5. MELAWAN KEBENCIAN DENGAN KASIH SAYANG

4 2 0
                                    

Hari ini, aku pulang sedikit terlambat dan sialnya, kepulanganku sore ini justru disambut dengan keributan di rumah antara Hana dengan Mamiku.

"Ada apa ini?" Tanyaku dengan kening berlipat, tak habis pikir dengan kelakuan mereka yang seperti anak kecil.

"Ram, Rama, istrimu ini benar-benar kurang ajar, Ram. Masa dia menuduh Karin masuk ke kamarmu dan mencuri perhiasannya--"

"Bukan hanya perhiasanku yang hilang, tapi gaun pemberian ibuku pun ikut hilang di lemari, Mas," sambung Hana dengan nada tegas.

"Di mana Karin sekarang?" Tanyaku yang berusaha untuk tidak terpancing emosi. Selelah apa pun diriku, sekacau apa pun perasaanku, aku selalu berusaha untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin tanpa mengedepankan emosi.

"Karin sedang pergi bersama temannya," jawab Mami cepat.

"Mana Pak Sholeh?" Tanyaku mencari satpam di rumah yang bekerja hari ini dan bertanggung jawab atas seluruh kamera CCTV yang beroperasi di setiap sudut rumah ini.

Meski di kamar ku tak ada CCTV, tapi di depan pintu kamar ada satu CCTV yang memantau dua puluh empat jam.

"Percuma memeriksa CCTV karena Pak Sholeh tadi pagi baru saja memberitahu kalau sebagian CCTV di rumah ini rusak, termasuk CCTV di depan kamarmu," jawab Mami lagi tanpa berani menatap ke arahku.

Sampai pada titik ini, aku tahu siapa yang salah dan siapa yang benar di sini, itulah sebabnya, aku menarik tangan Hana agar mengikuti ku ke kamar.

"Lepas! Lepasin aku!" Ucap Hana meronta dengan melepas paksa tangannya dari genggamanku begitu kami sudah berada di dalam kamar. "Kenapa kamu malah bawa aku ke sini sih, Mas? Aku cuma mau meminta kembali apa yang menjadi hak ku, itu aja!" Omel Hana lagi dengan wajahnya yang merah padam menahan amarah.

Aku menepuk sofa kosong di sisiku, memberi isyarat agar Hana ikut duduk bersamaku.

"Kalau marah, baiknya duduk. Kalau belum reda juga marahnya, sini tiduran di pangkuan aku," ucapku mencoba mencairkan amarah Hana, akan tetapi, Hana malah semakin terlihat kesal hingga dia melengos sambil melipat kedua tangannya di dada. "Kalau memang perhiasanmu hilang, nanti aku ganti saja dengan yang baru ya? Kebetulan weekend besok aku tidak ada acara, bagaimana kalau kita jalan-jalan?"

"Aku tidak mau jalan-jalan! Aku cuma mau perhiasan dan gaun milikku kembali, titik! Aku yakin, adikmu Karin yang sudah mencurinya saat aku dan Mbok Runi berada di kebun belakang tadi," Ucap Hana masih dengan nada ketus.

Mengesah berat, aku pun bangkit mendekati Hana, membuat dia jadi menggeser tubuhnya menjauh hingga memepet ke dinding.

"Kamu mau apa?" Ucap Hana setengah membentak, wajahnya kelihatan mulai panik.

Aku menghentikan langkah saat tubuhku dan tubuh Hana sudah berdiri berhadapan dengan jarak kami yang terbilang sangat dekat. Saat itu, Hana tampak waspada dengan segala gerak-gerikku.

"Aku percaya padamu. Tapi, aku juga tidak akan menegur Karin jika tak ada bukti. Aku hanya tak ingin menimbulkan keributan lebih jauh di rumah ini, apalagi jika aku harus melawan Mami, aku benar-benar tidak bisa," jelasku pada Hana, berharap Hana akan mengerti.

"Jika benar terbukti adikmu yang mencuri bagaimana? Apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Hana dengan nada bicaranya yang terdengar menantang.

"Aku akan menyuruh Karin meminta maaf," jawabku singkat.

"Hanya itu saja?"

"Ya, memangnya apalagi?"

Hana tak menjawab setelahnya dan kembali membuang muka, seolah menghindari tatapanku.

SUAMI NOMOR 1 (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang