bertanya-tanya, karena melihat raut wajah Amalia yang telah pucat.

"Weh, weh .. Sanas, bjir! Jadi orang yang dicari. Liat, nih! Abaang koar-koar di gb, nyari nomornya si Sanas."

"Mana ada panggilan tak terjawab dari Ibu Ima, lagi. Jarang-jarang Ibu Ima nelpon, sekalinya nelpon, bikin deg-degan. Terus juga, Ibu nge-chat Gue, katanya, "Amaliaaaa, mana Sanas". Sialan, jantung Gue rasanya pen loncat dari tempatnya".

"Udah Lu balas, chatnya Ibu?" Tanya Deva.

"Udah. Gue balas, si Sanas udah pulang".

"Si anjir, Sanas. Kenak kasus dah. Mati lah kita hari Senin, cog. Pasti ikutan dimarah sama Ibu Ima." Dumel Deva.

"Pasti, itu. Udahlah, lanjut jalan aja kita." Tak mau ambil pusing, Amalia dan Deva melanjutkan perjalanan kembali ke rumah.

***

Senin pagi, selepas menunaikan upacara bendera, Amalia dan kawan-kawan kembali ke kelas untuk belajar.

Di jam kedua, adalah jam pelajaran Ibu Syima Eima, akrab disapa Ibu Ima. Guru Kejuruan sekaligus Kepala Jurusan Usaha Layanan Pariwisata.

Pagi yang indah, seindah detak jantung seisi kelas XI ULP yang berdetak tak karuan, tatkala mendengar kalimat penuh sayang, menggetarkan seisi kelas, bahkan bulu kudukpun meremang mendengarnya. Dari bilah bibir indah, Ibu Syima Eima.

"Kemarin, Ibu nyuruh kalian semua datang mendekor kelas, tapi apa! Tidak ada satupun batang hidung kalian yang kelihatan. Cuma ada Nira dan gengnya!" Amuk Ibu Ima.

"Apalagi yang rumahnya deket-deket itu! Sama sekali tidak bisa diandalkan!"

"Bukannya Dia yang paling rajin dateng karena rumahnya deket, malah Dia yang tidak hadir!"

"Buset, ini keknya nyindir Gue, deh. Tapi emang Gue yang salah, sih." Amalia membatin.

"Kamu juga Sanas!" Hardik Ibu Ima.

"Matilah .."
"Mampus, giliran Sanas."
"Anjir, pasti Gue kenak juga, nih."
"Pasrah ajalah, Gue. Paling mental dikit kena uji."  Isi hati Sanas dan ketiga temannya.

"Iya, Ibu ..?" Sanas bertanya dengan gugup.

"Kamu waktu Jumat ke mana aja! Bapakmu nelpon Ibu, mana izinmu buat dekor kelas! Kamu itu, ya. Udah mulai bertingkah Kamu di situ. Waktu kelas Satu Kamu itu rajin, loh. Sekarang malah tambah malas! Tugas telat masuk, keluyuran! Awas saja .. sampai Ibu denger Kamu pacar-pacaran, Ibu kembalikan Kamu ke kampungmu! Denger tidak, Kamu!"

"I, iya, Ibu .." Sambil tersenyum terpaksa, Sanas menjawab dengan tertekan.

"Kalian itu, Ibu perhatiin, kalau Ibu tidak ada, kalian pendiam semua. Tapi kalau di belakang Ibu, semuanya bertingkah! Munafik itu namanya! Dengar! Diam-diam munafik!" Ibu Ima kembali bersuara.

"Ini, siapa lagi yang kenak, ya?" Batin Amalia bertanya-tanya.

"KENAPA DIAM? Ga punya mulut, Kalian? Bicara! Jangan bikin Saya tambah emosi!"

"Duh .. siapa sih, itu yang dimaksud Ibu? Ngomong dong, njir! Bisu kali tuh anak. Bentar, Kita-kita juga yang dapet apesnya." Amalia mendumel dalam hati.

"Deva! Bicara! Tidak punya mulut, Kamu?" Tiba-tiba saja, Ibu Ima menyebut nama Deva yang sementara merenung.

"Angjay .. ternyata yang dimaksud Ibu Ima tuh, Gue sesirkel? Bukan main .." Batin Amalia merasa terkejut dan sedikit .. bangga?

"Lah, cog? Napa jadi Gue?" Deva terkejut bukan main.

"Kamu juga udah mulai bertingkah, ya. Di depan Ibu kamu pendiem banget, di belakang aslinya liar. Maksudnya apa!"

Deva yang tak tahu akan berkata apa, lebih memilih diam dan membatin saja.

***

Kelas XI ULP akhirnya dapat bernapas lega setelah beberapa menit yang lalu, rasanya seperti di Padang Tandus.

"Anjay, titel baru ga, tuh. Diam-diam munafik!" Tiba-tiba saja, salah satu siswi mengeluarkan isi pikirannya.

"Kiw-kiw, Sirkel Munafik!" Tambah yang lainnya.

"Guys, jangan dekat-dekat sama Sirkel Munafik! Ntar kita lagi yang dimunafikin." Tawa salah satu siswi yang lain, diikuti kekehan dari teman-temannya.

"Cog, bener juga! Kita ga perlu pusing cari nama Sirkel. Udah ada pemberian langsung dari Ibu Ima. Beh .. suatu kehormatan, cuy!" Mulai lagi, Amalia dengan pemikiran di luar nalarnya.

"Bener, tuh! Mulai sekarang, kita adalah 'Sirkel Munafik'! Yahuuu!!" Ini juga si Sanas, malah ikut-ikutan.

Deva dan Reina hanya bisa menepuk jidat, bertanya-tanya dalam hati, mengapa bisa dipertemukan dengan Amalia dan Sanas yang setiap tingkahnya ajaib sekali.

"Tuhan, ambil aja mereka. Kami ikhlas, kok .." Batin Reina dan Deva, nelangsa.

Bersambung.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TOURISM CLASS JUNIORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang