"SIAPA?"
Luna yang baru saja hendak menyuapkan sesendok penuh soto ayam ke mulutnya, mendadak menggantungkan tangannya di udara. Sejurus kemudian, ia meletakkan kembali sendok tidak bersalah itu ke mangkuk.
"Maksud lo ... yang lempar bola basket ke arah gue tadi ... beneran cowok itu? Cowok yang tadi ada di UKS?" Gadis itu menatap lurus Medida yang tengah menyeruput es teh di kursi depannya.
Medida mengangguk. Ia meletakkan gelas plastiknya di meja. "Tadi, gue sempat tanya Helina, teman gue yang tadi ada di TKP juga pas kejadian. Dia sekelas sama Felix, by the way. Mereka, kan, tadi lagi ada jam pelajaran olahraga gitu. Nah, si Felix ini ceritanya mau shoot bola ke ring. Eh, tiba-tiba si Hakam ini nyerobot, dong? Felix hilang balance, akhirnya bolanya meleset. Terus, kena lo, deh."
Gadis bermata lebar itu membungkuk, kemudian memelankan suara. "Kata dia, pas tahu lo jatuh, Felix langsung lari nyamperin. Terus, padahal nggak ada yang nyuruh, dia langsung gendong lo ala-ala bridal style gitu ke UKS. Dia tipe-tipe yang bertanggung jawab banget gitu, nggak, sih? Bahkan, dia nungguin sampai lo bangun, loh." Medida mengerang, lalu menangkup sendiri kedua pipinya. "Uuh, andai aja gue yang kena bola! Sooo sweet ...."
"Heh!" sahut Luna kaget. "Bisa-bisanya lo pingin kena hantam bola?"
"Kalau nantinya berakhir di gendongan Felix, mah, pingsan tiap hari juga mau gue." Medida meraih kembali es tehnya sambil tersipu.
Melihat pemandangan di hadapannya ini, Luna hanya bisa geleng-geleng kepala. Oke, laki-laki yang rupanya bernama Felix itu ia akui memang ganteng. Tapi, angkuh. Songong. Bicaranya juga ketus. Yah, meskipun katanya ia juga yang gendong sampai UKS ... tetap saja ....
Ah, tiba-tiba Luna merasa tidak enak karena belum sempat berterima kasih. Tapi! Gimana mau bilang? Orang, waktu itu, dia langsung neloyor pergi aja, gitu ....
"Felix, tuh, nggak cuma wajahnya doang yang perfect." Medida melanjutkan sambil bertopang dagu. "Bahkan, otaknya pun encer parah. Dia nggak pernah sekalipun turun ranking. Dia juga aktif organisasi. Pernah disuruh mencalonkan diri jadi ketua OSIS, tapi dia nolak. Ah, padahal, kan, dia pantes banget buat posisi itu, tuh."
Luna yang mendengarkan sambil meneruskan sarapannya hanya bisa menyengir. Ia sudah tidak berniat ikut membahas si Felix-Felix itu. Perutnya lebih penting sekarang. Gara-gara harus berlarian sepanjang pagi tanpa isi apa pun, rasanya ia benar-benar sudah berada di ambang kematian.
Tepat ketika Luna menuntaskan suapan terakhirnya, ia merasa bahunya ditepuk-tepuk agresif.
"Ap-ap-apa, sih?" respons Luna.
"F-Fel-Felix, Lu. Felix." Medida tergagap sembari mengarahkan pandangannya ke gerbang kantin. Luna praktis ikut menoleh.
Tiba-tiba sebelah alisnya terangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
WAKE-UP CALL
Teen Fiction"Oke. Pertama-tama, selamat datang di layanan 'Wake-Up Call'. Kenalin. Gue Felix, yang bakal bangunin lo selama seminggu ke depan. Kenapa cuma seminggu? Karena gue nggak mau lo manfaatin terus-terusan. Harapan gue, setelah perjanjian kerja sama ini...