2. Anak Terakhir Yang Bertahan Hidup.

15 2 0
                                    

Dua minggu telah berlalu sejak anak-anak yang diculik dikembalikan ke orang tua mereka masing-masing, dan kepala desa menerima kabar bahwa Profesor Arend dan Lange telah dihukum mati di ibu kota.

Matahari pagi bersinar di atas desa Sumbertangkil yang anggun dan bersih. Angin yang bertiup cukup kencang membuat suasana menjadi sejuk meski hari terik. Di kejauhan, jauh dari wilayah desa, berdiri sebuah bangunan tua yang dulunya merupakan laboratorium Profesor—sekarang menjadi tempat terlarang, dijauhi oleh warga karena berbagai kisah menyeramkan yang beredar. Warga desa enggan mendekati tempat itu, seolah ada aura gelap yang mengintai. Sementara itu, sebagian besar penduduk terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk bekerja rodi, menjalani hari-hari berat demi pembangunan rel kereta api yang tak kunjung usai.

Sementara itu, para orang tua yang anaknya menjadi korban penculikan masih dilanda kecemasan. Anak-anak mereka tidak bisa mengingat apa pun sejak kembali ke rumah, seolah semua ingatan mereka telah terhapus.

Pada hari kelima belas, sebuah tragedi terjadi. Edi, salah satu anak yang diculik, meninggal dunia secara tiba-tiba. Tak ada warga yang tahu apa penyebab kematiannya. Keesokan harinya, seorang anak korban penculikan lainnya juga meninggal. Kematian terus berlanjut, anak-anak yang menjadi korban penculikan meninggal satu per satu, hari demi hari.

Sebanyak 23 anak yang menjadi korban penculikan tewas dengan gejala yang hampir serupa. Mereka semua mengalami demam tinggi, kejang-kejang, dan tubuh mereka membesar seperti hendak pecah. Namun, saat ajal mendekat, tubuh mereka tiba-tiba mengecil, menjadi kaku dan kurus seperti tinggal tulang, seolah-olah tidak ada lemak sedikit pun tersisa di tubuh mereka.

Namun, ada satu anak yang berbeda: Erwin. Dia adalah satu-satunya korban penculikan yang masih hidup. Erwin tinggal di ujung desa, dekat sungai, bersama orang tuanya yang memilih menetap di sana karena ketenangan dan dekat dengan sumber mata pencaharian keluarga mereka sebagai nelayan.

Erwin adalah anak kedua dari pasangan Alihin dan Ema. Dia berusia enam belas tahun, dengan tinggi sekitar 164 cm. Rambutnya hitam dan rapi, dan meskipun tidak sekuat kakaknya, Erwin memiliki postur tubuh yang cukup baik. Ketika memakai pakaian yang terlalu besar, ia tampak kurus, namun wajahnya tetap tampan.

Bukin, kakaknya, adalah seorang pemuda tampan dengan tubuh kekar dan tinggi sekitar 174 cm. Bukin sering membantu ayahnya mencari ikan di sungai, dan dia sangat sayang pada adiknya, Erwin, yang saat ini kehilangan ingatan.

Kedua orang tua Erwin dan Bukin berusaha keras untuk membantu Erwin mengingat siapa dirinya.

"Erwin, itulah namamu," kata Bukin lembut. Kedua orang tuanya, Alihin dan Ema, berada di ruangan yang sama, menatap putra mereka dengan harapan.

"Erwin Namaku?" tanya Erwin dengan bingung.

"Ya, namamu Erwin. Kamu adalah anak kami. Dan ini kakakmu, Bukin," kata Ema dengan suara lembut namun penuh kesedihan.

Tiba-tiba, Erwin batuk keras. "Uhuk... uhuk... uhuk."

"Ambilkan air, Bu," pinta Alihin cemas.

Ema segera pergi mengambil air. Tak lama kemudian, ia kembali membawa segelas air dan menyerahkannya kepada Erwin. "Minum dulu, Nak," katanya, matanya berkaca-kaca melihat anaknya yang tidak dapat mengingat apa pun.

Erwin meminum air itu perlahan dan merasa sedikit lebih baik. "Ayah? Ibu? Kakak?" ucap Erwin, seraya merasakan sakit yang tiba-tiba menyerang kepalanya.

Tiba-tiba, ingatan-ingatan lama mulai kembali ke benaknya. Dia mengingat momen ketika ayah dan kakaknya mengajaknya berburu rusa di hutan. Dia mengingat saat ibunya menyuapinya makan dengan penuh kasih. Dia juga mengingat bagaimana Bukin mengajarinya melempar jaring di sungai, dan ketika ayahnya menggendongnya pulang dari hutan.

Pring Embrong: Awal PerjalananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang