BAB 11: Pilihan di Ujung Pisau

3 1 0
                                    

"Terkadang berkorban tidak selamanya buruk,
harus ada yang mengalah untuk menang kemudian" Ronan

"Ra, sekarang bagaimana?" Tanya Lina yang masih berjaga-jaga setiap lift mau terbuka. Sejujurnya aku juga bingung namun semua ini tidak bisa kita hentikan, kita semua terjebak.

"Persiapkan diri, Lin. Aku tidak tahu orang-orang macam apa lagi yang akan kita hadapi setelah ini, tapi aku tidak bisa mendengar apapun sekarang."

"Kekuatanmu hilang?" Tanya Lina yang semakin serius menanggapi semua kejadian ini.

"Aku tidak tahu, Lin. Semuanya sepi tidak seperti tadi." aku saja tidak tahu bagaimana semuanya terasa sunyi, apa benar kekuatanku hilang begitu saja. Ah lupakan soal itu, sekarang bagaimana aku bisa menemukan Ayah dan Ibu. Lift yang kita naiki ternyata terus naik sampai lantai 3. Aku yakin Ronan yang mengarahkan kita berdua kelantai ini. Namun saat Lift sudah sampai di lantai 3 pintu lift tidak terbuka, justru malah terus naik sampai lantai 5.

"Ra, liftnya!" ujar Lina.

"Siap-siap, Lin. Kerahkan semua tenaga kita!" Lina mengangguk mantap kepadaku, aku tidak tahu apakah aku dan Lina akan berhasil menghadapi semua ini, jika tertangkap berarti tamatlah riwayat kita semua, dan aku tidak akan tahu siapa aku sebenarnya bahkan aku akan sangat menyesal telah melibatkan Lina dikejadian ini.

Lift akhirnya terbuka, diluar nampak sepi tidak ada kehidupan sama sekali, gelap hanya ada cahaya remang-remang. Aku mencoba menutup kembali pintu Lift namun tidak berfungsi. Semua ini seperti adegan film horor, mencekam. Mataku mulai menyibak kegelapan mencoba mencari sesuatu yang mencurigakan, namun tidak ada. Hingga sebuah suara gesekan diudara terdengar ditelingaku. Gerakannya sangat cepat, terdengar sangat berat melawan gravitasi, semakin lama semakin kuat gesekannya mendekat. Aku berusaha menerka-nerka suara apa itu, hingga hitungan detik aku tersadar.

"Lina, awas!" aku mendorong tubuh Lina hingga membentur dinding lift sementara aku melemparkan tubuhku berlawan arah dengan Lina.

Duar!!! Sebuah peluru berhasil menembus diding lift. Kalau saja aku tidak menyadarinya mungkin aku dan Lina sudah terkena tembakan itu, namun dari mana datangnya. Aku mencoba kembali mendengarkan gesekan demi gesekan digedung ini, namun nihil aku tidak mendengar apapun.

"Hati-hati, Lin! Musuh kita bisa saja bersembunyi dibalik tembok-tembok pembatas itu, kita harus waspada!" Aku mengulurkan tanganku, membantu Lina bangkit. Benar saja, belum tuntas aku membantu Lina bangun sebuah tembakan kembali melesat, kali ini aku berhasil menghindar dengan sempurna, namun hal ini justru membuat orang yang tak terlihat itu membabi buta, ia tembakkan pelurunya bertubi-tubi.

"Kita merunduk, jalan dari bawah dengan cepat, setelah itu kita lari!" Perintahku pada Lina.

"Kita akan selamat kan?" Lina tiba-tiba menggenggam tanganku sangat erat, aku mengangguk meyakinkan dirinya.

"Aku berjanji, kita akan pulang dengan keadaan selamat. Aku akan menjagamu, Lin." Dia sahabatku satu-satunya, aku tidak ingin dia terluka. Jika terjadi sesuatu padanya aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk membalaskannya. Tanpa Lina, selama ini aku mungkin tidak akan memiliki sesosok sahabat bahkan teman, hanya Lina yang mau menyapaku duluan tanpa ada rasa kagum atau takut sedikit pun. Dia yang paling santai dan tidak menganggapku orang yang paling aneh diantara manusia biasa. Dia yang selalu mendukungku. Aku tidak akan membuatnya terluka bahkan dilukai oleh orang lain.

"Lin, sekarang!" Lina mengangguk dengan cepat ia merunduk dan berjalan dengan sangat cepat mencari penghalang yang bisa menghalanginya, sementara aku masih didalam lift menunggu waktu yang tepat lagi.

"Ra, sekarang!" bisik Lina dari seberang sembari menatapku penuh kekhawatiran, aku hanya mengangguk dan mencoba membaca suasana, telingaku juga sudah tidak mendengar gesekan tembakan diudara. Dalam hitungan ketiga kugulingkan tubuhku dilantai, namun aku salah duga, telingaku justru menangkap suara yang lebih cepat dan itu mengarah kepadaku. Tembakannya berbeda, seakan menggunakan selaras yang lebih hebat dari sebelumnya. Aku menatap arah peluru itu datang, entah bagaimana bisa aku melihat bentuk peluru berlapis emas itu melayang diudara mendekat kearahku, jaraknya bahkan tidak bisa ku prediksi, hingga sebuah ledakan kembali terdengar.

Duaarrr!!!

"Elara!!!" suara teriakkan Lina menggelegar, sementara semuanya sudah hitam tak terlihat, aku tak mendengar apapun lagi, hening, sunyi dan dingin.

***

Duarr!!!

Suara ledakan dilantai atas menggelegar bahkan berhasil menggoyangkan sedikit gedung pemerintahan ini. Pikiranku sudah pada Elara, aku harus segera menyelesaikan semua ini. Robot Vortex-9 didepanku ini tidak henti-hentinya menyerang, tenagaku sudah mulai melemah, namun semua ini harus aku selesaikan.

Robot Vortex-9 ini ternyata bisa membaca pikiran manusia, ia bahkan bisa menduplikasi kekuatanku, bahkan mengubahnya menjadi lebih kuat. Aku mencoba menghimpitnya dengan dua lemari besi yang aku gerakkan dari setiap sudut ruangan. Namun percuma Robot ini lebih kuat dari yang aku bayangkan. Ia memiliki emosi, ah tidak ini seperti emosi pendendam. Bagaimana mungkin ilmuan-ilmuan ini membuat robot semenyeramkan ini. Sebuah lemari terlempar kearahku, dengan sigap aku menangkap lemari itu dengan kekuatanku, aku buat lemari itu melayang menjauh dariku. Tapi aku belum bisa bernapas lega, ternyata sebuah lemari kembali menyerangku dan jujur saja aku belum siap menerima serangan lagi, aku terhantam lemari hingga terperosok kelantai. Darah segar mengalir dari pelipisku. Kepalaku mulai pusing, sesaat pandanganku pudar, namun tuhan memang tidak pernah tidur, justru aku mendapatkan sebuah ide, aku lihat lengan robot itu cedera, beberapa besinya penyok bahkan ada yang hilang sehingga memperlihatkan kabel-kebel yang tersusun rapi didalam lengan robot Vortex-9 itu.

Tanpa pikir panjang aku acungkan tanganku mengarah ketubuh robot itu, pikiranku ku fokuskan pada tubuh besinya itu, dalam hitungan ketiga aku berteriak lantang.

"Aghhhhhh!!! Musnah kau Robot jelek!!!" teriakku hingga menggelegar disetiap sudut ruangan. Tidak hanya aku robot itu juga ikut mengerang kesakitan, ia berusaha melawan namun terlambat, aku sudah terlebih dahulu mencabut besi-besi dari tubuhnya hingga hanya menyisakan kabel-kabel yang masih membentuk tubuh manusia laiknya serangkaian otot manusia tanpa kulit. Aksiku belum usai, aku mengambil tongkat listrik yang dibawa para pengawal pemerintahan, ku ambil paksa dari tubuhnya yang tergeletak dilantai kalah oleh serangan Elara.

Aku acungkan kedua tongkat listrik itu, aku padukan hingga muncul sebuah aliran listrik memanas hingga menimbulkan percikan api, dan saat itu juga aku lempar tongkal listrik yang masih mengeluarkan listrik tegangan tinggi itu ke tubuh robot Vortex-9. Jika kalian pernah belajar Fisika kalian mungkin akan mengetahui maksudku melempar dua percikan listrik tegangan tinggi itu.

Dua aliran listrik yang seharusnya terpisah aku satukan paksa hingga menimbulkan percikan besar. Dan di saat bersamaan udara di sekitarnya pun akan langsung terionisasi, menghasilkan kilatan cahaya yang terang, dalam ilmu fisika hal ini disebut arc flash sebuah ledakan cahaya dan panas yang teramat sangat, muncul dari pertemuan dua tegangan tinggi. Percikan yang muncul tidak hanya menyilaukan mata, tetapi juga membawa energi yang luar biasa besar, seperti api yang memancar dari logam yang sedang meleleh. Hal ini justru berhasil membuat Pemanasan Joule hingga suhunya meningkat begitu cepat, dan tak lama kemudian, ledakan besar terdengar. Api mulai muncul, membakar tubuh robot itu. Aku tersenyum puas, berhasil mengalahkan ciptaan para ilmuan itu.

"Kamu pikir kamu sudah berhasil Ronan?" tanya orang dibelakangku, suaranya berat seakan sejak tadi sudah memperhatikan pertarunganku dengan robot itu.

"Ternyata ayah salah selama ini meremehkanmu, kamu justru anak yang sangat berani, dan lihatlah ternyata kamu sudah pandai memakai kekuatanmu." Aku akhirnya tahu itu suara Ayah, suara yang sejatinya tidak pernah aku ingat sedikit pun dalam ingatanku.

"Ayah yang merencanakan semua ini?" aku bangkit dan menatap Ayahku dengan sangat tajam.

"Ayah sudah mengatakan padamu, manusia biasa dan manusia Katalis tidak bisa bersama, dan kamu malah memilih membantunya. Kamu masih kecil Ronan, rasa cintamu salah." Ujar Ayah kembali menjelaskan bahwa aku dan Elara tidak bisa bersatu menjadi sepasang kekasih.

"Tapi, Ayah!" ucapanku terhenti saat ayah mengambil sesuatu pada saku celananya, sebuah handphone, ia memperlihatkan video ledakan yang ada Elara ditempat itu.

"Pujaan hatimu sudah musnah." Deg, tidak apa yang dikatakan ayah tidak benar, Elara tidak mungkin kalah.

"Sekarang, pilihannya ada padamu, ikut ayah mengembangkan robot ini, atau kau akan musnah seperti pujaan hatimu?" Aku menatap ayah dengan tatapan tajam dan penuh dendam, aku anaknya tapi ia akan memusnakanku. Baiklah jika itu yang dia minta.

"Bunuh aku, Ayah!"

Enigma : The Secrets of the Hidden CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang