4. Korek Api Mekanik

4 1 0
                                    

"Apakah tadi pohon-pohon ini sebesar ini?" tanya Bukin pada dirinya sendiri, merasa bahwa pohon-pohon di sekitarnya tampak lebih besar dari sebelumnya. "Ini pasti hanya khayalanku. Mungkin aku terlalu lelah dan lapar," jawabnya dalam benak, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Perutnya berbunyi kelaparan.  Ia juga tidak menyadari bahwa burung hantu yang diikutinya telah pergi.

Tanpa memperhatikan perubahan aneh di sekitarnya, Bukin melanjutkan perjalanannya. Ia telah berjalan cukup jauh ke dalam hutan, tetapi belum juga menemukan Erwin, adiknya.

"Grooooowwwww," suara perut Bukin yang kelaparan kembali terdengar. Sejak berburu dengan ayahnya, ia belum sempat makan ataupun beristirahat.

"Sebaiknya aku istirahat sebentar," pikir Bukin. Ia berhenti sejenak dan merogoh tas gendongnya untuk mengambil ubi rebus sebagai pengganjal perut.

"Ammm." Bukin mulai memakan ubi rebus itu. "Aku tidak boleh berlama-lama di sini," lanjutnya dalam benak, segera berdiri dan melanjutkan perjalanan.

"Perasaan apa ini?" pikirnya, merasakan sesuatu yang aneh namun tak bisa dijelaskan.

Bukin berjalan sambil terus mengunyah ubi rebus yang dipegangnya. Namun, langkahnya terhenti ketika ia tiba di suatu tempat yang tak tampak asing.

"Tempat ini? Bagaimana bisa? Aku tidak menuju ke sini," kata Bukin bingung, melihat sekelilingnya. "Di mana laboratoriumnya? Apakah laboratoriumnya dipindahkan? Tidak mungkin!" pikir Bukin dalam benaknya, menyadari bahwa tempat ini mirip dengan lokasi laboratorium Profesor Arend, tetapi tanpa bangunan laboratorium yang seharusnya ada. Yang tampak hanyalah ceruk besar dengan pohon-pohon besar menjulang.

Tiba-tiba, angin bertiup kencang, mematikan api obor yang dibawanya.

"Ini... seperti bukan hutan yang sama," pikir Bukin, merasa ada sesuatu yang janggal. Setelah angin kencang itu memadamkan obornya, ia merogoh korek api mekanik dari saku celana kanannya untuk menyalakan obornya kembali. Namun, sebelum ia sempat melakukannya, pandangannya tertuju pada sebuah cahaya yang muncul dari seberang ceruk.

"Apa itu?" tanyanya dalam benak, penasaran dengan cahaya yang bergerak mendekat. "Siapa yang malam-malam begini berjalan di hutan?" pikir Bukin.

Dari balik pepohonan, empat sosok berotot terlihat muncul, membawa obor di tangan mereka.

"Siapa mereka? Kenapa tubuh mereka penuh tato? Dan apa yang mereka lakukan di sini?" tanya Bukin dalam benak. Ia melihat empat pria bertato, hanya mengenakan celana dalam dari kulit hewan, berjalan turun ke dalam ceruk.

Bukin terus mengawasi mereka dari kejauhan. Keempat pria bertato itu turun ke dalam ceruk yang dalam, tetapi Bukin tidak bisa melihat apa yang mereka lakukan di sana karena tertutup oleh pohon-pohon besar.

10 menit kemudian.

Keempat pria bertato itu kembali naik ke atas ceruk. Salah satu dari mereka tampak menggendong seseorang.

"Apa yang mereka bawa? Apakah itu Erwin? Aku harus mengikuti mereka," pikir Bukin. Ia segera berlari mengitari ceruk, berusaha mengikuti empat pria bertato sambil tetap menjaga jarak.

"Mau ke mana mereka?" tanya Bukin dalam benak, terus mengikuti sambil bersembunyi di balik pepohonan. Keempat pria bertato itu menuruni bukit, menuju ke arah cahaya terang yang terlihat dari kejauhan.

"Cahaya apa itu? Apakah mereka menuju ke sana?" Bukin terkejut melihat cahaya besar seperti matahari yang bersinar terang dari bawah bukit.

Selama dua puluh menit, Bukin terus mengikuti keempat pria bertato tersebut.

"Cahaya ini? Terang sekali. Dari mana asalnya? Cahaya bulan?," Bukin menengadah ke atas, tetapi segera sadar bahwa cahaya ini bukan berasal dari bulan.

"Eh? Di mana mereka?" Bukin melihat sekelilingnya. Empat pria bertato itu menghilang begitu cepat. Bukin berlari lurus ke depan, mencoba mengejar mereka.

Pring Embrong: Awal PerjalananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang