Chapter IIV

3K 174 3
                                    

Happy reading ٩(๛ ˘ ³˘)۶♥

.❅。°❆·。*.❅· °。·☆.。.:*・°☆.。.:*・°☆.。.:*・°☆.

Erlangga perlahan membuka matanya, kesadaran mulai kembali setelah beberapa saat terlelap. Cahaya lampu di langit-langit kamar menyilaukan pandangannya, membuatnya harus memicingkan mata. Udara dingin dari pendingin ruangan terasa menusuk kulitnya, seolah-olah menambah rasa dingin yang menghujam dari dalam hatinya.

Dia mendapati dirinya berada di atas ranjang besar dengan sprei putih bersih, dikelilingi oleh furnitur mewah. Bau antiseptik samar tercium di udara. Rasa pusing menyerang kepala, namun dia mencoba bangun, tubuhnya terasa berat.

Suara pintu terbuka pelan membuyarkan lamunan Erlangga. Si kembar Leonard, Ardian dan Adrian, masuk dengan ekspresi datar. “Oh, kamu sudah sadar. Baguslah,” ucap Ardian tanpa nada emosional.

Erlangga menoleh ke arah mereka dengan pandangan lelah, namun tak membalas. Adrian, yang mengikuti di belakang, mengamati ruangan sejenak sebelum ikut berbicara. “Ayah menyuruh kami memastikan kamu baik-baik saja,” katanya singkat.

"Apanya yang bagus?" batin Erlangga, merasa kesal. Dia sudah cukup tertekan dengan segala yang terjadi, dan kehadiran dua saudara yang tidak terlalu ramah ini tidak membantu.

“Karena kamu sudah sadar, ayo turun. Ini sudah waktunya makan siang,” lanjut Ardian tanpa basa-basi, nada suaranya hampir terdengar seperti perintah.

Erlangga menggeleng pelan. “Tidak, aku akan tetap di sini.”

Ardian menghela napas panjang, sementara Adrian menatap tajam ke arah Erlangga, seolah menantang. “Hah, merepotkan. Apa kamu lebih suka cara yang kasar? Hmm?” ucap Adrian dengan nada dingin, matanya menatap lurus ke dalam mata Erlangga.

Erlangga menelan ludah, merasa sedikit terancam, namun dia berusaha mempertahankan ketenangannya. Tatapan Adrian begitu menusuk, membuat ketidaknyamanannya semakin membesar. Namun, Erlangga tak ingin terlihat lemah di hadapan mereka. Dia menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri sebelum menjawab.

"Cih, sudah kubilang aku tidak mau," katanya dengan tegas, meski hatinya sedikit bergetar.

Adrian tersenyum tipis, namun tidak ada kehangatan di sana. "Keras kepala sekali," gumamnya. "Aku sudah bersikap sopan, tapi sepertinya kamu tidak bisa menghargainya."

Ardian yang sejak tadi diam mulai bergerak maju, meletakkan tangannya di bahu Adrian untuk menenangkannya. "Cukup, Adrian," katanya dengan nada datar namun tegas. "Ini tidak akan membawa kita ke mana-mana."

Adrian mendengus, namun tak melawan. Dia menatap Erlangga sekali lagi sebelum berbalik ke arah pintu. "Kamu pikir ini pilihan? Sadar atau tidak, kamu akan turun," ucapnya sambil melangkah keluar.

Ardian menatap Erlangga sejenak, kemudian berkata dengan nada lebih tenang. “Jangan mempersulit diri, Erlangga. Kami hanya menjalankan perintah.” Setelah itu, dia juga keluar dari kamar, membiarkan Erlangga sendirian lagi dengan pikirannya.

Erlangga merasa tubuhnya gemetar sedikit, campuran dari kemarahan dan ketakutan. Namun dia tetap menahan diri, tak ingin menunjukkan kelemahan.

Setelah mereka keluar dan menutup kembali pintu, Erlangga langsung melempar bantalnya dengan keras ke arah pintu, rasa frustrasi dan kemarahan menumpuk di dalam dirinya."Sialan!" teriaknya. "Mereka pikir, siapa mereka!" Erlangga mendengus kesal, kedua tangannya mengepal erat di samping tubuhnya.

ErlanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang