FELIX tersenyum tipis. Kedua mata lebarnya sama sekali tidak beralih dari layar ponsel yang menampilkan sebuah foto profil WhatsApp. Setiap kali ibu jari dan telunjuknya mencubit layar untuk memperbesar gambar, ia akan menelengkan kepala sejenak, lantas kembali menarik kedua sudut bibirnya malu-malu.
Laki-laki berkaus putih oversize yang kini tengah merebah di atas kasur berseprai hitam kotak-kotak itu tidak menduga jantungnya akan berpacu secepat ini. Apalagi, ketika mengobrol cukup lama dengan gadis yang ada di foto itu meski hanya via telepon tadi. Rasanya, ia seperti hilang kontrol. Bahkan, laki-laki berkacamata itu tidak sadar tempo bicaranya jadi terlalu cepat. Sampai-sampai dibilang nge-rap.
Benar. Itu adalah foto Luna.
Iya, Luna yang terhantam bola basket Felix tadi pagi.
Sebenarnya, sudah sejak lama, Felix memperhatikannya. Bahkan, semenjak hari pertama gadis berwajah manis itu menginjakkan kaki di gerbang sekolah.
Pagi itu, hampir tiga minggu yang lalu, Felix sedang berusaha menelepon salah satu pelanggan Wake-Up Call yang tidak kunjung kelihatan batang hidungnya, padahal Pak Robi--penjaga sekolah--sudah bersiap-siap menarik pintu gerbang.
Ketika Felix merasa bahwa pelanggan yang merupakan kakak kelasnya ini tidak bisa diharapkan kedatangannya, terdengar teriakan sopran seseorang dari arah belakang.
"Pak! Tunggu!"
Felix yang sudah hampir melangkah melewati gerbang, spontan ikut menoleh dan langsung membeku di tempat.
Seorang gadis berambut lurus panjang tergerai sedang berlari hingga tampaknya hampir kehabisan napas. Entah kenapa, pada penglihatan Felix, tiba-tiba rasanya waktu berjalan begitu lambat. Gadis itu tampak bersinar, seolah-olah dikelilingi ribuan pendar cahaya menyilaukan bak gambar-gambar dalam webtoon. Mungkin karena sinar matahari pagi yang menyorot di balik tubuhnya? Atau, mungkin karena mata Felix yang bermasalah?
Ia tidak tahu.
Yang ia tahu, pada detik sesudahnya, laki-laki itu malah menunduk, pura-pura membetulkan tali sepatu tepat di rel gerbang.
"Lhah-dalah!" seru Pak Robi kaget ketika mendapati Felix berada tepat di belakangnya saat menggeser gerbang seraya berjalan mundur. "Ngagetin orang aja, Le! Cepetan masuk. Udah mau bel."
"Iya, Pak, sebentar," sahut Felix, makin melama-lamakan aksinya. Ia menunggu gadis itu lewat. "Nyangkut ini, tali sepatunya."
Pak Robi yang berdarah Jawa itu terus mengomel. Takut kena marah Pak Javas, katanya.
Namun, Felix tidak begitu mendengarkan. Ekor matanya malah melirik ke arah datangnya sepatu hitam dengan lis merah muda yang makin mendekat.
Tiga ... dua ... satu.
Gadis itu berhasil melewati gerbang. Felix segera bangkit berdiri.
"Udah, Pak!" serunya puas.
Pak Robi manggut-manggut, lantas mulai menyorot ke arah sepatu Felix. Pria setengah baya itu mendelik.
"Apanya yang nyangkut, Le?! Sepatumu, kan, nggak ada talinya!"
Felix menyengir. Ia lantas membungkuk perlahan. "Masuk dulu, ya, Pak. Udah bel." Kemudian, kabur. Lari tunggang langgang.
Kaki Felix terhenti ketika ia kembali melihat sosok gadis itu yang tampaknya tengah mencari sesuatu. Wajahnya yang kecil tampak begitu semringah ketika sepertinya ia menemukan apa yang dicari. Ternyata ruang guru. Tanpa sadar, laki-laki itu menarik sebelah sudut bibirnya.
Pantas saja Felix belum pernah melihat gadis itu sebelumnya. Rupanya, ia adalah murid baru.
Lalu, keesokan harinya, ketika Felix tengah mengamati barisan para siswa yang datang terlambat--ini sudah menjadi kebiasaannya sejak ia memulai bisnis Wake-Up Call untuk mendapatkan pelanggan baru--gadis itu juga ada di sana.
Pandangannya baru beralih ketika mendapatkan tepukan dari seseorang pada bahunya.
"Lagi cari mangsa?" terka Adam sembari menyedot yoghurt kesukaannya. Ia juga ikut mengarahkan bidikan matanya ke arah beberapa siswa di bawah tiang bendera itu.
"Calon pelanggan." Felix meralat.
Enak saja pelanggannya disamakan dengan mangsa. Memangnya dirinya predator?
Tiba-tiba lagi, bahunya disiku pelan. Felix praktis menoleh. Adam mengedikkan dagu ke arah lapangan.
"Cewek yang paling kiri, anak baru di kelas gue," ucap laki-laki itu sambil tersenyum lebar. "Namanya Luna. Luna Almahyra. Namanya bagus, kan? Dan ... kayaknya, gue suka sama dia. Love at the first sight. Can you believe that?" Lalu, ia tertawa.
Felix membatu. Gadis yang ditunjuk Adam ternyata adalah gadis yang ditemuinya kemarin di gerbang sekolah.
Namun, laki-laki itu pura-pura tidak peduli. Ia hanya menyahut, "Ah ...." Lantas, manggut-manggut kikuk.
Padahal, perasaannya campur aduk.
Adam adalah sahabat Felix semenjak duduk di bangku sekolah dasar. Keduanya sangat akur bahkan hampir tidak pernah berkelahi. Jadi, Felix merasa sangatlah tidak dewasa kalau akhirnya mereka berdua jadi bentrok karena menyukai gadis yang sama. Maka dari itu, sebelum rasanya makin tumbuh, ia lebih memilih mundur, bahkan sebelum maju selangkah pun.
Pada hari-hari selanjutnya, gadis bernama Luna itu makin sering terlihat di barisan para siswa terlambat. Felix ingin membantu, tetapi sepertinya tidak etis kalau dirinya tiba-tiba menawarkan diri. Apalagi, Adam makin sering bercerita betapa menggemaskannya Luna di kelas. Ah, situasi ini benar-benar membuat Felix bimbang.
Kemudian, pagi itu. Pagi ketika Luna terhantam bola basketnya.
Tentu saja, saat itu, Felix yang hendak shoot bola ke ring tiba-tiba mendapati Luna yang hampir oleng setelah lari dua belas putaran. Ya, bahkan Felix menghitung putaran larinya. Karena konsentrasinya terpecah, Hakam berusaha merebut bola itu. Namun, ternyata, Felix tetap melepaskan bolanya. Alih-alih menuju ring, bola itu malah melayang ke arah Luna.
Felix spontan berlari ke arah Luna yang sudah tergeletak di paving. Karena panik, ia segera menggendong gadis itu menuju ruang kesehatan. Ia juga yang menempel plester di beberapa bagian wajah Luna yang tampak tergores. Saat gadis itu tiba-tiba mimisan, Felix yang gemetar saat mencari tisu, menyenggol beberapa peralatan di rak hingga berantakan.
Entah kenapa, ia sepanik ini.
Untunglah, gadis itu cepat sadar. Saat Luna tampak mulai menggerak-gerakkan bulu matanya, Felix cepat-cepat pura-pura berbaring di bed samping. Lalu, yang terjadi kemudian, lagi-lagi ia hilang kontrol atas mulutnya.
Ia mengucapkan kata-kata yang sepertinya cukup pedas untuk didengar.
Kemudian, siang ini, ketika Hakam memanggilnya dari teras kelas, Felix juga mendapati Luna berada di sana. Di tangannya juga terdapat sebuah kertas yang tidak begitu asing.
Benar. Itu kartu namanya.
Itulah kenapa, semenjak pulang dari sekolah, Felix tidak henti-hentinya menatap ponsel. Siapa tahu, Luna benar-benar menghubunginya.
Lalu, itu benar terjadi.
Karena selama ini Adam juga tidak tahu siapa saja pelanggan Wake-Up Call Felix, kali ini, juga tidak apa-apa, kan, tidak cerita kalau Luna adalah salah satu pelanggannya sekarang?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
WAKE-UP CALL
Teen Fiction"Oke. Pertama-tama, selamat datang di layanan 'Wake-Up Call'. Kenalin. Gue Felix, yang bakal bangunin lo selama seminggu ke depan. Kenapa cuma seminggu? Karena gue nggak mau lo manfaatin terus-terusan. Harapan gue, setelah perjanjian kerja sama ini...