Chapter 3: Daya Tarik Berbahaya

8 0 0
                                    

Malam itu, Theo merasakan kelegaan sejenak setelah pertarungannya melawan Evelyn Envy. Namun, di balik rasa lega itu, ada kekhawatiran baru yang merayap masuk. Dia tahu bahwa pertempuran ini belum selesai. Masih ada enam dosa besar lainnya yang menunggu, siap untuk menguji tekadnya.

Theo duduk di depan perapian di rumahnya, mencoba menghangatkan diri dan menenangkan pikiran. Namun, tiba-tiba dia merasa ada yang aneh. Udara di sekitarnya berubah menjadi lebih panas, seperti ada api yang membara di dekatnya. Theo berdiri, waspada, dan segera menyadari bahwa dia tidak sendirian.

Dari bayangan di sudut ruangan, seorang pria muncul. Wajahnya tampan, dengan senyum menggoda yang memancarkan kepercayaan diri. Pakaiannya serba merah tua, pas di tubuhnya, menonjolkan sosoknya yang atletis. Dia berjalan mendekat dengan langkah ringan, seolah-olah setiap gerakannya telah dipikirkan dengan hati-hati.

"Theo," sapa pria itu dengan suara lembut, "Aku Lustra Lust. Kau pasti sudah mendengar tentangku, bukan?"

Theo meneguk ludah, berusaha mempertahankan ketenangannya. "Lustra Lust," gumamnya. "Apa yang kau inginkan dariku?"

Lustra tersenyum, semakin mendekat hingga hanya ada jarak tipis di antara mereka. "Aku tidak menginginkan apa pun darimu, Theo. Aku hanya ingin memberimu sesuatu yang indah, sesuatu yang sangat kau inginkan dalam hati kecilmu. Bukankah kau pernah merindukan kehangatan, cinta, dan gairah yang hanya bisa diberikan oleh seseorang yang benar-benar menginginkanmu?"

Theo mencoba untuk tidak terpengaruh, meskipun ia merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. "Cinta sejati tidak bisa dipaksakan atau dijadikan alat untuk memenuhi keinginan pribadi," katanya dengan tegas. 

"Apa yang kau tawarkan adalah ilusi, bukan cinta."

Lustra tertawa kecil, matanya menyala dengan antusias. "Ilusi? Kau salah paham, Theo. Aku tidak menawarkan ilusi. Aku menawarkan kenyataan yang bisa kau ciptakan sendiri. Bayangkan seseorang yang bisa memberikanmu semua kehangatan, semua perhatian yang kau dambakan. Seseorang yang hanya memikirkanmu, hanya menginginkanmu."

Theo menunduk, merasakan tekanan yang semakin kuat dari kata-kata Lustra. Ia tahu apa yang sedang terjadi—ini adalah godaan yang dirancang untuk meruntuhkan tekadnya. Namun, Theo juga tahu bahwa menerima tawaran ini akan membuatnya jatuh dalam perangkap yang sangat sulit untuk dilepaskan.

"Kau tidak bisa mengubah kenyataan dengan keinginan, Lustra," jawab Theo, suaranya penuh keyakinan. 

"Cinta yang sebenarnya bukan tentang memiliki atau menguasai seseorang. Cinta sejati adalah tentang memberi, bukan mengambil."

Lustra menghentikan langkahnya, tatapannya menjadi serius. "Kau berbicara tentang cinta seolah-olah kau tahu segalanya, Theo. Tapi kenyataannya, kau hanya seorang pria muda yang belum pernah benar-benar merasakannya. Kau hidup dalam kesendirian, dan aku tahu kau merindukan sesuatu lebih dari sekadar ketenangan."

Theo terdiam, hatinya terguncang oleh kebenaran dalam kata-kata Lustra. Memang, ada saat-saat ketika ia merasa kesepian, saat ia merindukan seseorang yang bisa memahami dan mencintainya. 

Tapi dia juga tahu bahwa perasaan ini tidak bisa menjadi alasan untuk menyerah pada godaan yang salah.

Lustra melihat kebimbangan di mata Theo dan memanfaatkannya. Dengan satu gerakan, dia mendekatkan diri ke Theo, hampir menyentuhnya. Udara di sekitar mereka menjadi semakin panas, membuat Theo merasa terjebak dalam perangkap yang sulit untuk dihindari.

"Kau bisa merasakannya, bukan?" bisik Lustra di telinga Theo. 

"Kehangatan, gairah, keinginan. Semuanya bisa menjadi milikmu, jika kau hanya mau membuka dirimu. Tidak ada salahnya menikmati apa yang ditawarkan oleh hidup ini. Bukankah kita hidup hanya sekali?"

Theo merasakan godaan yang sangat kuat untuk menyerah, untuk membiarkan dirinya terjatuh dalam kenyamanan yang Lustra tawarkan. Namun, di dalam hatinya, ada suara kecil yang terus mengingatkannya bahwa ini bukan jalan yang benar.

Dia mengingat pelajaran yang telah diajarkan oleh kakeknya, seorang pria bijaksana yang selalu mengutamakan moral dan nilai-nilai luhur. "Cinta sejati," kata kakeknya suatu kali, "adalah perasaan yang murni dan tak ternodai oleh keinginan yang egois. Cinta sejati adalah ketika kau bisa bahagia dengan kebahagiaan orang yang kau cintai, bukan karena kau memilikinya."

Dengan napas yang masih terengah, Theo akhirnya menarik diri dari dekat Lustra. "Apa yang kau tawarkan bukanlah cinta, Lustra. Itu hanyalah nafsu yang mencoba menutupi kehampaan. Aku menolak tawaranmu."

Lustra berhenti, menatap Theo dengan tatapan yang penuh kekaguman sekaligus kekesalan. "Kau lebih kuat dari yang kukira, Theo," katanya perlahan. 

"Tapi ingatlah, tidak ada manusia yang benar-benar bisa menghindar dari godaan nafsu. Cepat atau lambat, kau akan kembali mencariku."

Theo mundur, mencoba menjaga jarak dari Lustra yang kini tampak seperti bara api yang siap meledak kapan saja. Dia tahu bahwa pertempuran ini belum benar-benar berakhir, tapi untuk saat ini, dia telah berhasil melawan satu godaan lagi.

Lustra akhirnya mundur, menghilang ke dalam bayangan dengan senyuman penuh arti. "Kita akan bertemu lagi, Theo. Dan saat itu, kita akan lihat seberapa lama kau bisa bertahan."

Setelah Lustra menghilang, Theo jatuh terduduk, tubuhnya gemetar. 

Dia baru saja menghadapi salah satu ujian terberat dalam hidupnya, dan meskipun dia berhasil menolaknya, dia tahu bahwa godaan Lustra tidak akan pernah sepenuhnya pergi. Namun, dengan tekad yang semakin kuat, Theo bersumpah untuk tetap teguh pada jalannya, apa pun yang terjadi.

Dengan keinginan yang membara untuk menjaga kemurnian hatinya, Theo memandang ke arah jendela, di mana langit mulai gelap. Pertempuran melawan dosa-dosa besar terus berlanjut, dan dia harus siap menghadapi apa pun yang datang selanjutnya. 

Tapi satu hal yang pasti: Theo tidak akan menyerah pada godaan tanpa perlawanan. Pertarungan untuk menjaga integritas dirinya baru saja dimulai.

----

vote and coment juseyoo:)

The seven deadly sinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang