Kesialan yang menimpaku hari ini tak berhenti sampai pada masalah Rani tadi pagi, bahkan saat pekerjaanku di Bandung selesai dan kami hendak pulang, mobil yang dikendarai supir pribadiku tiba-tiba mogok dan tak bisa hidup.
Alhasil, aku pun harus menunggu mobil derek untuk membawa mobilku ke bengkel terdekat.
Mencoba untuk menyewa taksi, anehnya, Mei bilang, ponselku dan ponsel miliknya sama-sama tertinggal di mobil, hingga kami pun tak bisa menghubungi siapa pun saat itu.
Ingin rasanya aku memarahi Mei atas kecerobohannya hanya saja, hal itu tak bisa kulakukan mengingat bahwa Mei adalah teman dekatku.
Inilah salah satu alasan mengapa aku tak menjadikan Mei sebagai sekretarisku sesuai pekerjaan yang dia inginkan saat melamar ke perusahaanku. Semua itu dikarenakan aku yang memang menghindari hal-hal seperti saat ini.
Semua itu aku lakukan demi menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang selama ini kukenal, itu saja.
Sayangnya, hari ini aku tak punya pilihan dengan memilih Mei menggantikan posisi Rani karena aku yang memang membutuhkannya.
Tanpa pernah aku tahu, jika Mei termasuk orang yang ceroboh dalam bekerja.
"Cari taksi aja, gue tunggu di sini," perintahku pada Mei dengan nada bicara yang mulai ketus karena kesal.
Saat itu, aku menunggu di sebuah kafe sementara Mei berjalan kaki ke arah lampu merah untuk mencari taksi, akan tetapi, sudah hampir dua jam aku menunggu sampai hari gelap, Mei tak kunjung kembali.
Hingga pada akhirnya, aku pun terpaksa menyusul Mei ke lampu merah dan mendapati Mei dalam keadaan linglung di halte seorang diri.
Bahkan saat aku mencoba menegurnya, Mei seperti tak mengenaliku.
"Mei, Mei, lo kenapa, Mei? Ini gue, Rama," kataku mengguncang bahu Mei, hingga akhirnya kedua bola mata Mei terbelalak seperti orang kaget saat tatapannya kembali tertuju lurus ke arahku.
"Ya ampun," pekik Mei sambil memperhatikan sekeliling, hingga kemudian dia berteriak, "dompet gue? Tas gue? Mana dompet gue?" Katanya mencari-cari sesuatu, hingga aku pun sadar bahwa tas tangan yang Mei bawa memang tadi kini tak ada di tangannya.
Tas itu raib entah kemana, dan anehnya Mei sama sekali tak mengingat apa yang terjadi padanya di halte tadi, ada kemungkinan, Mei dihipnotis, meski itu hanya sekadar dugaan ku saja.
"Gue cuma inget, kalau tadi gue nggak sendirian di sini, Ram. Ada ibu-ibu bawa anak kecil yang duduk duluan di halte ini pas gue dateng buat nunggu taksi," cerita Mei yang malah menangis. "Gimana ini, dompet gue? Mana semua ada di situ lagi, KTP gue, ATM, NPWP, ya ampun, apes banget sih hidup gue," keluh Mei yang terus menangis, hingga menarik perhatian beberapa orang yang lewat di depan halte.
Berhubung hari sudah larut malam, sementara kami tak bisa menghubungi siapa-siapa, akhirnya aku pun memutuskan untuk menginap di hotel terdekat. Hitung-hitung melepas penat dan mengistirahatkan tubuh. Jika besok mobil sudah beres, kami bisa langsung kembali ke Jakarta.
"Ini kunci kamar lo, kamar kita sebelahan," kataku seraya memberikan kunci kamar hotel yang sudah kupesan pada Mei.
"Sekali lagi sorry banget ya, Ram. Gara-gara gue, lo jadi ikutan susah deh," kata Mei lagi dengan wajah nelangsa penuh penyesalan.
Mencoba tersenyum, aku hanya berkata, "nggak apa-apa, asal jangan terulang lagi aja hal kayak gini. Besok-besok, lo harus lebih teliti lagi kalau lagi kerja."
Malam itu, meski aku bisa tidur nyaman di kamar hotel, tapi aku tak bisa tidur nyenyak karena pikiranku terus tertuju pada Hana di rumah.
Hana sedang sakit dan aku tak bisa menghubunginya bahkan untuk memberitahu bahwa malam ini aku tidak bisa pulang.
Semoga saja Hana tidak mengkhawatirkan keadaanku.
*****
Keesokan paginya, aku terbangun dalam keadaan tubuhku yang terasa remuk, dibarengi sakit kepala hebat yang menyerang.
Bahkan mataku sampai berkunang-kunang.
Entah apa yang terjadi padaku, aku merasa ada hal aneh yang terjadi tadi malam, hanya saja aku tak bisa mengingatnya dengan baik.
Berusaha berjalan ke kamar mandi, aku langsung merendam tubuhku di bathtub, setelah aku menyiram kepala dengan air dingin.
Untungnya, setelah beberapa menit berendam dan merelaksasi tubuh di kamar mandi hotel, akhirnya sakit kepala yang menyerangku bisa sedikit mereda.
Saat aku sudah rapi dengan jas kantor yang kemarin aku kenakan, ternyata aku sudah ditunggu oleh Mei serta supir pribadiku di lobi hotel. Mobil ku sudah dibetulkan dan kami siap pulang kembali ke Jakarta pagi ini.
Di sepanjang perjalanan pulang, aku merasa ada hal aneh yang terjadi pada Mei karena dia terus saja diam di sepanjang perjalanan, bahkan saat aku bicara bahwa aku akan mengambil cuti sampai besok, Mei yang biasanya cerewet hanya diam dan menanggapi ucapanku dengan anggukan kecil di kepala.
Bisa jadi, Mei masih memikirkan dompetnya yang hilang kemarin, makanya dia jadi bersikap seperti itu pagi ini.
*****
Selepas mengantar Mei pulang ke kostannya, aku pun pulang ke kediamanku.
Dengan rasa rindu yang membuncah, aku berjalan cepat memasuki kediaman utama rumah mewah yang selama ini kuhuni. Langkahku panjang dan tanpa jeda.
Rasanya sudah tak sabar ingin bertemu dengan istriku tercinta, karena seharian saja tak bertemu dengan Hana, aku merasa waktu berlalu sangat lama, seperti seabad.
Menoleh ke kanan dan ke kiri, aku mendapati keadaan rumah sepi pagi ini.
Mungkin Karin dan Kevin sudah berangkat ke kampus dan Mami pergi arisan bersama teman-teman sosialitanya, hingga sampai di lantai dua, tepat saat aku hendak membuka pintu kamarku, aku mendengar suara percakapan dua orang manusia yang kuyakini bahwa itu adalah suara Hana, istriku dan suara...
Kevin?
"Ayolah Mba Hana ku yang cantik, jangan sok jual mahal. Jadi lo bener-bener nggak takut nih, video ini tersebar di sosial media?" Ucap Kevin dengan nada mengancam.
Entah video apa yang Kevin maksud, aku sendiri tidak tahu pasti. Namun yang jelas, aku yakin, Kevin pasti berniat tidak baik pada Hana di dalam sana.
Tak ingin gegabah, aku memilih bertahan di depan pintu untuk mendengar lebih jauh isi percakapan Kevin dengan istriku.
"Lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan, Kevin, aku tidak perduli," ucap Hana dengan suaranya yang bernada tegas.
"Kalau sampai nanti lo dihujat netizen gimana? Lo nggak takut kehilangan semua kemewahan yang selama ini lo nikmatin di sini?" Ucap Kevin lagi.
"Pergi dari kamarku sekarang atau aku akan teriak!" Ancam Hana kemudian, namun sepertinya hal itu tak sama sekali menggoyahkan tujuan Kevin.
"Lo udah nggak pakai apa-apa, kan dibalik handuk mungil lo ini? Ayo dong, sebentar aja, nggak sampai sepuluh menit deh, gue usahain keluar--"
"Brengsek!"
Aku mendengar Hana menampar Kevin disusul dengan suara jeritan Hana hingga aku pun langsung mengambil tindakan dengan membuka pintu dengan gerakan cepat dan membantingnya.
Sontak, tatapan kedua manusia di dalam sana mengarah ke arahku, dan mereka sama-sama terkejut.
*****
Jangan lupa like dan komen kalau suka ❤️🥰🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI NOMOR 1 (End)
RomanceNamaku Rama. Aku baru saja menikah dengan seorang wanita cantik jelita yang kuyakin memiliki perangai baik dan santun. Dia wanita pertama yang berhasil membuat hatiku bergetar dan jantungku berdebar keras. Aku benar-benar telah jatuh cinta, pada Han...