"Kekalahan bukanlah sebuah titik akhir, tetapi sebuah kesempatan untuk membuktikan kekuatanmu dalam menghadapi tantangan yang akan datang."
Aku berdiri di sudut arena, merasakan adrenalin memompa dalam diriku. Setiap tepuk tangan penonton seakan memantul di dalam dadaku, menambah ketegangan yang sudah kupikul sejak lama. Sabuk hitamku terasa berat, bukan hanya sebagai tanda keahlian, tetapi juga sebagai beban harapan yang harus kutanggung. Di hadapanku, Arka berdiri dengan aura misterius. Dia adalah manusia katalis, seorang taekwondoin yang dikenal luas karena kemampuannya untuk mengubah jalannya pertandingan dengan teknik-teknik yang tak terduga. Setiap kali dia bertanding, medali-medali bersinar mengisi koleksinya, menambah reputasinya sebagai salah satu atlet terbaik.
Wasit meniup peluit, aku segera memasuki posisi siap, memfokuskan pikiranku pada pertandingan. Aku meluncurkan tendangan pertama dengan kecepatan penuh, berusaha untuk mengejutkan Arka dan menguji kemampuannya. Namun, dia bergerak dengan kecepatan yang seolah-olah melebihi kemampuanku untuk menilai. Tendanganku hanya mengenai udara kosong. Arka, dengan gerakan gesit, menghindari seranganku dan membalas dengan tendangan rendah yang sangat cepat. Aku melompat mundur, menghindari dampak tendangannya yang hampir mengenai kaki.
Selama beberapa menit pertama, setiap gerakan terasa seperti pertempuran pikiran dan tubuh. Arka tampaknya sudah memprediksi setiap seranganku dengan sempurna. Aku mulai merasa frustrasi, seolah aku berada dalam labirin yang berubah-ubah, di mana setiap seranganku hanya membuatku lebih dekat ke kebuntuan. Setiap kali aku menyerang, Arka membalas dengan teknik yang cerdas dan terkoordinasi, seolah dia bisa membaca pikiranku. Setiap tendangannya mengirimkan pesan bahwa kemenangan ini tidak akan mudah.
Keringatku sudah mulai menetes dari dahi dan rasa lelah juga sudah mulai merayapi tubuhku. Aku memutar otakku, aku harus harus berbuat sesuatu yang drastis untuk bisa meraih kemenangan. Dalam keadaan tertekan, aku memutuskan untuk melancarkan serangan yang lebih berani dan penuh risiko. Dengan seluruh energi yang tersisa, aku mengumpulkan keberanian dan meluncurkan serangkaian tendangan cepat, mencoba menekan Arka ke sudut lapangan.
Selama serangan itu, rasanya semua keinginan dan harapan terfokus pada setiap gerakan yang kulakukan. Aku berharap, serangan ini, yang penuh semangat dan tekad, dapat mengejutkannya dan membuka jalan menuju kemenangan. Namun, ketenangan Arka tidak terganggu. Dengan gerakan yang sangat terampil, dia menggunakan teknik "Pemisahan Energi," sebuah strategi yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tendangannya menghantamku dengan presisi yang mengesankan, memaksa tubuhku terjatuh ke lantai.
Saat aku terbaring di lantai, rasanya waktu melambat. Kekecewaan dan kelelahan menyelimuti diriku. Aku merasa seolah semua usaha dan latihan selama ini tidak cukup. Ketika wasit mengumumkan kemenangan Arka, aku merasakan campuran rasa frustrasi dan kekaguman yang mendalam. Aku tahu aku telah berjuang keras, tetapi kemenangan memang tidak selalu berpihak pada kita. Tetapi tidak bisa menerima ini, bagaimana janjiku untuk membuktikan bahwa aku mampu memenangkan pertandingan ini dan menunjukkan bahwa aku sama seperti manusia katalis itu, manusia-manusia yang curang dalam segala hal pertandingan, mereka menggunakan kekuatan yang manusia biasa tidak miliki.
Arka mendekat dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Ada sesuatu dalam sikapnya yang membuatku merasa dihargai. "Kau bermain sangat baik," katanya dengan senyum ramah. "Kita harus bertemu lagi di lapangan. Latihan dan persiapan akan selalu menjadi kunci."
Cihh... bisa-bisanya dia berkata seperti itu dengan senyum mengejek karena kekalahanku. Aku sebenarnya enggan menerima jabat tangan itu, tapi dengan berat hati aku menerimanya dan kuremas tangannya itu dengan sangat erat, aku melihat sangat jelas ia merasa kesakitan. Arka menarik paksa tangannya, lalu pergi meninggalkanku begitu saja.
Jujur, hari ini terasa semakin berat. Aku pulang dengan gelapnya malam yang semakin mendalam, seakan mencerminkan seberapa gelapnya hatiku saat ini. Setiap langkah menuju rumah terasa panjang dan melelahkan, seiring dengan beban kekecewaan yang masih membayangi pikiranku.
Aku membuka pintu rumah, sebelum aku masuk kerumah ku perhatikan beberapa mobil-mobil yang beterbangan diatasku, kesibukan kota ini masih menjamur meskipun hari sudah tak menunjukkan cahaya surya. Atensiku kembali kedalam rumah, sepi, ayah sepertinya tidak dirumah, sementara ibu sepertinya sudah tidur duluan, kelelahan menjaga toko sejak pagi.
Kurebahkan tubuhku disembarang tempat, ruang tamu rumahku setidaknya lebih luas dari kamar tidurku sendiri, sesak dengan beberapa samsak dan juga peralatan olahragaku. Pikiranku masih terus berada pada kekalahanku, bagaimana bisa, apa yang salah? Bukankah aku sudah menggunakan seluruh tenagaku, bukankah aku sudah membaca semua gerakan Arka. Alih-alih aku memikirkan itu, bayangan tentang omongan burung orang-orang tentang manusia katalis merasuk dalam pikirku. Manusia katalis, mereka terkenal dengan kelicikan mereka, mereka juga memiliki kekuatan mereka sendiri, ada yang bilang mereka mampu memindahkan benda tanpa menyentuh, bahkan ada yang juga bisa membaca pikiran lawan.
Entah hal ini juga membuatku semakin gila, hal yang tak logis, tapi jika memang benar adanya, mengapa para manusia katalis terlahir kaya semuanya? Aku tidak pernah mendengar para manusia katalis ada yang senasib dengan manusia biasa.
Lupakan tentang semuanya, aku sudah berkali-kali menguap, tanpa mandi atau pun mencuci muka lagi, aku sudah terlelap dalam tidurku dan bersiap besok menyambut hari baru disekolah yang sejujurnya masih kubenci karena peraturan-peraturannya yang tak jelas.
***
Kalian tahu apa yang membuatku enggan untuk serius belajar di sekolah ini? Jawabannya hanya satu, perbedaan yang mencolok antara mereka yang memiliki kekuasaan dan mereka yang tidak. Setiap hari, aku melihat bagaimana kekuasaan dan pengaruh sering kali mengalahkan perjuangan dan dedikasi. Seolah-olah, usaha untuk meraih prestasi menjadi hal yang sia-sia jika tidak memiliki "status" atau kekuatan yang mendukung.
Manusia katalis selalu menjadi pemenang, tidak peduli seberapa besar upaya orang lain. Mereka memiliki keunggulan yang membuat mereka tampak tak terkalahkan. Tidak jarang, aku merasa frustrasi melihat bagaimana prestasi dan kemampuan tidak selalu dihargai dengan adil. Kadang, semua usaha dan kerja keras yang kulakukan terasa sia-sia ketika hasil akhir tampaknya sudah ditentukan sejak awal.
Melihat semua itu, aku merasa seperti berada di sebuah sistem yang tidak memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang. Rasa keadilan yang seharusnya ada di dalam pendidikan dan kompetisi tampaknya menjadi hal yang langka. Aku mulai meragukan nilai dari segala usaha dan waktu yang kulakukan, karena tampaknya hanya mereka yang memiliki kekuatan dan pengaruh yang benar-benar dihargai.
Perasaan ini membuatku semakin enggan untuk serius belajar. Bagaimana mungkin aku bisa memotivasi diri untuk berjuang keras, ketika tampaknya hasil akhir sudah dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kendaliku? Aku sering bertanya-tanya apakah perjuangan ini akan membuahkan hasil yang adil atau hanya menjadi usaha sia-sia dalam sistem yang tidak seimbang.
"Ra, masih bete ya?" Lina entah dari mana datangnya mengejutkanku yang tengah berjalan ditengah koridor sekolahku. Sekolahku ini termasuk sekolah yang luar biasa keren, banyak orang-orang Katalis yang juga memilih bersekolah ditempat ini, jika kalian tanya bagaimana aku bisa bersekolah di sini, tunggu aku menceritakannya nanti.
"Ya, kamu pikir aja, Lin. Udah semangat menggebu-gebu malah kalah, siapa yang nggak sakit hati coba." Jawabku dengan nada sedikit kesal.
"Ra, inget! Menang kalah itu hal biasa dalam pertandingan, tapi jangan jadikan kekalahan kamu ini jadi semakin lemah dan menunjukkan bahwa kamu kalah pada lawanmu. Katanya pengen nunjukin bahwa manusia biasa juga bisa menang, kalau kamu sekarang aja semangatnya udah kendor artinya kamu udah jauh banget kalahnya, Ra."
Apa yang dikatakan Lina membuatku tertampar, jika aku menjadi seperti ini, berarti aku membiarkan mereka menang untuk selamanya, tidak aku harus bisa bangkit lagi, aku harus bisa menunjukkan bahwa aku bisa menang dipertandingan selanjutnya. Berdarah-darah pun akan aku jabani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma : The Secrets of the Hidden City
FantasiaBayangkan hidup di dunia yang dipenuhi perbedaan tajam, larangan ketat, dan teka-teki tak terjawab. Itulah yang dirasakan Elara dan Ronan di Kalimora, sebuah kota di mana kemewahan para elit Katalis bertentangan dengan kehidupan keras di jalanan baw...