Chapter XIII

1.8K 142 20
                                    

Malam semuanya,
Haii readers! Author up lagi nih dengan update terbaru. Semoga cerita kali ini semakin seru dan bikin penasaran. Jangan lupa untuk vote, komen, dan follow untuk terus mendapatkan update terbaru dari cerita ini! 😊

Happy reading ٩(๛ ˘ ³˘)۶♥

.❅。°❆·。*.❅· °。·☆.。.:*・°☆.。.:*・°☆.。.:*・°☆.

Di ruang utama mansion Leonard, suasana tegang namun penuh kontrol terlihat jelas. Beberapa anggota keluarga Leonard duduk berjajar di sofa empuk yang menghadap sebuah layar besar. Di layar itu, rekaman CCTV dari berbagai sudut hutan yang mengelilingi mansion tersorot, menampilkan Erlangga yang berjalan di antara pepohonan lebat, nampak sedikit kebingungan namun tetap waspada.

Setiap sudut wilayah Leonard, terutama hutan, dipenuhi CCTV tersembunyi yang memantau gerakan siapa pun yang berani mendekati. Mereka melihat Erlangga bergerak hati-hati, seakan tahu dia sedang diawasi, tapi tidak sepenuhnya menyadari betapa dekatnya mata-mata teknologi yang mengikuti setiap langkahnya.

Kendrick duduk paling depan, ekspresinya dingin namun matanya tidak pernah lepas dari layar. Di sebelahnya, Damien duduk dengan senyum kecil di bibirnya, menikmati setiap detik momen ini.

"Dia tahu kita menonton," kata Damien perlahan, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.

"Biarkan dia menikmati waktunya. Sebentar lagi, dia akan belajar siapa yang memegang kendali di sini," balas Kendrick dengan nada datar, penuh wibawa.

Di ruangan itu, suasana semakin intens saat Nathalia menatap tajam ke arah suster Lily. Gadis berusia dua puluhan itu tampak berantakan, tubuhnya penuh luka dan lebam yang semakin terlihat jelas di bawah cahaya ruangan. Dua bodyguard di belakangnya tanpa ampun terus menyiksa, mencambuk punggungnya dengan keras. Namun, suster Lily hanya terdiam, menahan setiap rasa sakit yang mendera tubuhnya.

"Dan bagaimana dengan wanita itu?" tanya Nathalia, suaranya dingin dan tak berperasaan, seolah-olah dia berbicara tentang sesuatu yang tak bernyawa. Tatapannya tetap tajam menatap gadis yang sudah tak berdaya itu.

Sebastian menoleh perlahan, lalu tersenyum tipis, hampir seperti menikmati penderitaan yang disaksikannya. "Tidak perlu peduli dengan dia. Biarkan saja gadis itu menikmati hukumannya karena sudah berani bermain-main dengan kita," jawabnya santai, seakan hal itu tak lebih dari urusan sepele.

Di sisi lain, Esther yang menyaksikan semuanya dengan mata berbinar, tersenyum lebar. "Kakak sangat kejam, tapi keren, hehehe..." Dia tertawa kecil, kemudian Sebastian dengan lembut mengusap kepala adiknya, sebuah gerakan yang terasa kontras dengan kekejaman yang baru saja dia tunjukkan.

Di dekat mereka, Victor melirik Aidan, dengan ekspresi sinis dan nada yang penuh dengan sindiran. "Aku merasa rugi dan iri padamu, Aidan. Aku pasti akan sangat terhibur dengan rencana pelarian Erlangga yang dibantu suster itu," katanya, mengarahkan tatapannya pada Aidan yang hanya terdiam, ekspresinya datar dan sulit terbaca. Dia adalah satu-satunya yang tahu dan melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana suster Lily membantu Erlangga melarikan diri.

Namun, Aidan tetap bungkam, meski di balik ketenangannya, ada badai yang siap meledak kapan saja.

Ardian duduk dengan tangan terlipat, menggeleng pelan. “Anak itu benar-benar keras kepala,” gumamnya dengan nada jengkel.

Adrian, yang duduk di sebelahnya, mendengus kesal. “Cih, kau baru menyadarinya? Sejak pertama kali dia datang, aku sudah kesal dengan tingkahnya yang dramatis. Membuat semuanya lebih sulit dari yang seharusnya.”

Nathan, yang mendengar percakapan itu, tertawa lepas. “Hahahaha... Dia sama saja seperti dirimu, Adrian. Kau kan kakaknya, jadi wajar kalau kalian punya sifat yang mirip, hahahaha!”

ErlanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang