BAB 1 : DIHUKUM LAGI

90 16 45
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


SATU. Dua. Satu. Dua. Satu. Dua.

Langkah lari kaki gadis berambut lurus panjang yang diikat kucir kuda di tepian lapangan basket mulai terasa melambat. Peluh menetes-netes dari ujung pelipis. Seragam putih abu-abu yang tadi pagi masih wangi dan licin seperti baru keluar dari tempat laundry, kini juga sudah lecek dan terkontaminasi bau matahari. Dan, bagian yang paling menyebalkan dari semuanya adalah, ketiaknya basah! Bahkan, sampai merembes ke seragam putihnya!

"Luna Almahyra!" Seorang bapak-bapak berbadan tambun di dekat tiang bendera berteriak sambil membawa pentungan, membuat gadis itu otomatis menoleh ke asal suara. "Jangan meleng! Terus lari!" Kemudian, ia meniup keras peluit yang terkalung di leher hingga memekakkan telinga.

Luna menghela napasnya yang sudah senin-kamis, lantas menjawab, "Ya, Pak!"

Gadis itu sedikit mempercepat larinya. Iya, sedikit, karena sebenarnya ia sudah tidak kuat lagi. Apalagi, di bawah terik matahari yang sudah mulai menyengat ini. Bahkan, Luna juga lupa sudah berapa kali memutari lapangan basket yang kini sedang digunakan siswa dari kelas lain berolahraga itu. Ia berhenti berhitung sejak putaran kelima.

Hukuman yang awalnya hanya dua kali putaran, kini beranak menjadi 15 kali. Bukan tanpa sebab. Semenjak kepindahan Luna ke sekolah ini hampir tiga minggu yang lalu, ia memang selalu datang terlambat. Tidak tanggung-tanggung. Ia selalu tiba di sekolah ketika jam keempat sudah hampir berakhir.

'Kamu pikir ini sekolahan bapakmu? Sekolah ini punya aturan! Bel masuk pukul 7.15! Bisa-bisanya kamu datang hampir jam istirahat pertama! Jangan mentang-mentang murid baru, bisa berbuat seenaknya! Mulai sekarang, setiap kamu terlambat, hukuman lari akan bertambah satu kali putaran!'

Kira-kira, begitulah murka Pak Javas, guru tatib yang bertubuh tambun itu, tempo hari. Dan, hari ini adalah hari keempat belas Luna datang terlambat.

Sebenarnya, bukan mau Luna juga bangun kesiangan seperti itu. Ia juga mau bisa hidup normal seperti teman-temannya yang lain. Namun, betapapun ia mencoba, entah itu menyetel alarm dengan volume yang bisa bikin bangunan jebol sekalipun, tetap saja gagal. Bahkan, seandainya ada gempa, sepertinya bangun-bangun ia sudah beda alam.

Hal ini terkadang membuatnya bertanya-tanya. Bagaimana cara ibunya dulu bisa menghadapi 'kengeboannya' ini setiap pagi?

Ah, teringat sosok ibu, ulu hatinya ngilu. Andai saja ibunya masih menemaninya hingga hari ini ....

Luna tiba di titik awal lari. Ia berhenti dengan napas terengah-engah. Mendadak, perutnya melilit. Gadis itu baru ingat bahwa ia belum sempat sarapan sebelum berangkat. Pandangannya juga tiba-tiba mulai berkunang-kunang.

Suara teriakan histeris dari tengah lapangan membuat gadis itu mengalihkan perhatian. Ia tidak yakin apa yang sedang terjadi. Namun, pada detik berikutnya, sesuatu yang besar dan keras menghantam wajahnya. Ia oleng ke belakang. Lalu, gelap.

***

Nyeri pada hidung adalah hal pertama yang Luna rasakan ketika kesadarannya mulai kembali. Ia meringis sembari mulai meraba-raba indra pembau yang tidak terlalu mancung itu, lalu menemukan segulung tisu kecil di salah satu lubang hidung, lantas menariknya.

Gadis itu membuka mata. Sesaat ia mengira dirinya sudah mati, melihat betapa putih langit-langit yang ada di hadapannya. Namun, saat mulai memindai ruangan sekali lagi, ia sadar, ia masih hidup.

Luna mulai beranjak bangkit dari posisi tidurnya meski harus dengan susah payah. Kepalanya masih pusing akibat hantaman entah-benda-apa-tadi. Tepat di samping bed, terpasang sebuah cermin. Ia segera mengamati bentuk wajahnya yang sudah tertempel plester di pelipis, hidung, dan pipi.

"Duh, gimana posisi jatuhnya, sih, ini tadi? Sampai mimisan segala," gumamnya kesal. "Lagian, siapa juga coba, yang nyebabin gue kayak gini, tuh? Nggak lihat ada orang apa."

"Normalnya." Tiba-tiba suara bariton di bed samping yang terhalang tirai ikut menyahut. Luna menoleh hingga hampir terlonjak saking kagetnya. Ia pikir tidak ada orang selain dirinya di ruang kesehatan itu. "Orang, kalau lihat ada bola basket yang terbang ke arahnya itu, menghindar. Bukannya melongo kayak orang bego."

Luna menaikkan alis. Apa tadi dia bilang? Orang ... bego?

Kaki jenjang laki-laki yang mengenakan celana olahraga panjang itu mulai bergerak turun. Tirai yang membatasi kedua bed ditarik minggir hingga menimbulkan suara krek berisik sesaat.

Ya. Luna memang sempat melongo. Pasalnya, wajah pemilik suara bariton yang cukup seksi itu, wajah yang muncul dari balik tirai itu, wajah pemilik kaki jenjang itu, sama sekali tidak manusiawi.

Amat-sangat-tampan. Alisnya tebal. Matanya agak sipit. Hidungnya bangir. Bibirnya cukup berisi. Pipinya agak tirus. Rahangnya tajam. Satu lagi, tatapannya, mematikan. Macam vampir-vampir di film-film luar negeri.

"Udah nggak apa-apa, kan, lo?" Suara yang terkesan angkuh itu akhirnya mengembalikan kesadaran Luna yang sempat mengambang di antah-berantah. "Masih hidup, kan? Ya udah."

Hah? Luna terbelalak. Fantasinya tentang sosok tampan tadi langsung terpatahkan seketika. Omongan laki-laki itu sepedas rujak karet dua.

Sosok jangkung itu berdiri, lantas mulai melenggang menuju pintu keluar begitu saja dengan sebelah tangan dimasukkan ke saku celana.

Saat hampir tiba di ambang pintu, ia ditabrak seorang gadis yang tampaknya habis lari marathon, tapi sambil teriak-teriak, "Lunaa! Lunaa! Lo nggak apa-ap—"

Teriakannya mendadak kicep ketika sosok yang ditabraknya itu dengan sigap meraih bahu gadis itu. Si laki-laki menahannya sesaat, mengembalikannya tegak berdiri, lantas kembali berlalu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Sejurus kemudian, gadis itu malah merosot ke lantai.

Luna langsung melompat dari bed dan segera menghampiri teman sebangkunya.

"Medida!" pekik Luna kaget. Ia takut temannya itu kenapa-kenapa karena sampai merosot begitu. Namun, saat menangkap ke arah mana pandangan gadis berambut sebahu itu tertuju, ia mendesah lega. Setidaknya Medida tidak terluka atau apa pun. Ia hanya terpesona dengan laki-laki itu. Itu saja.

"Lu ...," bisik Medida, masih menatap punggung sosok itu yang terus menjauh. "Jantung gue nggak aman, Lu."

Luna meringis, lantas bergumam, "Asal dia nggak buka suara, kayaknya jantung cewek di sekolah ini bakal nggak aman semua, sih."

Medida mulai mengalihkan pandangan ke arah Luna yang berjongkok di sampingnya. "Pegangin gue, Lu. Kalau nggak, kayaknya gue bakal ngejar dia, deh."

"Gigit, nggak?"

Masih dengan tampang sok seriusnya, Medida menjawab, "Boleh."

Luna cekikikan.

"Gue seriu--" Gadis berwajah bulat itu tiba-tiba mendelik, lantas menangkup wajah Luna tanpa permisi. "Ya Tuhan, Luna! Lo luka semua! Lo nggak kenapa-kenapa? Gue dengar lo tadi pingsan! Kenapa bisa jadi kayak begini, sih?"

Luna hanya bisa menyengir. Kalaupun tahu, tidak mungkin ia bertanya-tanya kenapa bisa sampai ada cowok karet dua itu di samping bed-nya tadi. Pakai acara ngomong kosong segala, lagi.

Gadis itu memindai arah ke mana wujud laki-laki itu tadi pergi. Namun, rupanya, bayangannya sudah lenyap.

Siapa, sih, dia?

***

WAKE-UP CALLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang