Satu minggu berlalu, gita sudah mulai mau sedikit bicara walau hanya seperlunya saja. Ia tidak lagi senang berkumpul bersama, tidak juga menghabiskan sabtu dan minggunya di rumah. Sementara aras, gila dibuatnya. Ia sadar, ini resiko gila yang telah dilakukannya.
Gita, perempuan itu bahkan tidak mau melihatnya sama sekali, berpapasan pun ia memalingkan mata, aras kehilangan senyum perempuan yang selama ini menghangatkan hatinya.
Mama gita juga tak kalah nelangsa, sudah beberapa hari tidak melakukan aktifitasnya sebagai pemilik yayasan, tidak menyapa ibu-ibu panti jompo yang dikelolanya seperti biasa. Sakitnya kambuh, bahkan kian menurun kesadarannya. Gita masih menemui mamanya di dalam kamar walau tak banyak bicara. Menemani, menyuapi, membersihkan, layaknya ia seperti biasa. Luka dihatinya tidak begitu diperdulikannya jika sudah tentang sang mama. Ia telaten mengurusi, gita seperti biasanya.
Sudah dua hari ini sang mama hanya tertidur tanpa makan apapun, sudah dibujik pun tidak bisa. Gita dan faris kakaknya sudah membujuk sang mama untuk pergi ke rumah sakit, tapi sang mama menolak.
Pagi ini, ketika gita hendak mengganti pakaian sang mama ia dikejutkan dengan dinginnya tubuh sang mama. Gita berteriak, memanggil siapapun yang ada di rumah itu.
Faris, bahkan aras yang tenga bersiap pun seketika berlari menghampirinya.
"Git, kenapa? ada apa?" Tanyanya
"Mama aras, mama" lalu tangisnya pecah. Aras mencoba memeriksa, tidak ada. Mama gita pergi tanpa memberi sepatah pun kata.***
Duka menyelimuti keluarga itu lagi, setelah 5 tahun kepergian sang papa gita tidak pernah menyangka mamanya akan pergi lima tahun setelahnya. Waktu yang sangat terlalu cepat. Banyak sekali luka dihatinya, tertumpuk sampai gita kebingungan dengan perasaan-perasaan dihatinya.
Aras selalu disampingnya menemani, kali ini gita tidak menolak aras ketika didekatnya, gita tidak punya lagi tenaga untuk menolak, bahkan tidak segan memeluk aras erat, pelukan hangat yang selama ini dibutuhkannya. Acara pemakaman berjalan lancar, dengan didampingi aras yang setia di sisinya, gita sekuat tenaga tegar menghantarkan sang mama pergi selamanya.
***
Malam yang dingin, Sagita yang malang begitulah pikirnya. Tubuhnya lemas bukan main, pikirannya kacau balau, hatinya remuk redam, kegelisahan silih berganti hadir, ia tidak bisa tenang. Walau banyak keluarga datang menguatkan, bahkan aras tidak pernah pergi dari sisinya tapi gita merasa ia sendirian, kosong, hampa.
Tidak ada lagi genggaman sang mama yang menguatkan. Ia duduk disofa dengan ramainya isi kepala tapi keheningan disekitarnya. Semua orang sudah beristrirahat karena hari ini sibuk sekali. Hanya ada Gita dan Aras di sana, genggaman tangan mereka tidak lepas, bahkan gita selalu dalam pelukannya.
"Aras, kayanya aku ga sanggup" ucapnya lirih "aku dibohogi berkali-kali bahkan mamaku pergi secepat ini" air matanya tak henti luruh.
"Gita, ada aku, ada mas faris, ada semuanya, kita ada buat kamu"
Gita menggeleng "aku sendirian, hatiku kosong, pikiranku kacau, buat melanjutkan hidup besok aja rasanya aku ga bisa"
Aras seketika mengeratkan peluknya, sakit sekali hatinya mendengar ucapan gita. Selama ini gita selalu mengandalkannya, lalu setelah pernikahan ini terjadi, apakah sekosong itu hati wanita yang ia cintai itu untuknya, bukan tentang seberapa besar sebenarnya, hanya saja, kekecewaan gita memang benar sedalam itu padanya.
"Tolong maafin aku git, maafin aku, terima aku lagi, aku ga bisa, aku sayang banget sama kamu, sedalam itu bahkan kamu pun ga akan pernah tahu sebesar apa cintaku, aku ada gita, selalu kalo itu buat kamu, jangan begini, kamu harus bahagia, hatiku sakit kamu begini" pelukannya mengerat, sampai gita tenggelam dalam dadanya yang besar. Aras menghujami kepala gita dengan ciuman yang banyak, ia tidak bisa lagi kehilangan gita, tidak akan pernah.
***
Gita harus bahagia biar Aras engga gila🤣
Makasih udah baca ya😇
KAMU SEDANG MEMBACA
ENDless LOVE
RomanceAku yang patah hati, disembuhkannya dengan cinta yang tidak pernah aku sangka akan didapatkan darinya. Ia lelaki dengan seribu caranya menyembuhkan luka, rasa takut, kebencian.