TUJUH- Pergi

2 0 0
                                    

Setelah beberapa saat ditangani dokter, Aras akhirnya bisa mendampingi gita yang belum sadarkan diri. Diusapnya perlahan pipi yang beberapa bulan ini jadi saksi betapa ia menderita.

"Aku masih lalai buat jaga kamu git, lagi-lagi aku hanya bisa minta maaf. Kenapa ya git, aku jadi merasa menjebak kamu, memaksa kebahagiaan kamu cuma dariku, aku terlalu percaya diri kalo aku bisa melakukan segalanya buat kamu, padahal menjadi tempat nyaman buatmu aja aku belum bisa" aras menghela nafasnya berat.

Ditatapnya terus wajah sayu gita yang memucat. Aras membatin, kenapa dirinya bisa jadi salah satu alasan sedihnya gita. Dulu saat gagal menikah, gita hanya akan selalu bersamanya, dihiburnya, dipeluknya, walau tak termiliki tapi mereka berdua bahagia.

"Ras, katanya kamu mau keluar kota. Dari tadi kantor udah berkali-kali hubungin kamu" mas faris mengingatkannya lagi.

"Ga bisa pergi aku mas, mana bisa"
"Aras, kantor itu tanggung jawab kamu. Urusan ini ga bisa digantiin, gita ada mas, ada ka rami, kami bisa gantian jagain gita selama kamu ga ada"

"Tetep aja, aku ga bisa. Ga akan bener kerjaanku. Kalo sehari dua hari mungkin bisa aku kejar. Tapi tiga minggu?" Aras menolak, mana bisa ia pergi dengan kondisi gita yang seperti ini.

"Justru itu ras, kamu mau mengabaikan proyek besar ini? Dokterkan udah bilang tadi, gita dehidrasi, setelah dapat obat dan penanganan yang baik pasti gita juga sembuh. Nanti mas yang kabarin kalo ada apa-apa"

Aras menatap gita nanar, berat sekali rasanya.  Apakah ia bisa? Setelah berpikir berat dan sangat lama juga dengan penuh kebimbangan. Akhirnya aras setuju untuk tetap pergi. Walau berat, ia percayakan istrinya pada mas faris.

"Git, aku pergi dulu. Kamu cepet sembuh. Ga apa tetep ga mau ngomong sama aku, yang penting kamu baik-baik aja. Itu udah cukupi banget buat aku" setelahnya, aras mencium kening gita lama, baru akan pergi ia sudah sangat merindukannya sekali.

"Aku titip gita ya mas"
"Dia addiku ras, aman"
Aras mengangguk. Ia sudah harus pergi. Dengan langkah yang berat Aras meninggalkan gita yang belum juga bangun dari tidurnya.

***

Pukul 11.20 wib Gita bangun, ia melihat sekeliling. Ada mas faris di sana.
"Git, udah bangun. Gimana? Udah enakan?" Mas faris menghampirinya.

Gita mengangguk. Dilihatnya lagi sekeliling.

"Aras ke luar kota, mas yang suruh" seakan tahu siapa yang sedang gita cari.

"Kamu kalo liat gimana tadi aras panik liat kamu kesakitan, mas jadi makin yakin sama Aras" sambil mengupas jeruk, mas faris mencoba mendekatkan lagi dua adikknya itu. Tapi gita masih diam.

"Kamu kalo masih mau marah gak apa git, tapi mas cuma mau kasih tau kamu aja. Mama yang minta Aras nikahin kamu" gita mulai tertarik, ia menoleh mulai mendengarkan.

"Aras juga sempet nolak, tapi akhirnya dia ngakuin kalo dia sayang sama kamu. Makanya dia terima resiko kamu benci dia kaya gini. Aras sampe bilang ke mama, kalo tante setuju, aras ga akan pernah mundur buat gita."

"Kalian kan temenan dari dulu, udah pernah punya pasangan masing-masing, tapi akhirnya sama-sama ga ada yang jadi. Kenapa kamu ga coba terima aras? Coba aja dulu, kamu paling tahu lah aras gimana, makanya mama lega ngelepas kamu sama Aras"

"Aku ga suka caranya"
"Mas bisa terima itu, wajar kamu kebingungan. Tapi kamu pasti ga sadar, kalo kamu meng-Iyakan waktu aras ngajak kamu nikah"

Gita terkejut? Dia? Mau? Setuju?

"Engga mas, aku ga pernah"
"Iya git" mas faris meyakinkan.
"Alam bawah sadar kamu mungkin yang menggerakanmu waktu itu, kamu kaget mama minta kamu menikah tiba-tiba, orang pertama yang kamu mintai tolong pun aras, waktu kamu liat dia dan meng-iyakan ajakannya, mas rasa aras ga sepenuhnya salah atas ini"

Gita hanya diam mendengarkan, mencoba mencerna setiap kejadian yang dialaminya akhir-akhir ini. Walau akhirnya kembali  membuat kepalanya pusing.

***

Satu minggu, dua minggu, sampailah di minggu ke tiga, aras sudah gelisah sejak kemarin. Besok ia akhirnya akan pulang. Pekerjaannya baru saja selesai. Tiga minggu tanpa pesan dari gita, hanya beberapa pesan dari mas faris yang meyakinkannya, gita baik-baik saja. Melihat handphonenya yang berisi pesan kepada gita yang tidak pernah dibalas aras harus menerima lagi, gita masih marah sekali padanya.

Hari ini melelahkan sekali, rasanya aras ingin cepat tidur dan besok bangun dalam keadaan yang fit.

***

Dering telfon membangunkan aras pagi itu. Tanpa melihat siapa yang menghubunginya pagi-pagi sekali aras menjawab malas-malas.
"Halo"
"Halo"
Aras melotot, dilihatnya layar handphone.
Gita?!
"Git? Ini aku ga salah kan? Kamu ga salah orang kan? Gitaaaa???" Aras histeris, ia tidak menyangka.
"Buka pintunya"
"Buka pintu? Pintu? Pintu apa? Hah? Bentar-bentar, gita ini kamu ga bercanda kan?" Aras buru-buru turun dari kasurnya yang nyaman. Berlari menuju pintu kamar hotelnya, sebelumnya ia menghela nafas dalam-dalam, takut-takut yang diharapkannya tidak benar adanya.

Dengan cepat ia membuka pintu,  dihadapannya sekarang ini. Ada wanita yang beberapa bulan ini mendiamkannya. Gita ada di depan kamarnya, aras lega bukan main.
"Wahhh, git aku cuma berharap kalo ini beneran bukan mimpi"

Senyumannya merekah sempurna, karena sepertinya setelah ini ia akan baik-baik saja dengan gita, hal itu sangat amat melegakannya.

Aras menarik gita, memeluknya seerat yang ia bisa.

***

ENDless LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang