43. Satu per satu

14 1 0
                                    

Ruangan yang gelap, sunyi, dan hanya ditemani oleh suara detingan jam dinding, menemani diri seorang gadis yang terduduk di atas lantai yang dingin.

Ditemani oleh sebatang rokok yang berada di tangannya, dan sebotol minuman alkohol disampingnya.

Ia menyesap dalam-dalam nikotin di sela-sela jemarinya. Asap mengebul mengisi seluruh sudut dikamarnya.

Ia sudah mengunci rapat-rapat pintu kamarnya. Tak ada yang bisa mengganggunya barang satu orang pun.

Tangannya yang kosong mengambil sebotol alkohol disampingnya. Ia meneguknya hingga kandas. Bullshit dengan otaknya yang perlahan mulai rusak. Agata, hanya ingin bebas.

Ponselnya berdering. Namun gadis itu sangat enggan untuk mengangkatnya. Ia berusaha untuk tak peduli dengan deringan itu.

Agata kembali membuka sebotol alkohol yang masih tersegel. Entah sudah berapa botol yang sudah gadis itu konsumsi. Badannya mulai tak terasa. Semua bayang-bayang kejadian tadi sore masih terus menghantui kepalanya.

Ponselnya kembali berdering. Sudah yang ke 7 kalinya ponselnya itu berbunyi. Tapi tak ada sekalipun niatan Agata untuk mengangkatnya.

"Siapa, sih, bangsat?!" Gadis itu bergumam tidak jelas. Kesadarannya mulai hilang perlahan.

Tak lama dari itu, suara ketukan pintu terdengar sangat brutal. Disusul dengan suara teriakan memanggil namanya dengan nada panik.

Dengan sisa-sisa kesadarannya, gadis itu berusaha untuk berdiri. Tubuhnya tertatih. Ruangan yang gelap menambah kesusahan Agata untuk meraih gagang pintu kamarnya.

Ia memutar kunci dengan perlahan. Tak lama setelah itu, pintu langsung dibuka dengan kencang. Membuat tubuhnya yang linlung hampir saja terjatuh. Untungnya tangan orang itu segera menarik tubuh Agata agar gadis itu tak jatuh.

"Anjing, Ta!!" umpat orang itu.

Agata mengerjap-ngerjapkan matanya, lantaran orang itu segera menyalakan kembali lampu kamarnya. Ia berusaha mengatur cahaya yang masuk kedalam matanya.

"Sadar, lo, anjing!!" umpatnya sekali lagi sambil menepuk-nepuk pipi Agata dengan sedikit kencang.

Karena tak kuat menahan tubuh Agata, akhirnya orang itu menggeretnya dan disandarkan dipinggir kasur.

"Siapa?" gumamnya.

"Lili, bego!!" umpatnyaa lagi.

Iya, orang yang berkali-kali menelpon Agata adalah Lili. Gadis itu sedari tadi berusaha untuk menghubungi Agata. Namun tak satu pun sama sekali ia mendapat balasan.

"Lili? Ngapain, lo, dek, kesini?" tanyanya dengan setengah sadar. Meski begitu, gadis itu tetap menyempatkan diri untuk menyesap rokok yang masih setia ditangannya.

Lili yang kesal pun lantas merebut rokok itu dari tangan Agata dan menginjaknya dengan sepatu miliknya. Biarkan lantai kamar Agata menjadi kotor, ia tak peduli.

Dia kembali mengunci pintu kamar Agata. Takut jika tiba-tiba Winda datang dan mengetahui perilaku anak gilanya ini.

Tadi memang Lili menerobos masuk ke dalam rumah Agata. Karna memang sudah berulang kali ia memencet bel dan mengetuk pintu, tapi tak ada satu pun yang membukakan pintu.

Untung saja pintunya tidak terkunci. Jadi Lili bisa langsung masuk tanpa repot harus memanjat dinding rumah gadis itu.

Kejadian tadi sore juga membuat pikiran Lili tak tenang. Kenal bertahun-tahun dengan Agata, membuat Lili sangat mengerti perilaku gadis itu. Ia yakin sekali, jika setelah itu Agata akan merusak dirinya sendiri.

Dan terbukti, bukan? Kini Agata sudah terkapar dengan penampilan yang sangat berantakan.

Lili mengambil segelas air yang berada di nakas samping tempat tidur gadis itu. Lalu dengan tega ia menyiramkannya tepat ke arah wajah Agata. Berniat untuk menyadarkan gadis itu.

Namun anehnya Agata tak protes sama sekali tubuhnya di siram air seperti ini dengan Lili. Sebenarnya ia masih memiliki kesadaran. Tak sepenuhnya tubuhnya dikendalikan oleh pengaruh alkohol. Hanya sedikit.

"Sadar! Lo pikir dengan cara lo jadi gila kaya gini, semua masalah lo selesai?!" teriak Lili tepat dihadapan wajah Agata.

"Sadar goblok! Kemana otak pintar lo selama ini? Cuma lo buat pajangan doang, hah?!" omelnya lagi.

Gadis itu membanting tas selempang mahalnya dengan keras di atas kasur Agata dengan sangat keras. Kini ia ikut terduduk disamping tubuh Agata.

"Bangsat, lo, Ta!" umpatnya sekali lagi. Jujur ia masih belum puas untuk mengumpati Agata. Kalau bisa ia akan menyewa orang hanya untuk mengumpati Agata.

Setelah itu keheningan menyerang mereka berdua. Agata masih berusaha mengembalikan kesadarannya, dan Lili masih sibuk melamun.

Tak lama suara isakan tangis terdengar. Lili hanya tersenyum mendengar itu. Akhirnya, ia bisa melihat Agata menangis dengan leluasa tanpa ditahannya lagi.

"Semuanya jahat, Li." Hanya itu yang diucapkan oleh Agata. Ia sudah pasrah dengan semuanya.

"Lo yang bangsat, ya, anjing!" balas Lili dengan kesal juga.

Dia melihat sekotak rokok dengan pematik disebelahnya, lantas ia mengambilnya dan menyalakan satu batang.

"Kenapa hidup gue penuh kebimbangan, ya?" tanyanya dengan parau.

"Kenapa gue selalu berada di posisi paling tengah?"

Lili mendengarkan semua perkataan gadis disampingnya. Membiarkan terlebih dahulu Agata mengeluarkan segala bebannya.

"Dan kenapa, gue selalu di anggap paling jahat disini?" Tangisnya semakin kencang. Suara tangisnya berhasil membuat siapapun orang yang mendengar merasa iba dengannya.

Lili membuang abu rokoknya di asbak yang berada tak jauh darinya. Ia menghisapnya sekali lagi, setelah itu menaruhnya di atas asbak.

Gadis itu memeluk tubuh Agata yang sedikit lebih besar darinya. Memeluk dengan tulus, berusaha menenangkan teman masa kecilnya yang sedang hancur itu.

"Gue yakin lo bisa, Ta. Satu per satu, ayo kita selesaikan bersama."

SUNNY 7Where stories live. Discover now