SATU- RAHASIA

15 1 0
                                    

Langit jakarta sore itu mendung, musim penghujan sudah datang kurang lebih semiangguan yang lalu. Setiap sore rasanya sendu sekali, orang-orang yang belum terbiasa lupa membawa payung berlarian menghindari rintik hujan yg deras. Aku sedang termenung sendiri sambil melihat rintik hujan yang melebat.

Hari ini tepat sebulan lalu, kekacauan yang melibatkan semua rasa. Pernikahan yang sudah dipersiapkan dengan sangat baik berubah kesedihan yang sampai hari ini pun aku bingung bagaimana cara melupakannya.

aku perempuan 25 tahun yang terbiasa hidup tanpa beban, pekerjaannku baik, keluargaku amat sangat baik, teman-temanku baik, dan mantan calon suami yang selama  7 tahun yang ku kira juga baik. Aku nyatanya terhanyut, tertipu, tersakiti dan dibohongi. Perasaanku dihancurkan, keluargaku dipermalukan, harga diriku diinja, kisah kami baginya  hanyalah hari-hari manis tanpa perasaan apa-apa.

Aku yang tidak banyak mengenal kesedihan, merasa semua itu bukanlah hal yang harus aku dapatkan. Pertanyaan seperti "kenapa harus aku?" "Kenapa harus dia?" "Kenapa aku yang harus mengalaminya?"


"kita pulang sekarang git?" Lamunanku dengan hujan terpecah. Aku menoleh, ada Aras di sana, diam memperhatikanku yang sejak tadi hanya diam melihat tetes demi tetes air hujan yang deras.
"Lo dari kapan ada di sana ras" tanyaku
"Baru aja ko, kayanya kita pulang aja sekarang, tante ria udah nanyain lo terus" jawabnya.

Aku mengangguk lalu berjalan kearahnya, meraih bahu yang sama kuatnya denganku, bahkan mungkin lebih kuat dariku.

Aras, teman lelaki yang sejak dulu bilang
"Jangan sama rio git, sama gue aja" sambil tersenyum jahil.

"Ngelamuni apa dari tadi? Rio lagi?" Aras bertanya kala kami berdua menunggu lift terbuka.

"Hmm, susah banget lupanya. Gimana ya caranya?" Tanyaku serius sambil melihat pada aras.
Aras menghela nafas "lupanya karena masih sayang atau??"

"Karena benci banget" jawabku cepat.
Aras mengangguk "nanti juga sembuh sendiri, inget apa yg gue bilang"

"Sampe lo beneran lupa sama dia, inget rasa sakitnya bahkan bisa bikin lo ga mau lagi tau soal hidupnya" ucapku yang sudah hafal sekali dengan kalimatnya itu.

Aras tertawa, lalu kami melanjutkan langkah sambil sesekali bertukar canda.

***
"git, sabtu nanti lo sibuk ga?" Aras memecah hening sejak kami berdua melawan arus jalanan dengan derasnya hujan.

"Engga, gue di rumah" jawabku sambil menoleh kearahnya.

"Nanti gue ke rumah" lanjutnya lagi
"Biasanya juga lo ke rumah ras, ini juga pasti sebelum lo masuk rumah lo pasti ke rumah gue dulu"

Aras tertawa, "kali ini beda, pokoknya hari sabtu gue ke rumah" katanya sambil tersenyum.

Entah apa yang akan dilakukannya, karena setiap harinya aras memang pasti ke rumah. Antar jemput, basa basi yang sebenarnya sudah jadi hal yang biasa.

ENDless LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang