Duniaku kembali berguncang hebat, ketika aku harus kembali kehilangan orang yang sangat aku cintai untuk selama-lamanya.
Sepulangnya dari luar negeri dua hari lalu, ayah langsung dilarikan ke rumah sakit karena penyakit lambungnya kumat.
Mungkin efek makanan yang tidak biasa dia konsumsi saat di luar membuat lambung ayahku kembali bermasalah.
Setibanya di rumah sakit, kondisi ayah sudah tak sadarkan diri setelah sebelumnya dia mengalami muntah darah di rumah, hingga dokter mengatakan bahwa ayahku mengalami kebocoran lambung.
Tindakan operasi hari itu langsung dilakukan, akan tetapi, akibat adanya penyakit komplikasi serius di tubuh ayah, hal itu membuat ayahku tak sanggup bertahan setelah operasi selesai.
Pada akhirnya, Ayahku pun menghembuskan napasnya yang terakhir malam tadi di rumah sakit dan siang ini, jenazahnya langsung dikebumikan di pemakaman umum yang letaknya tak jauh dari tempat tinggal kami.
Semua ini terjadi begitu cepat karena sebelum keberangkatannya ke Malaysia, kondisi kesehatan Ayah tampak baik-baik saja.
Bahkan, aku tak sama sekali menyangka jika hal ini terjadi pada ayahku.
"Mas, ayo kita pulang? Dari semalam kamu belum istirahat," ucap Hana seraya menepuk bahuku. Hana memayungiku dengan payung hitam yang dia pegang. Teriknya cahaya matahari siang ini memang terasa membakar kulit. Tapi hatiku yang terasa begitu sakit sebab kepergian ayah membuat ku tak sama sekali merasa kepanasan.
Batu nisan bertuliskan nama ayah yang terdapat di hadapanku membuat lupa dengan segala hal termasuk rasa lelah dan lapar.
Tak perduli orang lain mengatakan aku cengeng karena aku yang tak berhenti menangis sejak tadi malam.
Kepergian ayah benar-benar menjadi pukulan terberat bagiku saat ini. Bahkan di saat aku belum mampu mewujudkan keinginannya.
Aku benar-benar merasa berdosa.
Tidak berguna.
"Mas," Suara Hana kembali terdengar memanggilku, disusul dengan suara yang berasal dari perut Hana.
Aku menoleh dan tersenyum getir, saat aku mengingat bahwa Hana pun belum makan sejak tadi malam saat kami mendapat kabar dari rumah sakit mengenai keadaan ayah yang kritis.
Bangkit dari posisiku yang berjongkok di sisi makam ayah, aku pun mengajak Hana berlalu dari makam.
Jika bukan karena Hana, mungkin aku akan tetap bertahan di sisi pusara ayah, entah sampai kapan. Mungkin, sampai aku benar-benar bisa melepas kepergiannya dengan ikhlas.
"Kita cari makan ya, kamu mau makan apa?" Tanyaku pada Hana saat kami sedang berjalan menuju parkiran mobil.
"Terserah kamu aja, Mas. Asal makan sama kamu, semua pasti ku makan," jawab Hana dengan senyuman tipisnya. Hana mengulurkan tangan dan menyeka air mata yang menjejak di kedua pipiku. Perhatian kecil yang sanggup menghangatkan sanubariku. Membuat kesedihanku sedikit berkurang berkat Hana.
"Kita makan di tempat biasa aja, ya?"
Hana pun mengangguk setuju dan saat aku hendak membawa mobil, Hana meminta untuk menyetir mobil karena dia tahu kondisiku sedang tidak baik-baik saja. Meski setelahnya, aku tetap kekeuh untuk mengambil alih kemudi, karena aku tak ingin menyusahkan Hana.
Setibanya di restoran khas betawi tempat biasa aku dan Hana singgah di hari weekend, karena hari masih siang, jadi suasana resto terlihat sangat sepi. Sangat berbeda jika kami datang ke sini di malam minggu. Sudah pasti, kami harus menunggu meja kosong terlebih dahulu karena pengunjung yang selalu membludak.
Begitu mendapat meja dengan view bagus untuk kami tempati, lalu Hana memesankan makanan untuk kami berdua, tanpa pernah kusangka, Hana malah mengambil posisi duduk tepat di sisiku, bukan di hadapanku seperti yang biasa dia lakukan sebelumnya.
"Tumben, duduknya mau deket aku," kataku dengan senyuman tipis.
"Iya, dong, kan kamu suami aku, jadi wajarkan kalau aku maunya deket-deket kamu terus?"
Mungkin, jika suasana hatiku sedang bagus, aku pasti sudah melayang mendengar Hana berkata seperti itu. Hanya saja, karena suasana berkabung yang masih kental aku rasakan di hatiku saat ini, aku jadi tak merasa begitu bahagia atas ucapan yang Hana lontarkan tadi.
Lagi pula, aku tak yakin Hana berbicara seperti itu memang tulus dari hatinya atau hanya sekadar usahanya membuatku terhibur, entahlah.
Begitu makanan kami tiba, Hana lantas menggabungkan makanan di piring dengan makanan di piringnya, lalu menarik piring penuh makanan itu ke hadapannya.
"Mumpung sepi, sini, aku suapin kamu," kata Hana disertai senyum menggemaskan khasnya.
Bodohnya aku, seperti terhipnotis, aku malah manut-manut saja saat Hana menyuapi aku dengan tangannya yang sebelumnya sudah dia cuci bersih.
Seperti sebuah sugesti saat aku merasakan rasa makanan yang masuk ke dalam mulutku dari tangan Hana, terasa jauh lebih nikmat dari biasanya.
Itulah sebabnya, aku makan dengan porsi yang sangat banyak, melebihi porsiku sebelumnya sampai aku meminta tambah nasi pada pelayan resto.
"Kalau setiap hari makannya disuapin sama kamu, alamat berat badanku naik berkali-kali lipat nanti," ujarku saat kami baru saja selesai makan.
"Makanya harus diimbangi sama olahraga dong, biar perut six pack kamu nggak ngegelambir," kata Hana yang disusul suara tawa kecilnya. Tak sampai di situ, Hana bahkan sudah berani menyentuh perutku dengan ujung jari telunjuknya, membuatku merasa geli hingga menangkap jemari nakalnya.
"Kita pulang sekarang yuk, aku ngantuk," kataku setelah berhasil mengecup lembut jemari Hana, tanpa Hana menolak dan malah tersipu malu. Detik itu juga, aku sadar bahwasanya Hana sudah tak lagi sungkan kusentuh lebih jauh.
Apakah, jika aku melakukan hal yang lebih dari ini, Hana masih tetap menolak?
Sesampainya di rumah dan memasuki kamar, aku beralasan kepalaku pusing, agar Hana bersedia memijat kepalaku.
Untuk pertama kalinya, aku tiduran dengan kepalaku yang berada di atas pangkuan Hana dengan tangan lembut Hana yang memijat kepalaku.
Rasanya sangat nyaman, namun anehnya, rasa kantuk yang awalnya aku rasakan malah sirna terganti dengan perasaan lain yang selama ini berusaha kutahan.
Kedekatanku dengan Hana saat ini sukses membuat darahku berdesir. Meningkatkan detak jantung ku hingga berpacu semakin cepat di luar batas wajar.
Terlebih saat kini tangan lembut Hana mulai menelusuri wajahku dan mengelus pipiku. Entah kenapa, otak waras ku mulai teracuni oleh hal-hal kotor.
"Ikhlaskan kepergian Ayah supaya Ayah bisa tenang di alam sana ya, Mas," ucap Hana kemudian dengan suara merdunya yang mendayu-dayu.
"Dulu, aku juga butuh waktu lama untuk bisa mengikhlaskan kepergian Pasha. Tapi, setelah aku menjalani hidup bersamamu, aku merasa, kehadiranmu perlahan mampu membuatku untuk benar-benar ikhlas melepas kepergian Pasha."
Aku berusaha mendengarkan baik-baik cerita itu meski otakku yang sudah terkontaminasi seolah tak mampu diajak kompromi.
"Sampai detik ini, aku memang masih belum yakin dengan apa yang aku rasakan terhadapmu, tapi, aku terus berusaha untuk bisa menerima dirimu, Mas. Bantu aku, ya?"
Sepersekian detik kami saling tatap dan melempar senyum, hingga akhirnya aku berhasil mengumpulkan keberanian untuk bangkit dan mendekatkan wajahku pada Hana, menarik sedikit dagunya hingga bibir Hana dan bibirku pun bersentuhan dan menempel sempurna.
Tak ada perlawanan apa pun saat itu, dan Hana malah ikut memejamkan mata, hingga aku pun memiliki keberanian tambahan untuk berbuat lebih jauh.
Hari itu, untuk pertama kalinya, aku dan Hana bercumbu layaknya sepasang suami istri pada umumnya.
Satu hal baru yang aku rasakan dalam hidupku sebagai seorang lelaki normal saat tubuh kami sudah benar-benar menyatu seutuhnya.
Saling bertukar napas dan peluh secara bergantian.
"Hana, aku mencintaimu," gumamku dalam lelah saat aktifitas kami selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI NOMOR 1 (End)
RomanceNamaku Rama. Aku baru saja menikah dengan seorang wanita cantik jelita yang kuyakin memiliki perangai baik dan santun. Dia wanita pertama yang berhasil membuat hatiku bergetar dan jantungku berdebar keras. Aku benar-benar telah jatuh cinta, pada Han...