46. Rindu

11 1 0
                                    

"Iya, gue iri sama Agata. Puas, lo?"

Kalimat itu terus berputar layaknya kaset rusak di dalam kepala Lili.

Dirinya tak menyangka jika pernyataannya akan di bawa serius oleh gadis itu.

Lili duduk di sebuah kursi cafe shop. Ia sedang berada di Brizzy saat ini.

Semenjak kejadian dirinya dan teman-temannya kepergok, mereka sangat jarang untuk kesini lagi. Bahkan ketika ia datang pun, salah satu barista disana menanyakan kabar teman-temannya.

Lili hanya bisa menunjukan senyumnya, dan menjawab jika semuanya baik-baik saja.

Jelas jika itu semua hanya kepalsuan belaka. Mereka sedang tidak baik-baik saja.

Lili menempati meja yang dimana biasanya selalu ia tempati beramai-ramai, kini hanya ia sendiri yang tersisa.

Ia memesan ice americano, dengan dimsum mentai kesukaannya. Biasanya jika bersama teman-temannya, pasti dengan paling semangat ia memesan sebotol minuman alkohol. Tapi kali ini, rasanya aneh jika ia memesan itu seorang diri.

Lili memperhatikan sekitar. Tempat ini masih selalu sama. Tak ada yang berubah. Hanya saja, penghuni meja ini yang hilang entah kemana.

Tangannya meraih rokok elektronik yang selalu menggantung di lehernya. Menghisapnya dalam-dalam dan memainkan asap di mulutnya.

Tak ada lagi yang mengatainya 'sok iye' lagi karna ia bermain-main dengan asap. Biasanya Anna yang paling pertama meneriaki dirinya.

Omong-omong soal Anna, gadis itu benar-benar berhasil membuat semuanya terdiam. Bahkan keramaian di kantin pun rasanya ikut lenyap akibat perkataannya.

Setelah kalimat tersebut keluar dari mulut Anna, ia langsung meninggalkan kantin begitu saja tanpa pamit. Tak ada yang meneriakinya. Semuanya sibuk tercengang.

Lili mengumpat dengan sendirinya. Kesal, marah, sedih, dan kecewa, semuanya menjadi satu.

Jika jadi begini hasilnya, sumpah demi apapun Lili lebih memilih bertengkar dengan Feli dibanding temannya yang terpecah bela seperti ini.

Lili benci perpecahan, Lili tak suka semuanya bertengkar.

Lagi-lagi ia menghisap rokok elektriknya. Kali ini ia benar-benar meresapi buliran asap itu didalam mulutnya. Hingga tak ada lagi asap yang keluar dari mulutnya.

Semoga ini segera berakhir, dan Gwencana, akan kembali seperti sebelumnya.

*****

Suara detingan sendok menyatu dengan suara obrolan yang diciptakan oleh keluarga kecil yang sedang menyantap makan malamnya.

Lucia meminum segelas teh hangatnya dengan beberapa teguk. Lalu ia kembali memakan makanannya.

"Gimana, teman-teman kamu, dek? Kalian masih berantem, kah?" tanya Nareswari, membuka topik obrolan baru.

Keceriaan di wajahnya sontak menghilang. Pergerakan tangannya pun ikut berhenti.

"Emang, mereka ada apa, ma?" tanya Jatmiko.

"Katanya kemarin mereka bertengkar. Ya, biasa, lah, dad, masalah anak muda." Nareswari tersenyum geli. Wanita itu menuangkan air putih ke gelas suaminya.

Sedangkan Hatmiko hanya mengangguk mengerti. Lalu meminum air yang baru saja dituangkan istrinya.

"Terus sekarang gimana, dek?"

Lucia mengangkat kedua bahunya. Ia pun bingung mau menjawab bagaimana.

"Masalahnya makin merembet kemana-mana." Lucia memutar-mutar garpunya di atas piring. "Mereka masih terpengaruh sama egonya masing-masing."

Jatmiko mengusap mulutnya dengan tisu. Pria itu sudah menyelesaikan makannya. Lantas mengusap rambut putri sematawayangnya itu dengan sayang.

"It's okay, dek. Coba kamu jelaskan ke teman-temanmu perlahan. Ajak ngobrol mereka. Bawa mereka ke tempat yang nyaman."

Lucia menggeleng dengan kuat. "Ngga bisa, dad. Sekarang, masalahnya lebih besar dari yang kemarin!"

"Emang ada masalah apa lagi, sih, dek?" Nareswari bertanya. Tangannya membenarkan kaca mata yang melorot dari matanya.

"Anna iri sama kehidupannya Agata," jawab Lucia dengan lirih. Rasanya untuk mengucapkan kalimat itu saja sangat berat baginya.

Kedua orang tuanya jelas terkejut. Bagaimana bisa seorang Anna yang terlihat sangat dekat dengan Agata, bisa mengucapkan hal tersebut?

"Kok gitu, dek? Kenapa tiba-tiba bilang gitu?" Nareswari semakin menghujani anaknya dengan berbagai pertanyaan.

Dirinya bukan hanya sekedar penasaran belaka. Namun, Nareswari juga peduli dengan teman-teman anaknya. Ia sudah menganggap mereka seperti anaknya.

Rumah terasa ramai jika ke enam teman anaknya itu datang. Bahkan Nareswari akan dengan senang hati memasakannya makanan yang enak.

Dan ketika mendengar kabar jika mereka sedang bertengkar, hati Nareswari ikut sedih.

"Ngga tau. Awalnya Lili yang mancing Anna, eh, ngga taunya beneran diladenin sama Anna." Lucia bercerita.

"Adek capek banget. Kangen sama Gwencana yang dulu," lirihnya sambil menyendarkan tubuh seluruhnya pada punggu kursi.

Jatmiko mengarahkan bola matanya ke ujung. Seperti sedang berpikir mencari solusi.

"Kalau kaya gitu, biarin aja mereka mendingin dulu. Jangan di paksain buat menyatu kagi. Kalau udah gini, pasti ngga ada yang mau ngalah." Jatmiko memberikan saran.

Wajah Lucia masih terlihat lesu. Ia bingung harus bersikap seperti apa. Ia juga tak mau jika temannya akan begini terus. Tapi, jika dia menunggu semuanya mencair, sampai kapan?

Disini ia tak ingin membela siapapun. Pasti Lucia juga yakin jika teman-temannya juga berperilaku sama dengannya. Jadi yang bisa ia lakukan hanya bisa diam dan menunggu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 05 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SUNNY 7Where stories live. Discover now