Chapter 4: Kemarahan Terselubung

8 0 0
                                    

Hari-hari berlalu dengan cepat, namun Theo tidak bisa melupakan pertemuannya dengan Lustra. Setiap kali dia merasa lelah atau tertekan, bayangan Lustra muncul dalam pikirannya, mengingatkannya akan godaan yang hampir membuatnya jatuh. 

Namun, Theo bertekad untuk tetap kuat, menolak setiap dorongan yang mencoba meruntuhkan prinsipnya.

Suatu sore, ketika Theo sedang berjalan-jalan di sekitar desa, dia merasakan perubahan suasana yang mendadak. Udara yang seharusnya sejuk berubah menjadi berat dan menekan, seolah-olah ada sesuatu yang mengancam di sekitarnya. Theo segera waspada, tahu bahwa ini bukan perasaan biasa.

Di tengah jalan yang sepi, sosok lain muncul. Kali ini, seorang pria dengan aura yang jauh lebih gelap dan menakutkan. Wajahnya tampak keras, dengan rahang yang tegas dan tatapan mata yang penuh amarah. Pakaian hitam pekat yang ia kenakan seolah mencerminkan kegelapan dalam hatinya. Tanpa perlu diperkenalkan, Theo tahu siapa pria ini.

"Wrath," gumam Theo sambil berusaha menenangkan dirinya.

Wrath mendekat dengan langkah lambat namun pasti, dan setiap langkahnya terasa seperti getaran yang menggetarkan tanah di bawahnya. "Theo," suaranya dalam dan mengancam, 

"aku sudah lama menantikan pertemuan ini."

Theo berdiri tegak, menatap Wrath tanpa rasa takut. "Apa yang kau inginkan dariku?" Wrath berhenti beberapa langkah di depan Theo, tatapannya tajam seperti pisau. 

"Aku ingin kau merasakan apa yang telah lama terpendam dalam dirimu, Theo. Kemarahan yang kau simpan dalam hatimu. Setiap orang punya batas, dan aku di sini untuk menyingkap batas itu."

Theo menggelengkan kepala. "Aku tidak punya alasan untuk marah. Aku telah belajar untuk memaafkan, untuk tidak membiarkan kemarahan menguasai diriku."

Wrath menyeringai, seolah-olah jawaban itu membuatnya semakin tertarik. "Oh, benar-benar? Tidak ada yang bisa menghindar dari kemarahan, Theo. Kau bisa mencoba menahannya, tapi pada akhirnya, itu akan meledak. Dan ketika itu terjadi, kau akan menyadari betapa kuatnya kemarahan itu."

Theo mencoba mengendalikan detak jantungnya yang semakin cepat. "Kemarahan tidak pernah membawa hal baik. Itu hanya akan menghancurkan dirimu sendiri."

"Dan bagaimana kau tahu itu?" Wrath bertanya dengan nada tajam. "Apakah kau pernah benar-benar marah, Theo? Apakah kau pernah merasakan dorongan untuk menghancurkan sesuatu, untuk menghancurkan seseorang yang telah melukai atau mengkhianatimu?"

Theo terdiam sejenak, mengingat kembali masa lalunya. Ada saat-saat di mana dia merasa marah—marah pada ketidakadilan, marah pada kehilangan, marah pada dirinya sendiri. Namun, dia selalu mencoba menyalurkan perasaan itu ke dalam sesuatu yang positif, sesuatu yang produktif.

"Kemarahan bukanlah jawabannya," jawab Theo akhirnya. 

"Aku mungkin pernah marah, tapi aku tidak akan membiarkannya mengendalikan hidupku."

Wrath menghela napas panjang, seolah-olah Theo telah mengatakan sesuatu yang sangat mengecewakan. "Theo, kau benar-benar tidak tahu potensi kekuatan yang tersembunyi dalam kemarahanmu. 

Dengan kemarahan, kau bisa menghancurkan musuh-musuhmu, menyingkirkan siapa pun yang menghalangi jalanmu. Kemarahan adalah alat yang sangat ampuh."

Theo menggelengkan kepala lagi. "Tidak, Wrath. Kemarahan hanya akan membawa kehancuran. Aku lebih memilih jalan kedamaian."

Wrath tertawa kecil, kali ini dengan nada yang lebih menakutkan. "Kau bicara tentang kedamaian, tapi dunia ini penuh dengan konflik, penuh dengan orang-orang yang ingin menghancurkanmu. Kau pikir kedamaian bisa melindungimu dari mereka? Kau pikir kedamaian bisa menghentikan mereka dari menyakiti orang-orang yang kau cintai?"

Kata-kata Wrath membuat Theo terguncang. Dia tahu bahwa di dunia ini, banyak hal yang tidak adil, banyak orang yang berbahaya. Tapi dia juga tahu bahwa menanggapi dengan kemarahan hanya akan memperburuk keadaan.

"Wrath, aku tahu dunia ini tidak sempurna," jawab Theo dengan suara yang tenang namun tegas. 

"Tapi aku juga tahu bahwa kemarahan bukan solusi. Jika aku membiarkan diriku dikendalikan oleh kemarahan, aku akan menjadi sama seperti mereka yang ingin menghancurkan."

Wrath menyipitkan mata, tampak tidak puas dengan jawaban Theo. "Kau benar-benar keras kepala, ya? Tapi baiklah, mari kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan."

Dengan kecepatan yang luar biasa, Wrath menyerang. Tangannya yang besar dan kuat meluncur ke arah Theo, menghantamnya dengan kekuatan yang hampir membuatnya terjatuh. Tapi Theo bertahan, menolak untuk membiarkan kemarahan masuk ke dalam hatinya.

Pertarungan itu bukan hanya fisik. Wrath mencoba memancing kemarahan Theo dengan serangan kata-kata, mengingatkannya pada setiap ketidakadilan yang pernah dialaminya, setiap luka yang belum sepenuhnya sembuh. 

Namun, Theo terus melawan, menggunakan setiap kekuatan dalam dirinya untuk tetap tenang.

"Marah, Theo! Lepaskan amarahmu!" teriak Wrath, mencoba memprovokasi Theo agar menyerah pada kemarahan.

Namun, Theo hanya menggelengkan kepala. "Tidak, Wrath. Aku tidak akan membiarkan kemarahan merusak hidupku. Aku akan menghadapimu dengan kepala dingin."

Setiap kali Wrath mencoba memukulnya dengan kemarahan yang membara, Theo melawannya dengan ketenangan dan pengendalian diri. Dia tahu bahwa jika dia membiarkan kemarahan menguasai, dia akan kalah dalam pertempuran ini—bukan hanya dari Wrath, tapi juga dari dirinya sendiri.

Akhirnya, setelah pertarungan yang tampaknya berlangsung selamanya, Wrath mundur, terengah-engah. "Kau memang keras kepala, Theo," katanya dengan nada penuh rasa hormat. 

"Tapi jangan salah, kemarahan akan selalu ada di sana, menunggu untuk meledak. Dan ketika hari itu tiba, kau akan mengerti kekuatan sebenarnya dari Wrath."

Theo mengusap keringat di dahinya, tubuhnya lelah namun hatinya penuh dengan kepuasan. Dia telah mengatasi godaan besar lainnya, dan meskipun dia tahu bahwa pertempuran belum selesai, dia merasa semakin yakin bahwa dia bisa menang.

Wrath menghilang ke dalam bayangan, meninggalkan Theo yang berdiri sendiri di jalan yang sepi. Dengan napas yang masih berat, Theo melangkah kembali ke rumahnya. Dia tahu bahwa godaan berikutnya akan datang, tapi dia juga tahu bahwa selama dia tetap setia pada nilai-nilai yang dia pegang, dia bisa mengatasi apa pun yang akan dihadapinya.

Malam itu, Theo merenungkan semua yang telah terjadi. Meski ia merasa letih, semangatnya tetap tak tergoyahkan. Enam dari tujuh dosa besar telah datang kepadanya, dan ia berhasil menolak mereka. 

Tapi, apa yang akan terjadi jika  dosa yang paling mematikan, akhirnya muncul? Hanya waktu yang akan menjawabnya, tapi Theo siap untuk menghadapi apa pun yang datang.

--- 

vote and coment juseyoo:)

The seven deadly sinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang