17. Ini tetap tak terbaik

7 4 0
                                    

"Baiklah, anak tampan. Dokter akan mengajukan beberapa pertanyaan, dan aku ingin jawaban yang jujur darimu, ya. Tadi, Ibumu keluar agar kita bisa melakukan pemeriksaan tanpa gangguan," ujar dokter dengan senyum ramah namun tegas.

Aku menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. "Aku siap menjawab pertanyaan dokter dan melakukan apapun yang diperlukan," kataku dengan suara bergetar.

"Santai saja," ujarnya yang terakhir lalu memulai untuk sesi tanya jawab lagi, "Apakah dirimu sering merasa sedih? Pilihan jawabannya adalah selalu, terkadang, sering, atau tidak pernah? Pilih salah satu."

Aku menjawab, "Tidak selalu."

"Tidak selalu berarti tidak pernah?" tanya dokter lagi. "Jawabannya harus yang benar, Nak. Supaya aku bisa mencari tahu kebenarannya."

Mungkin karena terlalu gugup, aku jadi salah tingkah, "Maksudku, aku tidak pernah merasa sedih. Aku hanya merasa takut dengan tatapan orang-orang yang seolah-olah tidak menyukai kehadiranku."

"Begitu? Baik, kemudian apakah pernah merasa putus asa?" tanya dokter lagi.

"Tidak pernah merasa sedih, hanya merasa bahwa orang-orang tidak menyukaiku. Mereka seolah-olah menganggapku sebagai seorang pengganggu," jawabku dengan suara pelan.

Segala hal telah dia tanyakan padaku dan aku pun menjawab dengan jujur. Sesekali aku merenung karena termakan oleh ketakutan, namun dokter itu selalu punya cara untuk mengusir rasa takut dalam hatiku.

"Anak yang hebat!" puji dokter.

"Terima kasih," jawabku. Meskipun dia memujiku beberapa kali, aku tetap bersikap biasa saja. Ibu selalu memujiku seperti itu, jadi pujian ini terasa hambar bagiku. Semuanya telah selesai, dan ternyata aku hanya mengalami halusinasi ringan saja. Dokter juga menyuruhku untuk kembali pada hari Minggu untuk pemeriksaan lanjutan. Namun, jika ini hanya halusinasi ringan, mengapa semuanya terasa begitu nyata bagiku? Aku tidak dapat menjelaskan ini lebih lanjut. Aku merasa lelah, dan aku merasa putus asa menghadapi segala yang akan terjadi.

Saat ini, aku dan Ibu duduk di bus menuju pulang dengan membawa plastik berisi obat-obatan. Aku yang merasa lelah segera bersandar di pundak Ibu, sambil menatap keluar jendela bus yang melintasi gedung-gedung dan perumahan di sepanjang perjalanan kota ini.

"Nanti setelah ini, jangan lupa makan dan minum obatnya, ya?" dia tersenyum manis padaku sambil lembut membelai rambutku.

Kemudian, aku segera menjawab, "Entahlah, Bu... hari ini rasanya begitu berat bagiku. Di sekolah, aku bahkan dipulangkan karena sikapku yang selalu dianggap aneh oleh teman-teman. Besok, aku harus tetap sekolah atau bagaimana? Aku khawatir sikap anehku akan mengganggu pelajaran, bisikan itu selalu mengacaukan konsentrasi belajarku."

"Jika kau minum obat, nanti kau akan merasa lebih baik lagi, percayalah pada Ibu," ujarnya dengan suara lembut dan menghibur.

"Mungkinkah itu akan membantu?" pikiranku berputar, aku terdiam sejenak sebelum akhirnya dengan mantap berkata, "Iya, Bu. Aku percaya dengan semua itu. Semoga semua akan membaik."

"Ibu akan selalu ada untukmu," balasnya dengan menyenangkan. "Jika sesuatu yang terjadi padamu, Ibu rela akan melakukan apapun demi dirimu, Nak. Tidak ada harta yang paling berharga selain dirimu."

"Aku percaya itu," balasku menjadikan menutup topik sebelum mataku terlelap akan perjalanan yang tenang ini. Semenit kemudian, aku merasakan sebuah suasana yang berbeda, angin yang tidak familiar, bau tak enak mulai tercium pada indra penciuman ini. Dengan cepat, aku langsung membuka mataku dan mendapati diri ini sedang berada dalam alam lain.

Aku pun langsung terkejut dengan kejadian yang terulang kembali, "Dimana lagi ini?!" menoleh kesana-kemari dengan perasaan buncah yang tiada tara. Ini tampak seperti rumah, ruangan tengahnya sangat luas dan lantainya terbuat dari kayu yang tidak biasa.

Who Are You? (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang