BAB 3 :RUMAH DAN AYAH

35 6 11
                                    

DI bawah cahaya lampu meja belajar, Luna menekuri sebuah kartu nama yang dipungutnya tadi siang di sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

DI bawah cahaya lampu meja belajar, Luna menekuri sebuah kartu nama yang dipungutnya tadi siang di sekolah. Jika diingat-ingat lagi, sepertinya kertas ini terjatuh dari saku gadis yang tidak sengaja ditabraknya.

Meskipun bentuk desainnya meragukan—ada gambar matahari besar yang baru terbit, langit cerah dengan dua awan besar, sebuah rumah lengkap dengan satu pohon tinggi di sampingnya, dan nomor telepon di pojok kiri bawah beserta nama pemilik kartu—sepulang sekolah tadi Medida sudah mengonfirmasi bahwa kartu ini benar-benar kartu bisnis Felix. Iya, benar-benar Felix yang itu.

Astaga. Maksud Luna, apakah tidak ada desain lain? Yang sedikit lebih waras dan serius, begitu?

Kalau saja gadis itu tidak membaca tulisan paling besar di tengah-tengah yang berbunyi 'Wake-Up Call', mungkin saja ia mengira bahwa kartu itu adalah kartu member playground anak PAUD atau malah undangan ulang tahun anak TK.

Luna geleng-geleng, lantas menghela napas. Ini bukan saatnya ia mengomentari selera desain orang lain. Ia memiliki situasi lebih serius sekarang.

Ia sudah berjanji kepada Bu Amara untuk mengubah kebiasaan terlambatnya. Jadi, sepertinya, hanya inilah satu-satunya solusi agar tujuannya tercapai.

Tapi! Ini Felix, Sist!

Felix yang katanya melempar bola ke arahnya itu! Felix yang katanya menggendongnya ala-ala bridal style itu! Felix yang mulutnya sepedas rujak karet dua itu!

Hanya membayangkan akan berinteraksi lebih jauh dengan manusia semacam itu saja, perut Luna sudah melilit. Riwayat pertemuan mereka hari ini rasanya tidak bisa dikatakan sebagai pertemuan yang baik.

Ah, apa nggak ada orang lain selain dia yang punya jasa layanan macam begini?

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Luna meraih ponsel ber-casing kuning menyala yang tergeletak di antara tumpukan buku, lantas menekan tombol-tombol angka pada layar. Setelah selesai, ia menyimpannya dengan nama 'Wake-Up Call'.

Deru mobil terdengar dari luar rumah. Luna menyibak gorden jendela yang memang langsung mengarah ke teras. Benar saja. Mobil SUV ayahnya yang sudah empat hari tidak pulang sedang mencari posisi parkir.

Gadis berpiama hitam itu bergegas keluar kamar dan membukakan pintu.

"Ayah pulang?" sambut Luna sembari mencium takzim punggung tangan pria berusia empat puluh tahunan itu. Aroma pengharum mobil rasanya langsung menyeruak indra pembau Luna. Apa selama tidak pulang, ayahnya tidur di mobil?

Pria berkemeja biru muda dengan celana kain hitam itu tampak lelah, tetapi berusaha tersenyum. Ia mengangguk. "Kamu lagi belajar? Gimana sekolah?"

"Nggak gimana-gimana, kok, Yah. Baik-baik aja." Bohong. Sekolahnya sedang tidak baik-baik saja. Sang ayah terancam dipanggil ke sekolah karena kasus keterlambatannya. Namun, Luna sama sekali tidak cerita. "Ayah mau dibikinin teh atau kopi?"

"Nggak usah. Tadi udah ngopi bareng rekan kerja Ayah. Ayah mau mandi aja terus tidur," tolak sang ayah lembut sembari menepuk pucuk kepala Luna, kemudian segera berlalu.

Gadis itu memperhatikan punggung ayahnya yang menuju kamar mandi. Ketika bayangan ayahnya sudah tidak terlihat lagi, ia kembali masuk kamar.

Rumah yang ia tempati sekarang tidak terasa seperti rumah. Lebih seperti kuburan. Terlampau sepi. Dulu, saat ibunya masih ada, rumah terasa hangat karena selalu ada canda tawa. Kini, sepeninggal sang ibu, segalanya langsung tampak suram. Ayahnya yang terlihat begitu terpukul, jadi sering tidak pulang ke rumah seusai bekerja. Ia pernah bilang, "Pulang ke rumah membuat Ayah semakin merindukan ibumu."

Padahal, mereka pindah kemari juga kemauan sang ayah. Pria berkumis tipis itu, jika tetap tinggal di rumah sebelumnya, katanya terbayang-bayang wajah ibu Luna yang kesakitan. Maka dari itu, ia membujuk putri semata wayangnya untuk kembali ke rumah lama mereka di pinggiran kota ini. Rumah masa kecil Luna. Rumah penuh kenangan manis bersama sang ibu saat Luna masih berusia sekitar 6-7 tahunan. Siapa tahu bisa sedikit mengobati kerinduan, mungkin maksud ayahnya demikian.

Namun, ternyata, kembali ke rumah ini tampaknya malah makin menyayat luka pria itu.

Segala sesuatu yang manis, jika tidak bisa digapai, memang makin membuat menderita, bukan?

Itulah kenapa, Luna harus berubah. Ia tidak mau, ayahnya yang sudah menderita, harus terbebani dengan masalahnya di sekolah.

Gadis yang rambutnya tergerai itu kembali ke meja belajar, meraih kembali ponsel, dan mengeklik foto profil nomor kontak yang tadi disimpannya.

Sepertinya memang tidak ada jalan lain. Ia akan memanfaatkan layanan ini. Terlepas siapa yang memprakarsainya.

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, membuat Luna terlonjak kaget hingga menjatuhkan ponselnya.

"Ya, Yah?" respons Luna.

Pintu berayun membuka sedikit. Kepala sang ayah menyembul dari baliknya.

"Ayah tadi bawa ayam krispi kalau-kalau Luna belum makan," ujar pria yang sudah berganti pakaian dengan piama itu. "Ayah taruh di meja makan."

"Oh, iya, Yah. Makasih."

Pintu berayun hampir menutup. Mendengar nama makanan, mendadak perutnya berbunyi. Lapar. Ia memang belum makan sejak sore tadi.

Tiba-tiba kepala ayahnya kembali menyembul. Pria yang ubannya sudah muncul di beberapa sisi rambutnya itu tersenyum lembut. "Oh, Ayah juga sudah transfer uang bulanan buat saku Luna."

"Hng, makasih, Yah." Luna menjawab dengan menarik kedua sudut bibir.

Akhirnya, kali ini pintu benar-benar menutup.

Ketika gadis itu hendak beranjak menuju meja makan, ia melirik ponsel. Seketika matanya mendelik.

Telepon sudah tersambung selama 15 detik!

Foto profil yang menampilkan seorang laki-laki berkacamata dengan membuka halaman pertengahan sebuah buku bersampul cokelat-tapi-tidak-dibaca—malah menatap lurus ke arah kamera, seolah menyadari bahwa tampangnya memang rupawan—kini terpampang di layar ponsel Luna. Di bawah foto, nama kontak yang diketiknya beberapa saat lalu juga tertera jelas.

Gadis itu, meski agak ragu, akhirnya menempelkan benda pipih itu di telinga.

"H-halo ...."

***

WAKE-UP CALLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang